Oleh Ni Luh Rhismawati
Denpasar (Antara Bali) - Di tengah tingginya biaya pelaksanaan pilkada secara langsung, nampaknya menjadi tidak elok jika dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan terjadi pecah kongsi antara kepala daerah dengan wakilnya.
Tidak sedikit wacana menyebutkan pilkada perlu ditinjau ulang karena selama ini dikatakan masih menyisakan sejumlah persoalan pelik.
Demokrasi elektoral yang digunakan dalam pilkada secara langsung dinilai ongkosnya terlalu tinggi dan cenderung menciptakan disharmoni antara kepala daerah dengan wakilnya.
Apalagi kalau perpecahan itu dijadikan alasan utama tidak mewujudkan visi misi dan janji-janji yang telah dibuat sebelumnya untuk menyejahterakan rakyat.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan dalam suatu diskusi di Denpasar mencontohkan pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur telah menghabiskan biaya hingga Rp970 miliar.
Menurut dia, sangat disayangkan jika uang negara sebesar itu hanya digunakan untuk memilih seorang kepala daerah dengan wakilnya. Padahal kewenangan seorang gubernur dan wakil gubernur terbatas.
"Di daerah, seorang gubernur hanya mempunyai kewenangan sebesar 24 persen, sedangkan 76 persen sisanya menjalankan tugas wakil pemerintah pusat," ujar Djohermansyah.
Tak hanya di Jawa Timur, pelaksanaan pilkada menggunakan nominal yang tidak sedikit juga akan berlangsung di Pulau Dewata. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah Provinsi Bali yang dijadwalkan pada Mei 2013 telah dianggarkan mencapai lebih dari Rp133,1 miliar.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa menyebutkan anggaran sebesar itu dirancang sudah termasuk pemilihan kepala daerah putaran pertama, putaran kedua, hingga antisipasi kemungkinan pemungutan suara ulang."Anggaran ini sudah disetujui oleh DPRD Bali," kata Lanang.
Jumlah ini terjadi peningkatan hingga tiga kali lipat lebih dibandingkan anggaran pelaksanaan Pilkada Bali 2008 yang saat itu menghabiskan sebesar Rp43,71 miliar lebih.
Pengamat politik Dr Anak Agung Gede Oka Wisnumurti memandang usulan pemerintah untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah dengan wakilnya yang dituangkan pada perubahan RUU Pilkada sebagai sesuatu yang tidak tepat.
"Kalau alasannya banyak konflik sehingga dibuat aturan pemilihan seperti itu. Apa pemerintah bisa menjamin tidak akan konflik?," tanyanya.
Semestinya, menurut mantan Ketua KPU Bali ini, sistem kepemerintahan yang diperbaiki dan dibuat lebih jelas. Sistem yang ada saat ini, segala sesuatunya berdasarkan surat keputusan (SK) bupati dan gubernur bukan SK wakil bupati maupun wakil gubernur.
"Artinya sistem kepemerintahan yang harus dibuat lebih jelas, apa tugas kepala daerah dan wakilnya. Menteri dalam negeri seharusnya membuat itu," katanya.
Baginya cenderung sistem kepemerintahanlah yang membuat konflik pasangan pemimpin di daerah, dan bukan pada sistem pemilihannya.
"Ketika mereka maju dan berpasangan pada pilkada memakai urunan, tetapi ketika sudah jadi atau menjabat, kewenangan kepala daerah jauh lebih tinggi daripada wakilnya," ujarnya.
Dwi Tunggal Soekarno-Hatta
Pecah kongsi di tengah perjalanan antara kepala daerah dengan wakilnya, selain disebabkan oleh sistem kepemerintahan juga karena dari awal tidak adanya kesatuan pandang visi misi yang harus diwujudkan.
Menurut Wisnumurti yang juga Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Bali ini, semestinya, kesatuan pandang kepala daerah dan wakilnya dapat mencontoh konsep Dwi Tunggal yang diterapkan Bapak Proklamator Negara.
Presiden Soekarno dan Wapresnya Bung Hatta sering berdebat, tetapi ketika berbicara mengenai urusan negara dan pemerintahan, mereka pasti akhirnya satu pandangan.
"Dari ide dan gagasan bisa saja saling berdebat, itu boleh-boleh saja sebagai pribadi dalam rangka memperbaiki pemerintahan dan rakyat serta daerah," ujarnya.
Hal yang sama seharusnya dilakukan kepala daerah karena visi misi saat pencalonan itu merupakan komitmen politik. Komunikasi yang tidak terjadi akibat pembagian tugas yang tak jelas dari sistem kepemerintahan dapat diminimalisasi jika tiap individu pimpinan daerah memiliki komitmen yang tinggi pada negara dan rakyat.
