Sepanjang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) belum diubah, tampaknya wacana pemilihan secara elektronik (e-voting) pada Pemilu 2024 masih dalam batasan komunikasi verbal.
Dalam Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu untuk Digitalisasi Indonesia secara hibrida dari Bali, Rabu (23/3), Menkominfo Johnny G. Plate mengemukakan bahwa adopsi teknologi digital dalam pemilu memiliki manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate, baik dalam tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara, maupun transmisi dan tabulasi hasil pemilu.
Apa yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate soal digitalisasi penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) saat bertemu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI itu patut menjadi bahan pertimbangan pembuat undang-undang, dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI.
Dengan demikian, pemungutan suara pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, serta pemilu anggota DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota pada tahun 2024 bisa secara e-voting.
Beda dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) lebih visioner ketimbang UU Pemilu.
Pilkada di 33 provinsi dan di 508 kabupaten/kota pada tahun 2024 tetap bisa dilaksanakan meskipun Pemerintah belum mencabut kebijakan soal pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Aturan e-voting ini sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
Di dalam Pasal 85 ayat (1) disebutkan bahwa pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara: a. memberi tanda satu kali pada surat suara; atau b. memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.
Namun, dalam Ayat (2a) disebutkan bahwa pemberian suara secara elektronik itu dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan pemerintah daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah. Intinya penyelenggaraan pilkada elektronik harus melihat kesiapan infrastruktur di setiap daerah.
Infrastruktur
Terkait dengan wacana e-voting ini pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha angkat bicara. Pemungutan suara pada Pemilu 2024 secara elektronik (e-voting) sangat memungkinkan, apalagi Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri sudah memanfaatkan data kependudukan secara digital.
Namun, praktik e-voting ini memerlukan proses, misalnya pada tahap awal pelaksanaannya hanya di kota besar yang infrastrukturnya sudah mapan. Masalahnya, akan berbahaya dan berisiko besar bila penerapan e-voting langsung secara nasional pada Pemilu 2024. Oleh karena itu, pelaksanaannya harus secara bertahap terlebih dahulu.
Selain itu, perlu memikirkan teknis e-voting ini mau model seperti apa teknis pelaksanaannya apakah langsung dari smartphone atau harus lewat tempat pemungutan suara (TPS) khusus.
Di Amerika Serikat, misalnya, masih menyediakan tempat khusus untuk e-voting. Sementara itu, di Estonia, pemilu elektronik di negara ini terdiri atas voting lewat mesin elektronik khusus yang disiapkan oleh pemerintah setempat, dan voting secara remote lewat internet dengan personal computer (PC) serta smartphone.
Pada masa pandemi ini, kata Pratama, kebutuhan e-voting telah bergeser ke voting secara remote lewat internet, bisa dengan PC maupun smartphone pemilih. Hal ini yang lebih rumit dan membutuhkan pengamanan sistem yang lebih advance.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah memiliki teknologi e-voting, bahkan pada tahun 2019 sudah menerapkan di 981 pemilihan kepala desa (pilkades) di Tanah Air.
Namun, sistem yang dikembangkan BPPT adalah e-voting di tempat pemungutan suara (TPS), yang secara fungsi menghilangkan surat suara dan mempercepat hitungan karena tidak ada hitung manual. Model ini, menurut Pratama, nantinya bisa dilengkapi dengan teknologi voting via internet.
Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk e-voting. Selain regulasi, perlu menentukan infrastruktur yang akan melakukan full lewat internet atau juga membuat TPS khusus untuk e-voting.
Sistem ini yang harus disiapkan, termasuk pengamanannya, agar tidak mudah menjadi korban peretasan. Di samping itu juga berkaitan dengan kesiapan pusat data nasional. Tanpa ada pusat data nasional, akan mempersulit e-voting di Tanah Air.
Bangsa ini memerlukan pusat data nasional yang aman dan benar-benar teruji sehingga nanti tidak ada lemot dengan alasan traffic penuh dan alasan teknis lain berkenaan dengan jaringan serta pusat data.
