Sejumlah LSM yang tergabung dalam Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia (Jaring Nusa KTI) menyatakan ribuan desa yang ada di pesisir pantai khususnya wilayah Indonesia timur terancam krisis akibat perubahan iklim, karena itu kondisi krisis di pesisir perlu menjadi perhatian delegasi KTT G20 di Bali pada November 2022.
 
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin di Denpasar, Bali, Kamis menyatakan bahwa desa pesisir di Indonesia Timur yang terancam oleh dampak buruk krisis perubahan iklim paling banyak ada di Maluku.
 
Dampak buruk krisis iklim tersebut, kata dia, salah satunya dipengaruhi oleh aktivitas industri ekstraktif yang telah dan sedang merusak ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di kawasan Timur Indonesia.
 
Akibatnya, kata dia, masyarakat pesisir yang hidupnya tergantung pada sumber daya pesisir dan laut kehilangan ruang hidupnya akibat ekspansi tambang yang tidak ramah lingkungan.

Baca juga: Pertemuan menteri lingkungan hidup G20 bahas pendanaan atasi krisis iklim
 
Berikut daftar desa yang akan mengalami dampak buruk iklim berdasarkan penelitian Jaring Nusa KTI yakni sebanyak 175 desa pesisir di Bali, 297 desa pesisir di NTB, 1.018 desa pesisir di NTT, 783 desa Pesisir di Sulawesi Utara, 1.011 desa pesisir di Sulawesi Tengah, 527 desa pesisir di Sulawesi Selatan, 954 desa pesisir di Sulawesi Tenggara, dan 201 desa pesisir di Gorontalo.

Selanjurtnya, 152 desa pesisir di Sulawesi Barat, 1.064 desa pesisir di Maluku, 934 desa pesisir di Maluku Utara, lebih dari 570 desa pesisir di Papua Barat, serta sebanyak 662 desa pesisir di Papua.
 
 Jaring Nusa KTI sendiri merupakan simpul jaringan belajar antar berbagai CSO (Civil Society Organizations) dan kelompok masyarakat di Kawasan Timur Indonesia yang memiliki fokus, perhatian khusus, serta komitmen pada kesejahteraan masyarakat pesisir, nelayan serta lestarinya kelautan. 

Baca juga: Pertemuan menteri lingkungan hidup G20 hasilkan "chair summary"
 
Sementara itu, berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI ) Maluku Utara, pertambangan nikel telah mengakibatkan hilangnya hutan alam di pulau kecil seluas 16.000 hektar dalam 15 tahun terakhir. Selain itu, Industri pertambangan nikel turut menyebabkan pencemaran laut dan menyebabkan penurunan jumlah nelayan. 
 
Menurut catatan WALHI, sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018, telah terjadi penurunan jumlah nelayan dari angka 8.587 orang pada 2004 menjadi 3.532 orang pada 2018. 
 
"Artinya, pencemaran laut akibat nikel telah menyebabkan orang yang berprofesi nelayan, sebanyak lima ribu orang kehilangan pekerjaan,” kata Faizal Ratuela, Anggota Jaring Nusa KTI yang juga Direktur WALHI Maluku Utara. 
 
Oleh sebab itu, momen presidensi/keketuaan G20 Indonesia merupakan ajang bagi pemerintah untuk berkomitmen menjaga pesisir, laut dan pulau kecil Indonesia khususnya wilayah timur Indonesia. 
 
"Sumberdaya ikan Indonesia secara umum sudah mengalami overfishing, akan tetapi pemerintah belum berupaya memulihkan kondisi itu dan berpotensi menurunkan ketahanan pangan, serta ekonomi masyarakat pesisir dan pulau kecil," kata Wiro Wirandi, Anggota Jaring Nusa sekaligus Manajer Ocean EcoNusa.

Baca juga: Kepala Badan Lingkungan Amerika puji pengolahan sampah di Jimbaran
 
Wiro mendesak agar Kementerian Kelautan Perikanan menghentikan penambahan izin kapal skala besar dan melakukan tindakan pemulihan sumber daya ikan di Indonesia secara strategis.
 
Seluruh peserta yang tergabung dalam pertemuan Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia dengan tema Coastal and Small Island People Summit 2022 ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi seluruh proyek industri ekstraktif di wilayah pesisir dan pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia.
 
Tak hanya itu,  pemerintah juga diharapkan menjamin pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat di wilayah pesisir pulau kecil, serta segera menyusun skema penyelamatan desa-desa pesisir di kawasan tersebut dari ancaman dampak buruk krisis iklim.

Pewarta: Rolandus Nampu

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022