Jakarta (Antara Bali) - Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan tiga kasus korupsi dan hibah yang total jumlahnya ratusan miliar di lingkungan lembaga pendidikan Polri.
"Ketiga kasus tersebut adalah dugaan korupsi di Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (Sespim) Lembang, kasus hibah di Akademi Kepolisian (Akpol) dan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK)," kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane di Jakarta, Minggu.
Kasus di Lembang menyangkut pembangunan Gedung DRC (Disaster Recovery Centre) seharga Rp139 miliar yang merupakan proyek Divisi Information Technology (IT) dan Assisten Sarpras Polri di Sespim Lembang, katanya.
"Bangunannya terdiri dari tiga lantai senilai Rp14 miliar dan IT senilai Rp125 Miliar. Biaya ini dinilai terlalu besar dan diduga terjadi 'mark up'," kata Neta.
Selain itu, Gedung DRC seharusnya dibangun di daerah bebas gempa. Polri sendiri sebenarnya belum perlu membangun Gedung DRC, tapi yang terjadi DRC dibangun di halaman dalam Sespim yang rawan gempa karena bagian dari kawasan sesar Lembang, katanya.
"Akibat berbagai kejanggalan itu sampai saat ini Kapolri belum mau meresmikan proyek yang sudah selesai tahun 2011 tersebut," kata Neta.
Diduga proyek DRC adalah korupsi terstruktur sehingga KPK harus mengusutnya, tapi mengapa semua malah diam, katanya.
"Selain itu KPK perlu mengusut rencana pembangunan Dormitory
Paramartha di Akpol, yang menggunakan dana hampir Rp60 miliar yang dimintakan dari beberapa pengusaha. KPK harus mengusut secara jelas siapa saja pengusaha yang menyumbang karena sumbangan itu disebut-sebut sebagai hibah dan hingga kini proyeknya tidak berjalan," kata Neta.(*/M038/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
"Ketiga kasus tersebut adalah dugaan korupsi di Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (Sespim) Lembang, kasus hibah di Akademi Kepolisian (Akpol) dan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK)," kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane di Jakarta, Minggu.
Kasus di Lembang menyangkut pembangunan Gedung DRC (Disaster Recovery Centre) seharga Rp139 miliar yang merupakan proyek Divisi Information Technology (IT) dan Assisten Sarpras Polri di Sespim Lembang, katanya.
"Bangunannya terdiri dari tiga lantai senilai Rp14 miliar dan IT senilai Rp125 Miliar. Biaya ini dinilai terlalu besar dan diduga terjadi 'mark up'," kata Neta.
Selain itu, Gedung DRC seharusnya dibangun di daerah bebas gempa. Polri sendiri sebenarnya belum perlu membangun Gedung DRC, tapi yang terjadi DRC dibangun di halaman dalam Sespim yang rawan gempa karena bagian dari kawasan sesar Lembang, katanya.
"Akibat berbagai kejanggalan itu sampai saat ini Kapolri belum mau meresmikan proyek yang sudah selesai tahun 2011 tersebut," kata Neta.
Diduga proyek DRC adalah korupsi terstruktur sehingga KPK harus mengusutnya, tapi mengapa semua malah diam, katanya.
"Selain itu KPK perlu mengusut rencana pembangunan Dormitory
Paramartha di Akpol, yang menggunakan dana hampir Rp60 miliar yang dimintakan dari beberapa pengusaha. KPK harus mengusut secara jelas siapa saja pengusaha yang menyumbang karena sumbangan itu disebut-sebut sebagai hibah dan hingga kini proyeknya tidak berjalan," kata Neta.(*/M038/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012