Komunitas Rumah Budaya Penggak Men Mersi, Denpasar, mendiskusikan kian terdesaknya rubrik budaya dan seni di media massa di Bali serta fenomena keseragaman tulisan-tulisan budaya yang sekadar menyampaikan informasi.

"Selain rubrik budaya yang kian minim, catatan soal agenda kebudayaan di Bali kini sangat minim. Padahal banyak materi yang dapat dijadikan bahan tulisan," kata Kelian (Koordinator) Rumah Budaya Penggak Men Mersi Kadek Wahyudita di Denpasar, Sabtu (27/11).

Perihal tersebut menjadi topik yang dibahas dalam pabligbagan (dialog) bertema "Problematika Tulisan Budaya di Media Massa" dengan menghadirkan tiga penggiat literasi budaya di Pulau Dewata --sebutan untuk Bali.

Mereka yang menjadi narasumber yakni akademisi Universitas PGRI Mahadewa Bali Dr I Made Sujaya, pendiri Tatkala.co I Made Adnyana Ole, dan Kelian Penggak Men Mersi Kadek Wahyudita.

"Di Bali, dinamika kebudayaan begitu cepat, tetapi tidak diimbangi dengan penulisannya. Persoalannya apa karena kian terbatasnya rubrik budaya di media massa? Kompetensi penulis, ataukah kesejahteraan penulisnya?" ucapnya.

Baca juga: Gubernur Koster minta MKB petakan aset budaya di desa adat

Jika masih ada tulisan budaya di sejumlah media massa di Bali, namun Kadek melihat terkesan "dangkal" atau hanya menyampaikan sebatas informasi.

"Kami berharap ke depan ada sistem yang saling menguatkan sehingga para penulis menjadi tumbuh semangatnya untuk masuk pada sisi kedalaman dari 'event' (kegiatan) budaya yang tersaji," ujarnya.

Selain itu, dengan tulisan budaya yang lebih berkedalaman, media massa diharapkan menjadi agen kontrol agar kualitas kesenian bisa terjaga.

Sastrawan sekaligus pendiri Tatkala.co I Made Adnyana Ole mengatakan pentingnya peristiwa-peristiwa kebudayaan yang ditulis dengan ringan dan bisa masuk ke media massa.

"Misalnya selama ini kita sibuk meratapi sepinya penonton teater, karena tak jarang masyarakat menganggap teater sebagai seni yang berat untuk dipahami," katanya.

Menurut dia, jika wartawan bisa menulis tulisan budaya secara populer dan mudah dimengerti, orang pun akan tertarik untuk menonton teater ataupun kegiatan budaya lainnya.

Baca juga: Pemkab Badung minta generasi muda rawat adat dan seni budaya

Senada dengan Kadek Wahyudita, ia menyoroti tulisan-tulisan media massa saat ini sekadar menginformasikan bahwa tengah berlangsung ajang budaya tertentu.

"Jika kita melihat tulisan-tulisan budaya yang terdahulu, misalnya ketika digelar Pekan Komponis Muda, betapa media massa saat ini juga menulis bagaimana proses seniman untuk menciptakan karya yang ditampilkan. Jadi, bukan sekadar menginformasikan tengah berlangsung acara budaya," ujarnya.

Akademisi Universitas PGRI Mahadewa Bali Dr I Made Sujaya menyoroti tulisan media massa saat ini malah cenderung terpaku menampilkan rilis budaya dan bukan kritik budaya.

"Rilis tidak salah, rilis bisa kita jadikan sebagai salah satu sumber atau bahan. Tetapi tetap harus ada kerja intelektual untuk mengimbangi dan mengeksplorasi untuk melihat persoalan di balik rilis itu," katanya.

Seringkali ketika ada agenda budaya, ujar dia, wartawan cenderung hanya tinggal memasang rilis sehingga malah terjadi keseragaman.

"Semestinya wartawan memperkaya lagi rilis itu dengan membaca teks, melakukan pendalaman untuk mencari ahli di bidangnya. Dengan demikian, eksklusivitas tulisan akan terwujud," katanya.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022