Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyampaikan hasil kajian atas permasalahan lonjakan harga minyak goreng dalam forum jurnalis yang diadakan secara daring, pada Kamis (20/1).
Forum tersebut menghadirkan Komisioner KPPU, Ukay Karyadi dan Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Renamanggala, demikian siaran pers di terima Antara Bali, Jumat.
Ukay menyebutkan berdasarkan hasil penelitian, KPPU menjelaskan bahwa kenaikan harga minyak goreng tersebut antara lain dipicu oleh kenaikan permintaan crude palm oil (CPO) di industri biodisel dan pasar internasional.
Baca juga: Menko Airlangga: Mulai besok, harga minyak goreng Rp14 ribu per liter
Upaya penetapan harga oleh Pemerintah saat ini bagus dalam jangka pendek, namun di jangka panjang belum dapat menyelesaikan persoalan industri yang diwarnai oleh tingginya konsentrasi pelaku usaha yang terintegrasi dan kebijakan yang belum mendorong peningkatan jumlah pelaku usaha di industri tersebut.
Penelitian dilaksanakan dan dilatarbelakangi lonjakan harga minyak goreng dari bulan Oktober 2021 hingga mencapai Rp20.000 per liter dan adanya dugaan kartel dalam kenaikan harga minyak goreng.
Penelitian difokuskan pada dua sisi, yakni apakah kenaikan ini disebabkan adanya kebijakan Pemerintah atau terdapat perilaku antipersaingan oleh pelaku usaha.
Dijelaskan, bahwa sinyal-sinyal terkait kedua hal tersebut sudah ada. Dari hasil penelitian, KPPU melihat bahwa terdapat konsentrasi pasar (CR4) sebesar 46,5 persen di pasar minyak goreng. Artinya hampir setengah pasar, dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng.
Pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO hingga produsen minyak goreng.
Sebaran pabrik minyak goreng juga dilihat tidak merata. Dimana sebagian besar pabrik berada di Pulau Jawa dan tidak berada di wilayah perkebunan kelapa sawit. Padahal ketergantungan pabrik minyak goreng akan pasokan CPO menjadi sangat besar.
Baca juga: Erick: BUMN operasi pasar 3,7 juta liter minyak goreng hingga Mei 2022
Menurut Ukey, KPPU menilai kenaikan harga minyak goreng di berbagai wilayah sejalan dengan kenaikan permintaan dan naiknya harga CPO. Kenaikan tersebut dikarenakan tumbuhnya industri biodiesel, turunnya pajak ekspor di India, dan naiknya permintaan dari luar negeri akibat kenaikan akibat kebutuhan akan bahan bakar.
Posisi CPO sebagai komoditas global juga menyebabkan produsen minyak goreng sulit bersaing dengan pasar ekspor dalam hal mendapatkan bahan baku meskipun produsen minyak goreng masih satu kelompok usaha
dengan pelaku usaha eksportir CPO.
Sementara, KPPU melihat kebijakan pemerintah yang ada saat ini belum mendorong adanya pertumbuhan industri minyak goreng dengan banyaknya aturan yang membatasi dan mengurangi persaingan usaha.
KPPU pernah menyampaikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah terkait berbagai kebijakan yang mengurangi persaingan usaha di industri pada tahun 2007.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, KPPU menyarankan agar Pemerintah mencabut regulasi yang menimbulkan hambatan masuk (entry barrier) pelaku usaha baru di industri minyak goreng, termasuk pelaku usaha lokal dan skala menengah kecil.
Semakin banyaknya pelaku usaha baru diharapkan akan mengurangi dominasi kelompok usaha yang berintegrasi secara vertikal.
Untuk menjamin pasokan CPO, KPPU menyarankan agar perlu didorong adanya kontrak antara produsen minyak goreng dengan CPO untuk menjamin harga dan pasokan.
KPPU berharap harga pasar dapat berjalan sesuai hukum pasar dan tidak dipengaruhi adanya kartel atau kesepakatan akan tetapi berdasarkan hukum pasokan dan permintaan (supply and demand), dan berharap Pemerintah mendorong pelaku usaha yang tidak terafiliasi. KPPU akan terus mendalami berbagai alat bukti atas permasalahan industri ini.*
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
Forum tersebut menghadirkan Komisioner KPPU, Ukay Karyadi dan Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Renamanggala, demikian siaran pers di terima Antara Bali, Jumat.