Tak kalah pentingnya adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) di lapangan. Ini tugas berat bagi KPU untuk melakukan edukasi kepada petugasnya di lapangan, baik dari sisi regulasi, teknis, sampai pada keamanan sistem itu sendiri.
Hal lain yang patut mendapat perhatian dari pembentuk undang-undang adalah bangsa ini segera memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) guna memaksa KPU benar-benar mengimplementasikan keamanan pada sistem dan data masyarakat yang dikelolanya.
Prinsipnya e-voting harus disiapkan dengan baik dengan sekecil mungkin gangguan sistemnya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, terutama voting via internet.
Di sinilah ditekankan oleh Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014 bahwa keamanan harus dijadikan prioritas utama.
Hal ini mengingat berbagai kasus e-voting di Amerika Selatan yang terjadi adalah saling retas hasil pemilu. Harus ada proses enkripsi yang kuat dengan algoritma enkripsi buatan dalam negeri. Dalam hal ini KPU bisa bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Plus Minus E-Voting
Bila menilik pengalaman negara lain, selalu ada plus minus terkait dengan penggunaan e-voting ini. Misalnya, di beberapa negara Amerika Latin, seperti Meksiko, Brasil, bahkan Amerika Serikat, mengalami pengalaman kurang menyenangkan. AS bahkan pada Pilpres 2016 diyakini banyak pihak telah terjadi aksi peretasan oleh pihak luar untuk mempengaruhi perolehan suara.
Di Amerika Selatan sendiri, beberapa negara sudah melakukan e-voting, Brasil salah satunya. Beberapa peristiwa peretasan bertujuan mendelegitimasi hasil pemilu. Hal ini harus menjadi perhatian serius KPU RI bila ingin mengimplementasikan e-voting. Misalnya, dalam banyak kesempatan website KPU RI down dan berubah hasil tampilan perhitungan suaranya.
Meskipun hal tersebut tidak masuk dalam hitungan resmi pemilu, menurut Pratama, ini menunjukkan bagaimana berbahayanya e-voting bila dari sisi keamanan siber tidak benar-benar disiapkan.
Bila ini terjadi, peretasan pada sistem e-voting hanya akan dijadikan pintu masuk bagi dimulainya konflik politik dan perpecahan yang jauh lebih besar.
Banyak pembenahan menuju e-voting. Misalnya, soal data kependudukan yang dipakai, ini merujuk data yang mana? Karena data di KPU bisa jadi berbeda dengan dukcapil dan Kemensos. Ini terjadi karena belum adanya satu data.
Padahal, program satu data sendiri sudah digalakkan oleh Presiden RI Joko Widodo, salah satunya bertujuan agar data masyarakat ini hanya satu saja sehingga optimalisasi penggunaannya benar-benar maksimal.
Belum lagi masalah kebocoran data KPU, bahkan menurut Pratama, sudah beberapa kali terjadi dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari meski sebenarnya adanya peretasan dan mengubah hasil suara di situs KPU tidak akan mengubah hasil perhitungan suara manual. Pasalnya, amanat UU Pemilu masih menghitung manual. Oleh karena itu, selama ini ada peretasan relatif tidak berpengaruh pada hasil pemilu.
Dengan demikian, selama dengan UU lama dan metode perhitungan suara manual, manipulasi data perhitungan suara lewat sistem elektronik milik KPU seperti website tidak akan berpengaruh pada perhitungan manual. Dengan model saat ini, manipulasi perhitungan suara masih di lapangan.
Terus kapan e-voting bisa dilaksanakan di Indonesia? Semua itu tergantung pada bangsa ini mau menyiapkan model e-voting seperti apa, kemudian sejauh mana kota yang akan melakukan uji coba siap secara infrastruktur.
