Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali Dewa Nyoman Rai Dharmadi mengusulkan agar dibuat perarem (aturan di desa adat berdasarkan hasil keputusan rapat) yang berisi larangan bagi petani arak untuk memproduksi arak gula.
"Kami memang tidak bisa mengintervensi desa adat. Tetapi, saran kami akan lebih efektif diatur melalui perarem," kata Rai Dharmadi di Denpasar, Senin.
Terkait dengan maraknya petani dan perajin arak di Bali yang memproduksi arak berbahan gula, pihaknya sudah beberapa kali melakukan upaya penertiban dan juga sosialisasi dengan cara-cara persuasif agar kembali mengedepankan bahan lokal.
"Arak Bali kita sudah memiliki ciri khas, jangan sampai malah 'terkubur' oleh hal-hal yang mudah dan tidak benar," ujar birokrat asal Nusa Penida, Kabupaten Klungkung itu.
Baca juga: Gubernur Bali minta produksi arak gula di Karangasem ditutup
Menurut dia, jika praktik produksi arak gula terus dibiarkan, kekhasan arak Bali bisa hilang. Selain itu, ketika arak gula dikonsumsi berkepanjangan, juga bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
Terlebih, para petani arak gula tersebut menggunakan gula rafinasi yang tidak dapat dikonsumsi secara langsung. Gula rafinasi hanya diperuntukkan bagi industri sebagai bahan baku atau zat tambahan dalam proses produksi.
Sebelumnya, melalui Surat Keputusan Menperindag No 527/MPT/KET/9/2004, produsen dilarang menjual gula rafinasi kepada distributor, pedagang eceran, dan konsumen. Pasalnya produk ini berpotensi menyebabkan masalah kesehatan seperti diabetes, obesitas dan penuaan pada kulit.
Dari hasil pengawasan di lapangan, kata Rai Dharmadi, satu petani arak dalam satu hari bisa memproduksi arak gula di atas 30 liter, bahkan sampai ratusan liter.
Petani dan perajin arak Bali, saat ini paling banyak ada di Kabupaten Karangasem dan sebagian lagi ada di Kabupaten Buleleng.
Baca juga: DPRD Bali; Perlu sosialisasi Pergub Arak
"Alasan mereka melakukan praktik produksi arak gula karena sering mengatasnamakan situasi pandemi COVID-19 dan kesulitan mencari bahan lokal untuk memproduksi seperti kelapa dan enau," kata Rai Dharmadi.
Namun, di sisi lain, mereka menyebut tuntutan pasar meningkat, setelah terbitnya Peraturan Gubernur Bali No 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
Sebelumnya Gubernur Bali Wayan Koster meminta meminta Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali serta Kabupaten Karangasem untuk menutup produksi arak gula yang semakin menjamur di Kabupaten Karangasem.
Menurut Koster, ada sejumlah alasan yang mendasari mengapa produksi arak gula harus ditutup. Pertama, mengancam tradisi dan kelestarian minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali dengan bahan baku lokal.
Kedua, mengancam kesejahteraan para petani dan perajin arak, karena merugikan harga pasar. Ketiga, mematikan cita rasa dan branding arak Bali.
Keempat, membahayakan kesehatan masyarakat, karena di dalam destilasi arak gula mengandung ragi sintetis yang terbuat dari bahan kimia. Yang terakhir, bertentangan dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
"Kami memang tidak bisa mengintervensi desa adat. Tetapi, saran kami akan lebih efektif diatur melalui perarem," kata Rai Dharmadi di Denpasar, Senin.
Terkait dengan maraknya petani dan perajin arak di Bali yang memproduksi arak berbahan gula, pihaknya sudah beberapa kali melakukan upaya penertiban dan juga sosialisasi dengan cara-cara persuasif agar kembali mengedepankan bahan lokal.
"Arak Bali kita sudah memiliki ciri khas, jangan sampai malah 'terkubur' oleh hal-hal yang mudah dan tidak benar," ujar birokrat asal Nusa Penida, Kabupaten Klungkung itu.
Baca juga: Gubernur Bali minta produksi arak gula di Karangasem ditutup
Menurut dia, jika praktik produksi arak gula terus dibiarkan, kekhasan arak Bali bisa hilang. Selain itu, ketika arak gula dikonsumsi berkepanjangan, juga bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
Terlebih, para petani arak gula tersebut menggunakan gula rafinasi yang tidak dapat dikonsumsi secara langsung. Gula rafinasi hanya diperuntukkan bagi industri sebagai bahan baku atau zat tambahan dalam proses produksi.
Sebelumnya, melalui Surat Keputusan Menperindag No 527/MPT/KET/9/2004, produsen dilarang menjual gula rafinasi kepada distributor, pedagang eceran, dan konsumen. Pasalnya produk ini berpotensi menyebabkan masalah kesehatan seperti diabetes, obesitas dan penuaan pada kulit.
Dari hasil pengawasan di lapangan, kata Rai Dharmadi, satu petani arak dalam satu hari bisa memproduksi arak gula di atas 30 liter, bahkan sampai ratusan liter.
Petani dan perajin arak Bali, saat ini paling banyak ada di Kabupaten Karangasem dan sebagian lagi ada di Kabupaten Buleleng.
Baca juga: DPRD Bali; Perlu sosialisasi Pergub Arak
"Alasan mereka melakukan praktik produksi arak gula karena sering mengatasnamakan situasi pandemi COVID-19 dan kesulitan mencari bahan lokal untuk memproduksi seperti kelapa dan enau," kata Rai Dharmadi.
Namun, di sisi lain, mereka menyebut tuntutan pasar meningkat, setelah terbitnya Peraturan Gubernur Bali No 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
Sebelumnya Gubernur Bali Wayan Koster meminta meminta Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali serta Kabupaten Karangasem untuk menutup produksi arak gula yang semakin menjamur di Kabupaten Karangasem.
Menurut Koster, ada sejumlah alasan yang mendasari mengapa produksi arak gula harus ditutup. Pertama, mengancam tradisi dan kelestarian minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali dengan bahan baku lokal.
Kedua, mengancam kesejahteraan para petani dan perajin arak, karena merugikan harga pasar. Ketiga, mematikan cita rasa dan branding arak Bali.
Keempat, membahayakan kesehatan masyarakat, karena di dalam destilasi arak gula mengandung ragi sintetis yang terbuat dari bahan kimia. Yang terakhir, bertentangan dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022