Komunitas masyarakat sipil di Bali yang terdiri dari kalangan pariwisata, pekerja sosial serta aktivis penanggulangan HIV-AIDS memberikan catatan agar dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) jangan sampai menghambat upaya penanggulangan atau pencegahan HIV-AIDS.
"Sampai saat ini penularan HIV-AIDS masih menjadi masalah bagi bangsa Indonesia dan menjadi program pemerintah mulai dari pencegahan hingga penghilangan stigma dan diskriminasi," kata Ketut Sukanata, koordinator komunitas masyarakat sipil Bali di Denpasar, Selasa.
Komunitas masyarakat sipil di Bali yang menyampaikan pernyataan sikap dan memberikan catatan terhadap RKUHP itu yakni Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, Forum Peduli AIDS (FPA) Bali, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali dan PHRI Badung.
Kemudian Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), Komunitas Jurnalis Peduli AIDS (KJPA), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali, Yayasan Spirit Paramacita (YSP), Yayasan Kerti Praja (YKP) dan Ikatan Korban Napza (IKON) Bali.
Selanjutnya turut bergabung juga Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Bali, Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Bali, Yayasan Kasih Pelangi Dewata (Kapelata), Jaringan Indonesia Positif (JIP) Bali, Yayasan Gaya Dewata (YGD), dan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) dan Pertiwi Bali.
Sukanata menyampaikan pihaknya terutama memberikan catatan atas pasal 410, sesuai update RKUHP terakhir per 9 November 2022.
Pasal tersebut menyebut "Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak, dipidana dengan pidana penjara paling banyak kategori I".
Menurut dia, pasal ini berpotensi menjadi alasan pencelaan (stigma) pada alat pencegah kehamilan khususnya kondom yang seolah-olah tak bisa ditunjukkan khususnya kepada anak-anak, bahkan untuk kepentingan edukasi dan ilmu pengetahuan.
"Di sisi lain, kondom pun merupakan alat untuk penanggulangan masalah kesehatan," ujar Sukanata yang juga Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali itu.
Stigma pun dikhawatirkan kemudian tertuju para pegiat pencegahan HIV-AIDS. Khususnya mereka yang bergerak di kalangan pelajar dan anak muda melalui Kelompok Siswa Peduli AIDS Nasional (KSPAN).
"Oleh karena itu, perlu ditegaskan dalam penjelasan bahwa untuk kepentingan edukasi dan ilmu pengetahuan diberikan kewenangan kepada mereka yang memiliki kompetensi untuk menjelaskan penggunaan kondom untuk kepentingan kesehatan, khususnya pencegahan HIV-AIDS," kata Sukanata.
Selanjutnya komunitas masyarakat sipil di Bali juga menekankan RKUHP tak selayaknya mengatur hubungan-hubungan antarpribadi yang berpotensi menimbulkan kriminalisasi.
"RKUHP mestinya menekankan perhatian pada masalah-masalah publik dimana terdapat potensi tindak pidana yang merugikan kepentingan publik," ujarnya.
Hal ini khususnya terkait pada pasal 413 tentang perzinaan dan pasal 414 tentang Kohabitasi (hidup bersama). Meskipun kemudian dinyatakan bahwa penerapan pasal pidana hanya bila ada pengaduan, namun dikhawatirkan kemudian terjadi aturan-aturan turunan dengan alasan untuk pencegahan perzinaan atau kohabitasi.
Dalam konteks pariwisata, pasal tersebut berpotensi merugikan dunia pariwisata karena mengesankan Indonesia pada umumnya dan khususnya Bali sebagai daerah yang terlalu banyak mencampuri urusan pribadi.
Selain itu, terdapat pula potensi pelanggaran kode etik pariwisata yang menjadi standar pariwisata secara global. "Karena itu, kami pada dasarnya menolak pasal tersebut," katanya.
Jika pun tetap akan ditetapkan, pihaknya meminta penegasan, tidak boleh ada aturan turunan atau yang terkait/dikaitkan yang dibuat dengan alasan pencegahan perzinaan sehingga semakin memasuki wilayah pribadi.
Termasuk, kata Sukanata, wilayah pribadi wisatawan. Misalnya, aturan bahwa orang menginap di satu hotel harus menunjukkan surat nikah.