Pada prinsipnya bisa, hanya secara regulasi di DPR ini yang akan memakan waktu lama meski terkait dengan teknis teknologinya sebenarnya tidak menghabiskan banyak waktu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
Dalam Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu untuk Digitalisasi Indonesia secara hibrida dari Bali, Rabu (23/3), Menkominfo Johnny G. Plate mengemukakan bahwa adopsi teknologi digital dalam pemilu memiliki manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate, baik dalam tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara, maupun transmisi dan tabulasi hasil pemilu.
Apa yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate soal digitalisasi penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) saat bertemu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI itu patut menjadi bahan pertimbangan pembuat undang-undang, dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI.
Dengan demikian, pemungutan suara pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, serta pemilu anggota DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota pada tahun 2024 bisa secara e-voting.
Beda dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) lebih visioner ketimbang UU Pemilu.
Pilkada di 33 provinsi dan di 508 kabupaten/kota pada tahun 2024 tetap bisa dilaksanakan meskipun Pemerintah belum mencabut kebijakan soal pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Aturan e-voting ini sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
Di dalam Pasal 85 ayat (1) disebutkan bahwa pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara: a. memberi tanda satu kali pada surat suara; atau b. memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.
Namun, dalam Ayat (2a) disebutkan bahwa pemberian suara secara elektronik itu dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan pemerintah daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah. Intinya penyelenggaraan pilkada elektronik harus melihat kesiapan infrastruktur di setiap daerah.
Infrastruktur
Terkait dengan wacana e-voting ini pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha angkat bicara. Pemungutan suara pada Pemilu 2024 secara elektronik (e-voting) sangat memungkinkan, apalagi Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri sudah memanfaatkan data kependudukan secara digital.
Namun, praktik e-voting ini memerlukan proses, misalnya pada tahap awal pelaksanaannya hanya di kota besar yang infrastrukturnya sudah mapan. Masalahnya, akan berbahaya dan berisiko besar bila penerapan e-voting langsung secara nasional pada Pemilu 2024. Oleh karena itu, pelaksanaannya harus secara bertahap terlebih dahulu.
Selain itu, perlu memikirkan teknis e-voting ini mau model seperti apa teknis pelaksanaannya apakah langsung dari smartphone atau harus lewat tempat pemungutan suara (TPS) khusus.
Di Amerika Serikat, misalnya, masih menyediakan tempat khusus untuk e-voting. Sementara itu, di Estonia, pemilu elektronik di negara ini terdiri atas voting lewat mesin elektronik khusus yang disiapkan oleh pemerintah setempat, dan voting secara remote lewat internet dengan personal computer (PC) serta smartphone.
Pada masa pandemi ini, kata Pratama, kebutuhan e-voting telah bergeser ke voting secara remote lewat internet, bisa dengan PC maupun smartphone pemilih. Hal ini yang lebih rumit dan membutuhkan pengamanan sistem yang lebih advance.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah memiliki teknologi e-voting, bahkan pada tahun 2019 sudah menerapkan di 981 pemilihan kepala desa (pilkades) di Tanah Air.
Namun, sistem yang dikembangkan BPPT adalah e-voting di tempat pemungutan suara (TPS), yang secara fungsi menghilangkan surat suara dan mempercepat hitungan karena tidak ada hitung manual. Model ini, menurut Pratama, nantinya bisa dilengkapi dengan teknologi voting via internet.
Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk e-voting. Selain regulasi, perlu menentukan infrastruktur yang akan melakukan full lewat internet atau juga membuat TPS khusus untuk e-voting.
Sistem ini yang harus disiapkan, termasuk pengamanannya, agar tidak mudah menjadi korban peretasan. Di samping itu juga berkaitan dengan kesiapan pusat data nasional. Tanpa ada pusat data nasional, akan mempersulit e-voting di Tanah Air.
Bangsa ini memerlukan pusat data nasional yang aman dan benar-benar teruji sehingga nanti tidak ada lemot dengan alasan traffic penuh dan alasan teknis lain berkenaan dengan jaringan serta pusat data.