Namun, sayangnya janji-janji politik dan visi misi setiap pasangan kepala daerah selama ini cenderung sebagai pemanis dan pencitraan guna memperoleh simpati rakyat.
"Padahal visi dan misi itu adalah sesuatu yang harus diwujudkan berdasarkan analisis situasi dan kondisi daerah masyarakatnya," katanya.
Oleh karena itu, para kandidat pimpinan daerah sebelum menyusun visi misi seharusnya mengerti apa yang menjadi kebutuhan dan permasalahan di daerah. "Celakanya, yang sering saya lihat visi misi justru dibuat oleh orang lain dan kepala daerahnya sendiri tidak mengerti," ujarnya.
Kontrol DPRD Dan Publik
Wisnumurti menilai, kalau terjadi visi misi dan juga program yang dijanjikan pimpinan daerah tidak tercapai, itu sesungguhnya menandakan kepala daerah sudah melakukan kebohongan publik.
"Visi misi harus dipertanggungjawabkan dan DPRD berhak untuk menuntut sejauhmana visi misi yang sudah dibuat dijalankan. Namun, mekanisme ini yang sering tidak jalan," ucapnya.
Ke depan, tentu kontrol DPRD tidak saja terhadap program yang dilaksanakan, tetapi sejauhmana program itu dilaksanakan dalam rangka mewujudkan visi misi kepala daerah. DPRD pun, lanjut dia, tidak boleh serta merta tidak menyetujui ketika kepala daerah mengajukan program yang terkait dengan visi misi dan program ketika masih menjadi calon kepala daerah.
"Sepanjang bentuk 'take and give' dalam konteks positif demi kepentingan rakyat, DPRD seyogyanya menyetujui," ujarnya.
Demikian pula dengan kontrak politik yang biasa ditandatangani paket pasangan kepala daerah, sebenarnya mempunyai kekuatan hukum bagi rakyat untuk menuntutnya. Kontrak politik tersebut sesungguhnya menjadi tanggung jawab politik dan sekaligus moral calon kepala daerah yang sudah menjanjikan.
Sekali lagi Wisnumurti melihat kecenderungan kontrol rakyat dan DPRD terhadap komitmen kepala daerah sering terlupakan. Pers pun harus ikut mengingatkan pasangan pimpinan daerahnya untuk memenuhi janji yang dibuat.(LHS/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
Denpasar (Antara Bali) - Di tengah tingginya biaya pelaksanaan pilkada secara langsung, nampaknya menjadi tidak elok jika dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan terjadi pecah kongsi antara kepala daerah dengan wakilnya.
Tidak sedikit wacana menyebutkan pilkada perlu ditinjau ulang karena selama ini dikatakan masih menyisakan sejumlah persoalan pelik.
Demokrasi elektoral yang digunakan dalam pilkada secara langsung dinilai ongkosnya terlalu tinggi dan cenderung menciptakan disharmoni antara kepala daerah dengan wakilnya.
Apalagi kalau perpecahan itu dijadikan alasan utama tidak mewujudkan visi misi dan janji-janji yang telah dibuat sebelumnya untuk menyejahterakan rakyat.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan dalam suatu diskusi di Denpasar mencontohkan pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur telah menghabiskan biaya hingga Rp970 miliar.
Menurut dia, sangat disayangkan jika uang negara sebesar itu hanya digunakan untuk memilih seorang kepala daerah dengan wakilnya. Padahal kewenangan seorang gubernur dan wakil gubernur terbatas.
"Di daerah, seorang gubernur hanya mempunyai kewenangan sebesar 24 persen, sedangkan 76 persen sisanya menjalankan tugas wakil pemerintah pusat," ujar Djohermansyah.
Tak hanya di Jawa Timur, pelaksanaan pilkada menggunakan nominal yang tidak sedikit juga akan berlangsung di Pulau Dewata. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah Provinsi Bali yang dijadwalkan pada Mei 2013 telah dianggarkan mencapai lebih dari Rp133,1 miliar.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa menyebutkan anggaran sebesar itu dirancang sudah termasuk pemilihan kepala daerah putaran pertama, putaran kedua, hingga antisipasi kemungkinan pemungutan suara ulang."Anggaran ini sudah disetujui oleh DPRD Bali," kata Lanang.
Jumlah ini terjadi peningkatan hingga tiga kali lipat lebih dibandingkan anggaran pelaksanaan Pilkada Bali 2008 yang saat itu menghabiskan sebesar Rp43,71 miliar lebih.
Pengamat politik Dr Anak Agung Gede Oka Wisnumurti memandang usulan pemerintah untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah dengan wakilnya yang dituangkan pada perubahan RUU Pilkada sebagai sesuatu yang tidak tepat.
