Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali Trisno Nugroho mengatakan upaya mendorong sektor pertanian melalui digitalisasi pertanian (pertanian 4.0) menjadi langkah penting dalam mempercepat pemulihan ekonomi serta mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
"Potensi pengembangan sektor pertanian Bali dan Nusa Tenggara ke depan sesungguhnya masih sangat besar. Namun, sejumlah tantangan dari aspek produksi, kelembagaan, dan pemasaran masih menghadang," kata Trisno dalam Webinar bertema Transformasi Ekonomi: Balinusra Menuju Pertanian 4.0 di Denpasar, Selasa.
Trisno mengemukakan, komoditas pertanian yang menjadi penopang ekspor untuk Bali dan Nusa Tenggara seperti buah-buahan, kopi, kakao, tanaman obat. Sedangkan untuk produk kelautan seperti kepiting, udang, ikan tuna, mutiara dan rumput laut.
Baca juga: Badung majukan sektor pertanian dengan aplikasi Go-Tani
Di NTB dan NTT, lapangan usaha pertanian menjadi penyumbang utama Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan pangsa masing-masing 23 persen dan 29 persen pada 2020. Sementara itu, di Bali, lapangan usaha pertanian memiliki pangsa 15 persen terhadap PDRB.
Trisno menambahkan, di Bali sebanyak 23 persen penduduk bekerja di sektor pertanian, sedangkan di NTB dan NTT, pekerja di sektor pertanian masing-masing sebesar 35 persen dan 54 persen.
"Saat ini, sektor pertanian memiliki peranan yang lebih penting yaitu menyerap tenaga kerja dari sektor industri dan sektor jasa yang kehilangan pekerjaan akibat terkena dampak pandemi COVID-19," ucapnya.
Terkait pengembangan pertanian dari aspek faktor produksi ini, pertama dihadapkan pada teknologi produksi masih rendah dengan kapasitas SDM yang terbatas sehingga produktivitas dan nilai tambah pengolahan komoditas belum optimal.
Kedua, dari aspek kelembagaan, peran kelompok tani juga masih belum optimal baik dari hulu seperti pengawasan praktik bertani yang baik, maupun sampai sisi hilir seperti implementasi korporatisasi petani untuk mencapai skala ekonomi, mendapat pembiayaan, dan pasar yang lebih pasti.
Ketiga, aspek pemasaran, yaitu tantangan menuju perdagangan luar negeri (ekspor) yang mencakup hambatan tarif berupa pajak ekspor maupun non tarif seperti persyaratan atau sertifikasi dan lain sebagainya yang dikenakan oleh negara pasar.
"Oleh karena itu, dengan penerapan digitalisasi pertanian di sisi hulu diharapkan akan mengubah cara bertani, perilaku petani, hingga cara penyediaan input. Sementara itu, penerapan digitalisasi sisi hilir akan memperluas cakupan pasar, efisiensi harga, hingga cara penjualan produk," ucapnya.
Baca juga: PLN Bali ajak Petani Modern manfaatkan Listrik tekan Biaya Produksi
Upaya digitalisasi pertanian ini sudah mulai dilihat di Indonesia melalui berbagai model dan inovasi seperti pertanian vertikal, pertanian presisi, dan pertanian pintar (smart farming). Di wilayah Balinusra sendiri, penerapan pertanian 4.0 masih terbatas.
Trisno menambahkan, dalam penelitian yang dilakukan pihaknya, implementasi pertanian digital di Balinusra baru terjadi pada sisi hilir yaitu pemanfaatan e-commerce untuk penjualan produk, belum dari hulu ke hilir.
Sementara itu, anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia Rosmaya Hadi meyakini dengan pertanian 4.0 akan mendukung stabilitas harga, sehingga ini sangat penting karena stabilitas harga menjadi prasyarat utama dalam menjaga stabilitas makro ekonomi maupun sistem keuangan.
"Otomatisasi data stok misalnya akan mengurangi disparitas antardaerah yang surplus dan juga defisit pangan. Keseimbangan yang lebih baik ini akan berpengaruh juga terhadap stabilitas harga," ucapnya.
BI, lanjut dia, sangat menaruh perhatian dan mendukung kebijakan digitalisasi sektor pertanian ini karena juga mendukung stabilitas inflasi dan inklusi keuangan.
