Kendati sudah dibubarkan, FPI yang mungkin saja sekarang tinggal simpatisan FPI (idem juga, HTI) itu masih mampu menjadi "front" yang membidik minuman keras sebagai "musuh utama" dari balik dunia maya.
Buktinya, bidikan itu masih ada dalam tangkapan layar medsos yang menyebut bahwa minuman beralkohol atau minuman keras itu kini mendapat peluang "hidup" (investasi) setelah FPI dibubarkan.
Ya, Perpres tentang investasi minuman beralkohol adalah "sasaran empuk" bagi FPI untuk "menohok" pihak yang membubarkan FPI itu sendiri, meski mereka yang menohok dan mereka yang ditohok itu sebenarnya se-iman. Ibarat makan "daging" saudara sendiri?!.
Tidak berhenti di situ, soal pencabutan yang hanya "lampiran" Perpres itu pun langsung disambar dengan ungkapan bahwa pencabutan Perpres itu hanya tipuan (padahal, masukan dari sisi hukum saja belum ada).
Begitulah, perlawanan dengan cara-cara "front" yang dilakukan berbeda dengan ormas lain yang melakukan penolakan dengan cara-cara konstitusional atau mendorong dialog/dialogis antara pemerintah-legislatif.
Ya, satunya "front" yang formalitas, satunya ormas yang substantif. Republik ini sudah membuktikan bahwa cara-cara substantif lebih mencapai hasil yang dapat diterima semua pihak dan suasana pun kondusif, tapi hasilnya indah.
Buktinya, pernyataan Presiden Joko Widodo saat mencabut lampiran Perpres "miras" itu juga menyebutkan salah satu alasan pencabutannya itu setelah mendapat masukan yang datang dari para tokoh agama, termasuk wapres.
"Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan ormas-ormas lainnya serta tokoh-tokoh agama lain serta juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah," kata Presiden kepada pers saat menyampaikan pernyataan sikap terkait pencabutan lampiran perpres itu (2/3/2021).
Artinya, ulama dan tokoh masyarakat juga "didengar", karena mungkin cara-cara yang dikedepankan sangat Islami, bukan marah-marah, apalagi dengan olok-olok.
Bisa jadi, upaya pencabutan itu memang belum "memuaskan" karena mungkin masukan dari tokoh-tokoh hukum yang ahli di bidangnya juga masih ditunggu.
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta pihak-pihak yang tidak mengerti teknis perubahan peraturan perundang-undangan jangan menyebarkan hoaks terkait pencabutan Lampiran III Perpres 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Hal ini karena soal prosedur dan teknis hukumnya sudah ada aturannya yang meng-induk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan dan UU perubahannya (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019), kata Arsul di Jakarta (3/3).
Teknisnya adalah revisi
Arsul yang juga Wakil Ketua Umum DPP PPP itu menegaskan bahwa poin yang disampaikan Presiden Jokowi yang mencabut Lampiran III Perpres 10/2021 merupakan pernyataan tentang kebijakan. Teknisnya ke depan adalah dengan merevisi Perpres 10/2021.
Sehingga nantinya pemerintah tinggal mengeluarkan revisi perpres tersebut (dengan menyatakan menghapus lampiran perpres tersebut sepanjang yang menyangkut investasi minuman keras).
Tidak harus seluruh isi dan lampiran Perpres 10/2021 dicabut dahulu, lalu dibatalkan. Hal itu seperti perubahan undang-undangan. Bila yang diubah hanya pasal tertentu, bukan UU yang dibatalkan, melainkan cukup dengan membuat rancangan undang-undang (RUU) tentang perubahan atas UU yang isinya mengubah pasal tertentu tersebut, kata Arsul.
Pandangan senada juga dikemukakan Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra. Menurut dia, pencabutan ketentuan tentang investasi minuman keras dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal perlu dengan peraturan baru yang merevisi peraturan tersebut.
Presiden harus menerbitkan peraturan presiden baru yang berisi perubahan atas peraturan tersebut, khususnya menghilangkan ketentuan lampiran yang terkait dengan minuman keras, kata Yusril Ihza di Jakarta, Selasa (2/3/2021).
Dengan penerbitan peraturan baru yang merevisi Perpres tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, maka pengaturan investasi minuman keras telah resmi dihapus, sedangkan ketentuan lain yang memberikan kemudahan investasi tapi tidak mengandung masalah serius, maka tidak perlu direvisi.
Terlepas dari teknis untuk revisi Perpres itu, keputusan Presiden Joko Widodo mencabut Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021 terkait dengan pembukaan investasi baru dalam industri minuman beralkohol itu diapresiasi oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU.
Menurutnya di Jakarta (2/3/2021), Perpres itu menjadi pembelajaran yang baik, bahwa setiap perumusan kebijakan publik, terutama hal-hal sensitif yang potensial kontroversial, membutuhkan mendengar suara publik. Hal ini perlu dalam penyusunan, bukan ketika regulasi sudah disahkan.
Presiden Joko Widodo benar-benar mendengarkan suara publik dan ingin menghentikan pro dan kontra. Bahkan, masukan dan saran dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Said Agil Siradj turut didengar oleh Presiden Jokowi.
Ia mengutarakan bahwa persoalan minuman beralkohol memang cukup krusial. Dalam hal ini, publik tidak bisa menutup mata bahwa komoditas itu sudah menjadi industri yang mendatangkan devisa negara.