Ukay menyebutkan berdasarkan hasil penelitian, KPPU menjelaskan bahwa kenaikan harga minyak goreng tersebut antara lain dipicu oleh kenaikan permintaan crude palm oil (CPO) di industri biodisel dan pasar internasional.
Baca juga: Menko Airlangga: Mulai besok, harga minyak goreng Rp14 ribu per liter
Upaya penetapan harga oleh Pemerintah saat ini bagus dalam jangka pendek, namun di jangka panjang belum dapat menyelesaikan persoalan industri yang diwarnai oleh tingginya konsentrasi pelaku usaha yang terintegrasi dan kebijakan yang belum mendorong peningkatan jumlah pelaku usaha di industri tersebut.
Penelitian dilaksanakan dan dilatarbelakangi lonjakan harga minyak goreng dari bulan Oktober 2021 hingga mencapai Rp20.000 per liter dan adanya dugaan kartel dalam kenaikan harga minyak goreng.
Penelitian difokuskan pada dua sisi, yakni apakah kenaikan ini disebabkan adanya kebijakan Pemerintah atau terdapat perilaku antipersaingan oleh pelaku usaha.
Dijelaskan, bahwa sinyal-sinyal terkait kedua hal tersebut sudah ada. Dari hasil penelitian, KPPU melihat bahwa terdapat konsentrasi pasar (CR4) sebesar 46,5 persen di pasar minyak goreng. Artinya hampir setengah pasar, dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng.
Pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO hingga produsen minyak goreng.
Sebaran pabrik minyak goreng juga dilihat tidak merata. Dimana sebagian besar pabrik berada di Pulau Jawa dan tidak berada di wilayah perkebunan kelapa sawit. Padahal ketergantungan pabrik minyak goreng akan pasokan CPO menjadi sangat besar.
Baca juga: Erick: BUMN operasi pasar 3,7 juta liter minyak goreng hingga Mei 2022
Menurut Ukey, KPPU menilai kenaikan harga minyak goreng di berbagai wilayah sejalan dengan kenaikan permintaan dan naiknya harga CPO. Kenaikan tersebut dikarenakan tumbuhnya industri biodiesel, turunnya pajak ekspor di India, dan naiknya permintaan dari luar negeri akibat kenaikan akibat kebutuhan akan bahan bakar.
Posisi CPO sebagai komoditas global juga menyebabkan produsen minyak goreng sulit bersaing dengan pasar ekspor dalam hal mendapatkan bahan baku meskipun produsen minyak goreng masih satu kelompok usaha
dengan pelaku usaha eksportir CPO.
Sementara, KPPU melihat kebijakan pemerintah yang ada saat ini belum mendorong adanya pertumbuhan industri minyak goreng dengan banyaknya aturan yang membatasi dan mengurangi persaingan usaha.
KPPU pernah menyampaikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah terkait berbagai kebijakan yang mengurangi persaingan usaha di industri pada tahun 2007.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, KPPU menyarankan agar Pemerintah mencabut regulasi yang menimbulkan hambatan masuk (entry barrier) pelaku usaha baru di industri minyak goreng, termasuk pelaku usaha lokal dan skala menengah kecil.
Semakin banyaknya pelaku usaha baru diharapkan akan mengurangi dominasi kelompok usaha yang berintegrasi secara vertikal.
Untuk menjamin pasokan CPO, KPPU menyarankan agar perlu didorong adanya kontrak antara produsen minyak goreng dengan CPO untuk menjamin harga dan pasokan.
KPPU berharap harga pasar dapat berjalan sesuai hukum pasar dan tidak dipengaruhi adanya kartel atau kesepakatan akan tetapi berdasarkan hukum pasokan dan permintaan (supply and demand), dan berharap Pemerintah mendorong pelaku usaha yang tidak terafiliasi. KPPU akan terus mendalami berbagai alat bukti atas permasalahan industri ini.*
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022