"Kalau alasannya banyak konflik sehingga dibuat aturan pemilihan seperti itu. Apa pemerintah bisa menjamin tidak akan konflik?," tanyanya.
Semestinya, menurut mantan Ketua KPU Bali ini, sistem kepemerintahan yang diperbaiki dan dibuat lebih jelas. Sistem yang ada saat ini, segala sesuatunya berdasarkan surat keputusan (SK) bupati dan gubernur bukan SK wakil bupati maupun wakil gubernur.
"Artinya sistem kepemerintahan yang harus dibuat lebih jelas, apa tugas kepala daerah dan wakilnya. Menteri dalam negeri seharusnya membuat itu," katanya.
Baginya cenderung sistem kepemerintahanlah yang membuat konflik pasangan pemimpin di daerah, dan bukan pada sistem pemilihannya.
"Ketika mereka maju dan berpasangan pada pilkada memakai urunan, tetapi ketika sudah jadi atau menjabat, kewenangan kepala daerah jauh lebih tinggi daripada wakilnya," ujarnya.
Dwi Tunggal Soekarno-Hatta
Pecah kongsi di tengah perjalanan antara kepala daerah dengan wakilnya, selain disebabkan oleh sistem kepemerintahan juga karena dari awal tidak adanya kesatuan pandang visi misi yang harus diwujudkan.
Menurut Wisnumurti yang juga Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Bali ini, semestinya, kesatuan pandang kepala daerah dan wakilnya dapat mencontoh konsep Dwi Tunggal yang diterapkan Bapak Proklamator Negara.
Presiden Soekarno dan Wapresnya Bung Hatta sering berdebat, tetapi ketika berbicara mengenai urusan negara dan pemerintahan, mereka pasti akhirnya satu pandangan.
"Dari ide dan gagasan bisa saja saling berdebat, itu boleh-boleh saja sebagai pribadi dalam rangka memperbaiki pemerintahan dan rakyat serta daerah," ujarnya.
Hal yang sama seharusnya dilakukan kepala daerah karena visi misi saat pencalonan itu merupakan komitmen politik. Komunikasi yang tidak terjadi akibat pembagian tugas yang tak jelas dari sistem kepemerintahan dapat diminimalisasi jika tiap individu pimpinan daerah memiliki komitmen yang tinggi pada negara dan rakyat.
Namun, sayangnya janji-janji politik dan visi misi setiap pasangan kepala daerah selama ini cenderung sebagai pemanis dan pencitraan guna memperoleh simpati rakyat.
"Padahal visi dan misi itu adalah sesuatu yang harus diwujudkan berdasarkan analisis situasi dan kondisi daerah masyarakatnya," katanya.
Oleh karena itu, para kandidat pimpinan daerah sebelum menyusun visi misi seharusnya mengerti apa yang menjadi kebutuhan dan permasalahan di daerah. "Celakanya, yang sering saya lihat visi misi justru dibuat oleh orang lain dan kepala daerahnya sendiri tidak mengerti," ujarnya.
Kontrol DPRD Dan Publik
Wisnumurti menilai, kalau terjadi visi misi dan juga program yang dijanjikan pimpinan daerah tidak tercapai, itu sesungguhnya menandakan kepala daerah sudah melakukan kebohongan publik.
"Visi misi harus dipertanggungjawabkan dan DPRD berhak untuk menuntut sejauhmana visi misi yang sudah dibuat dijalankan. Namun, mekanisme ini yang sering tidak jalan," ucapnya.
Ke depan, tentu kontrol DPRD tidak saja terhadap program yang dilaksanakan, tetapi sejauhmana program itu dilaksanakan dalam rangka mewujudkan visi misi kepala daerah. DPRD pun, lanjut dia, tidak boleh serta merta tidak menyetujui ketika kepala daerah mengajukan program yang terkait dengan visi misi dan program ketika masih menjadi calon kepala daerah.
"Sepanjang bentuk 'take and give' dalam konteks positif demi kepentingan rakyat, DPRD seyogyanya menyetujui," ujarnya.
Demikian pula dengan kontrak politik yang biasa ditandatangani paket pasangan kepala daerah, sebenarnya mempunyai kekuatan hukum bagi rakyat untuk menuntutnya. Kontrak politik tersebut sesungguhnya menjadi tanggung jawab politik dan sekaligus moral calon kepala daerah yang sudah menjanjikan.
Sekali lagi Wisnumurti melihat kecenderungan kontrol rakyat dan DPRD terhadap komitmen kepala daerah sering terlupakan. Pers pun harus ikut mengingatkan pasangan pimpinan daerahnya untuk memenuhi janji yang dibuat.(LHS/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012