Denpasar (Antara Bali) - Drs I Gde Nala Antara MHum, akademisi dari Jurusan Sastra Bali, Universitas Udayana, menilai selama ini kecenderungan masyarakat salah persepsi dengan menyakralkan keberadaan semua lontar.
"Secara umum lontar tidak perlu disakralkan karena mengandung berbagai ilmu pengetahuan. Seringkali disakralkan karena tidak setiap golongan masyarakat dianggap siap secara mental dan psikologis," kata Ketua Jurusan Sastra Bali Fakultas Sastra, Unud, itu di Denpasar, Senin.
Menurut dia, terutamanya lontar-lontar yang memiliki kandungan ilmu tinggi dan berisi ajaran ilmu hitam (ugig), tentunya tidak semua orang dianggap mampu untuk mempelajari. "Jangan sampai dipelajari oleh orang yang tidak bertanggung jawab," ucapnya.
Namun, kalau lontar usadha (pengobatan) dan lontar pipil (kepemilikan tanah) tentu tidak perlu disakralkan lagi. Justru dari lontar itu, kata dia, dapat diambil manfaatnya
Di sisi lain, pandangan sakral atau tidaknya sebuah lontar tergantung pula pada pemilik lontar bersangkutan, di samping kesiapan mental.
"Kalau sudah dianggap bisa dan mampu, mengapa harus dibilang sakral? Dulu ditulis di lontar karena belum ada media lainnya untuk menulis," katanya.(LHS/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
"Secara umum lontar tidak perlu disakralkan karena mengandung berbagai ilmu pengetahuan. Seringkali disakralkan karena tidak setiap golongan masyarakat dianggap siap secara mental dan psikologis," kata Ketua Jurusan Sastra Bali Fakultas Sastra, Unud, itu di Denpasar, Senin.
Menurut dia, terutamanya lontar-lontar yang memiliki kandungan ilmu tinggi dan berisi ajaran ilmu hitam (ugig), tentunya tidak semua orang dianggap mampu untuk mempelajari. "Jangan sampai dipelajari oleh orang yang tidak bertanggung jawab," ucapnya.
Namun, kalau lontar usadha (pengobatan) dan lontar pipil (kepemilikan tanah) tentu tidak perlu disakralkan lagi. Justru dari lontar itu, kata dia, dapat diambil manfaatnya
Di sisi lain, pandangan sakral atau tidaknya sebuah lontar tergantung pula pada pemilik lontar bersangkutan, di samping kesiapan mental.
"Kalau sudah dianggap bisa dan mampu, mengapa harus dibilang sakral? Dulu ditulis di lontar karena belum ada media lainnya untuk menulis," katanya.(LHS/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012