Tak kalah pentingnya adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) di lapangan. Ini tugas berat bagi KPU untuk melakukan edukasi kepada petugasnya di lapangan, baik dari sisi regulasi, teknis, sampai pada keamanan sistem itu sendiri.
Hal lain yang patut mendapat perhatian dari pembentuk undang-undang adalah bangsa ini segera memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) guna memaksa KPU benar-benar mengimplementasikan keamanan pada sistem dan data masyarakat yang dikelolanya.
Prinsipnya e-voting harus disiapkan dengan baik dengan sekecil mungkin gangguan sistemnya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, terutama voting via internet.
Di sinilah ditekankan oleh Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014 bahwa keamanan harus dijadikan prioritas utama.
Hal ini mengingat berbagai kasus e-voting di Amerika Selatan yang terjadi adalah saling retas hasil pemilu. Harus ada proses enkripsi yang kuat dengan algoritma enkripsi buatan dalam negeri. Dalam hal ini KPU bisa bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Plus Minus E-Voting
Bila menilik pengalaman negara lain, selalu ada plus minus terkait dengan penggunaan e-voting ini. Misalnya, di beberapa negara Amerika Latin, seperti Meksiko, Brasil, bahkan Amerika Serikat, mengalami pengalaman kurang menyenangkan. AS bahkan pada Pilpres 2016 diyakini banyak pihak telah terjadi aksi peretasan oleh pihak luar untuk mempengaruhi perolehan suara.
Di Amerika Selatan sendiri, beberapa negara sudah melakukan e-voting, Brasil salah satunya. Beberapa peristiwa peretasan bertujuan mendelegitimasi hasil pemilu. Hal ini harus menjadi perhatian serius KPU RI bila ingin mengimplementasikan e-voting. Misalnya, dalam banyak kesempatan website KPU RI down dan berubah hasil tampilan perhitungan suaranya.
Meskipun hal tersebut tidak masuk dalam hitungan resmi pemilu, menurut Pratama, ini menunjukkan bagaimana berbahayanya e-voting bila dari sisi keamanan siber tidak benar-benar disiapkan.
Bila ini terjadi, peretasan pada sistem e-voting hanya akan dijadikan pintu masuk bagi dimulainya konflik politik dan perpecahan yang jauh lebih besar.
Banyak pembenahan menuju e-voting. Misalnya, soal data kependudukan yang dipakai, ini merujuk data yang mana? Karena data di KPU bisa jadi berbeda dengan dukcapil dan Kemensos. Ini terjadi karena belum adanya satu data.
Padahal, program satu data sendiri sudah digalakkan oleh Presiden RI Joko Widodo, salah satunya bertujuan agar data masyarakat ini hanya satu saja sehingga optimalisasi penggunaannya benar-benar maksimal.
Belum lagi masalah kebocoran data KPU, bahkan menurut Pratama, sudah beberapa kali terjadi dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari meski sebenarnya adanya peretasan dan mengubah hasil suara di situs KPU tidak akan mengubah hasil perhitungan suara manual. Pasalnya, amanat UU Pemilu masih menghitung manual. Oleh karena itu, selama ini ada peretasan relatif tidak berpengaruh pada hasil pemilu.
Dengan demikian, selama dengan UU lama dan metode perhitungan suara manual, manipulasi data perhitungan suara lewat sistem elektronik milik KPU seperti website tidak akan berpengaruh pada perhitungan manual. Dengan model saat ini, manipulasi perhitungan suara masih di lapangan.
Terus kapan e-voting bisa dilaksanakan di Indonesia? Semua itu tergantung pada bangsa ini mau menyiapkan model e-voting seperti apa, kemudian sejauh mana kota yang akan melakukan uji coba siap secara infrastruktur.
Pada prinsipnya bisa, hanya secara regulasi di DPR ini yang akan memakan waktu lama meski terkait dengan teknis teknologinya sebenarnya tidak menghabiskan banyak waktu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022