"Peluang untuk dilakukan perubahan RKUHP mestinya harus tetap dibuka sehingga masyarakat yang belum terakomodasi aspirasinya masih memiliki harapan akan RKUHP yang lebih baik," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
"Sampai saat ini penularan HIV-AIDS masih menjadi masalah bagi bangsa Indonesia dan menjadi program pemerintah mulai dari pencegahan hingga penghilangan stigma dan diskriminasi," kata Ketut Sukanata, koordinator komunitas masyarakat sipil Bali di Denpasar, Selasa.
Komunitas masyarakat sipil di Bali yang menyampaikan pernyataan sikap dan memberikan catatan terhadap RKUHP itu yakni Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, Forum Peduli AIDS (FPA) Bali, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali dan PHRI Badung.
Kemudian Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), Komunitas Jurnalis Peduli AIDS (KJPA), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali, Yayasan Spirit Paramacita (YSP), Yayasan Kerti Praja (YKP) dan Ikatan Korban Napza (IKON) Bali.
Selanjutnya turut bergabung juga Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Bali, Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Bali, Yayasan Kasih Pelangi Dewata (Kapelata), Jaringan Indonesia Positif (JIP) Bali, Yayasan Gaya Dewata (YGD), dan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) dan Pertiwi Bali.
Sukanata menyampaikan pihaknya terutama memberikan catatan atas pasal 410, sesuai update RKUHP terakhir per 9 November 2022.
Pasal tersebut menyebut "Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak, dipidana dengan pidana penjara paling banyak kategori I".
Menurut dia, pasal ini berpotensi menjadi alasan pencelaan (stigma) pada alat pencegah kehamilan khususnya kondom yang seolah-olah tak bisa ditunjukkan khususnya kepada anak-anak, bahkan untuk kepentingan edukasi dan ilmu pengetahuan.
"Di sisi lain, kondom pun merupakan alat untuk penanggulangan masalah kesehatan," ujar Sukanata yang juga Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali itu.
Stigma pun dikhawatirkan kemudian tertuju para pegiat pencegahan HIV-AIDS. Khususnya mereka yang bergerak di kalangan pelajar dan anak muda melalui Kelompok Siswa Peduli AIDS Nasional (KSPAN).
"Oleh karena itu, perlu ditegaskan dalam penjelasan bahwa untuk kepentingan edukasi dan ilmu pengetahuan diberikan kewenangan kepada mereka yang memiliki kompetensi untuk menjelaskan penggunaan kondom untuk kepentingan kesehatan, khususnya pencegahan HIV-AIDS," kata Sukanata.
Selanjutnya komunitas masyarakat sipil di Bali juga menekankan RKUHP tak selayaknya mengatur hubungan-hubungan antarpribadi yang berpotensi menimbulkan kriminalisasi.
"RKUHP mestinya menekankan perhatian pada masalah-masalah publik dimana terdapat potensi tindak pidana yang merugikan kepentingan publik," ujarnya.
Hal ini khususnya terkait pada pasal 413 tentang perzinaan dan pasal 414 tentang Kohabitasi (hidup bersama). Meskipun kemudian dinyatakan bahwa penerapan pasal pidana hanya bila ada pengaduan, namun dikhawatirkan kemudian terjadi aturan-aturan turunan dengan alasan untuk pencegahan perzinaan atau kohabitasi.
Dalam konteks pariwisata, pasal tersebut berpotensi merugikan dunia pariwisata karena mengesankan Indonesia pada umumnya dan khususnya Bali sebagai daerah yang terlalu banyak mencampuri urusan pribadi.
Selain itu, terdapat pula potensi pelanggaran kode etik pariwisata yang menjadi standar pariwisata secara global. "Karena itu, kami pada dasarnya menolak pasal tersebut," katanya.
Jika pun tetap akan ditetapkan, pihaknya meminta penegasan, tidak boleh ada aturan turunan atau yang terkait/dikaitkan yang dibuat dengan alasan pencegahan perzinaan sehingga semakin memasuki wilayah pribadi.
Termasuk, kata Sukanata, wilayah pribadi wisatawan. Misalnya, aturan bahwa orang menginap di satu hotel harus menunjukkan surat nikah.
"Peluang untuk dilakukan perubahan RKUHP mestinya harus tetap dibuka sehingga masyarakat yang belum terakomodasi aspirasinya masih memiliki harapan akan RKUHP yang lebih baik," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022