Dalam kesempatan webinar tersebut meghadirkan narasumber Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Gubernur NTB Zulkieflimansyah, dan Gubernur NTT Viktor Laiskodat, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudyanto) dan Guru Besar IPB Prof Muhammad Firdaus.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
"Potensi pengembangan sektor pertanian Bali dan Nusa Tenggara ke depan sesungguhnya masih sangat besar. Namun, sejumlah tantangan dari aspek produksi, kelembagaan, dan pemasaran masih menghadang," kata Trisno dalam Webinar bertema Transformasi Ekonomi: Balinusra Menuju Pertanian 4.0 di Denpasar, Selasa.
Trisno mengemukakan, komoditas pertanian yang menjadi penopang ekspor untuk Bali dan Nusa Tenggara seperti buah-buahan, kopi, kakao, tanaman obat. Sedangkan untuk produk kelautan seperti kepiting, udang, ikan tuna, mutiara dan rumput laut.
Baca juga: Badung majukan sektor pertanian dengan aplikasi Go-Tani
Di NTB dan NTT, lapangan usaha pertanian menjadi penyumbang utama Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan pangsa masing-masing 23 persen dan 29 persen pada 2020. Sementara itu, di Bali, lapangan usaha pertanian memiliki pangsa 15 persen terhadap PDRB.
Trisno menambahkan, di Bali sebanyak 23 persen penduduk bekerja di sektor pertanian, sedangkan di NTB dan NTT, pekerja di sektor pertanian masing-masing sebesar 35 persen dan 54 persen.
"Saat ini, sektor pertanian memiliki peranan yang lebih penting yaitu menyerap tenaga kerja dari sektor industri dan sektor jasa yang kehilangan pekerjaan akibat terkena dampak pandemi COVID-19," ucapnya.
Terkait pengembangan pertanian dari aspek faktor produksi ini, pertama dihadapkan pada teknologi produksi masih rendah dengan kapasitas SDM yang terbatas sehingga produktivitas dan nilai tambah pengolahan komoditas belum optimal.
Kedua, dari aspek kelembagaan, peran kelompok tani juga masih belum optimal baik dari hulu seperti pengawasan praktik bertani yang baik, maupun sampai sisi hilir seperti implementasi korporatisasi petani untuk mencapai skala ekonomi, mendapat pembiayaan, dan pasar yang lebih pasti.
Ketiga, aspek pemasaran, yaitu tantangan menuju perdagangan luar negeri (ekspor) yang mencakup hambatan tarif berupa pajak ekspor maupun non tarif seperti persyaratan atau sertifikasi dan lain sebagainya yang dikenakan oleh negara pasar.
"Oleh karena itu, dengan penerapan digitalisasi pertanian di sisi hulu diharapkan akan mengubah cara bertani, perilaku petani, hingga cara penyediaan input. Sementara itu, penerapan digitalisasi sisi hilir akan memperluas cakupan pasar, efisiensi harga, hingga cara penjualan produk," ucapnya.
Baca juga: PLN Bali ajak Petani Modern manfaatkan Listrik tekan Biaya Produksi
Upaya digitalisasi pertanian ini sudah mulai dilihat di Indonesia melalui berbagai model dan inovasi seperti pertanian vertikal, pertanian presisi, dan pertanian pintar (smart farming). Di wilayah Balinusra sendiri, penerapan pertanian 4.0 masih terbatas.
Trisno menambahkan, dalam penelitian yang dilakukan pihaknya, implementasi pertanian digital di Balinusra baru terjadi pada sisi hilir yaitu pemanfaatan e-commerce untuk penjualan produk, belum dari hulu ke hilir.
Sementara itu, anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia Rosmaya Hadi meyakini dengan pertanian 4.0 akan mendukung stabilitas harga, sehingga ini sangat penting karena stabilitas harga menjadi prasyarat utama dalam menjaga stabilitas makro ekonomi maupun sistem keuangan.
"Otomatisasi data stok misalnya akan mengurangi disparitas antardaerah yang surplus dan juga defisit pangan. Keseimbangan yang lebih baik ini akan berpengaruh juga terhadap stabilitas harga," ucapnya.
BI, lanjut dia, sangat menaruh perhatian dan mendukung kebijakan digitalisasi sektor pertanian ini karena juga mendukung stabilitas inflasi dan inklusi keuangan.
Dalam kesempatan webinar tersebut meghadirkan narasumber Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Gubernur NTB Zulkieflimansyah, dan Gubernur NTT Viktor Laiskodat, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudyanto) dan Guru Besar IPB Prof Muhammad Firdaus.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021