Angka impor dan ekspor minol selama ini sudah terjadi dengan devisa triliunan rupiah. Namun, di sisi lain, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius. Indonesia bukan negara agama, tapi negara yang dijiwai nilai-nilai agama, secara substansi, kata Rumadi.
Walhasil, peraturan perundang-undangan memang memiliki proses yang panjang, namun perdebatan publik selama proses itu juga penting agar peraturan perundang-undangan yang ada melalui aspirasi berbagai pihak, meski teknisnya akan tetap kembali pada ahli hukum yang lebih kompeten, agar tidak terjebak dalam hoaks yang justru tidak tuntas.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
Buktinya, bidikan itu masih ada dalam tangkapan layar medsos yang menyebut bahwa minuman beralkohol atau minuman keras itu kini mendapat peluang "hidup" (investasi) setelah FPI dibubarkan.
Ya, Perpres tentang investasi minuman beralkohol adalah "sasaran empuk" bagi FPI untuk "menohok" pihak yang membubarkan FPI itu sendiri, meski mereka yang menohok dan mereka yang ditohok itu sebenarnya se-iman. Ibarat makan "daging" saudara sendiri?!.
Tidak berhenti di situ, soal pencabutan yang hanya "lampiran" Perpres itu pun langsung disambar dengan ungkapan bahwa pencabutan Perpres itu hanya tipuan (padahal, masukan dari sisi hukum saja belum ada).
Begitulah, perlawanan dengan cara-cara "front" yang dilakukan berbeda dengan ormas lain yang melakukan penolakan dengan cara-cara konstitusional atau mendorong dialog/dialogis antara pemerintah-legislatif.
Ya, satunya "front" yang formalitas, satunya ormas yang substantif. Republik ini sudah membuktikan bahwa cara-cara substantif lebih mencapai hasil yang dapat diterima semua pihak dan suasana pun kondusif, tapi hasilnya indah.
Buktinya, pernyataan Presiden Joko Widodo saat mencabut lampiran Perpres "miras" itu juga menyebutkan salah satu alasan pencabutannya itu setelah mendapat masukan yang datang dari para tokoh agama, termasuk wapres.
"Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan ormas-ormas lainnya serta tokoh-tokoh agama lain serta juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah," kata Presiden kepada pers saat menyampaikan pernyataan sikap terkait pencabutan lampiran perpres itu (2/3/2021).
Artinya, ulama dan tokoh masyarakat juga "didengar", karena mungkin cara-cara yang dikedepankan sangat Islami, bukan marah-marah, apalagi dengan olok-olok.
Bisa jadi, upaya pencabutan itu memang belum "memuaskan" karena mungkin masukan dari tokoh-tokoh hukum yang ahli di bidangnya juga masih ditunggu.
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta pihak-pihak yang tidak mengerti teknis perubahan peraturan perundang-undangan jangan menyebarkan hoaks terkait pencabutan Lampiran III Perpres 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Hal ini karena soal prosedur dan teknis hukumnya sudah ada aturannya yang meng-induk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan dan UU perubahannya (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019), kata Arsul di Jakarta (3/3).
Teknisnya adalah revisi
Arsul yang juga Wakil Ketua Umum DPP PPP itu menegaskan bahwa poin yang disampaikan Presiden Jokowi yang mencabut Lampiran III Perpres 10/2021 merupakan pernyataan tentang kebijakan. Teknisnya ke depan adalah dengan merevisi Perpres 10/2021.
Sehingga nantinya pemerintah tinggal mengeluarkan revisi perpres tersebut (dengan menyatakan menghapus lampiran perpres tersebut sepanjang yang menyangkut investasi minuman keras).
Tidak harus seluruh isi dan lampiran Perpres 10/2021 dicabut dahulu, lalu dibatalkan. Hal itu seperti perubahan undang-undangan. Bila yang diubah hanya pasal tertentu, bukan UU yang dibatalkan, melainkan cukup dengan membuat rancangan undang-undang (RUU) tentang perubahan atas UU yang isinya mengubah pasal tertentu tersebut, kata Arsul.
Pandangan senada juga dikemukakan Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra. Menurut dia, pencabutan ketentuan tentang investasi minuman keras dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal perlu dengan peraturan baru yang merevisi peraturan tersebut.
Presiden harus menerbitkan peraturan presiden baru yang berisi perubahan atas peraturan tersebut, khususnya menghilangkan ketentuan lampiran yang terkait dengan minuman keras, kata Yusril Ihza di Jakarta, Selasa (2/3/2021).
Dengan penerbitan peraturan baru yang merevisi Perpres tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, maka pengaturan investasi minuman keras telah resmi dihapus, sedangkan ketentuan lain yang memberikan kemudahan investasi tapi tidak mengandung masalah serius, maka tidak perlu direvisi.
Terlepas dari teknis untuk revisi Perpres itu, keputusan Presiden Joko Widodo mencabut Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021 terkait dengan pembukaan investasi baru dalam industri minuman beralkohol itu diapresiasi oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU.
Menurutnya di Jakarta (2/3/2021), Perpres itu menjadi pembelajaran yang baik, bahwa setiap perumusan kebijakan publik, terutama hal-hal sensitif yang potensial kontroversial, membutuhkan mendengar suara publik. Hal ini perlu dalam penyusunan, bukan ketika regulasi sudah disahkan.
Presiden Joko Widodo benar-benar mendengarkan suara publik dan ingin menghentikan pro dan kontra. Bahkan, masukan dan saran dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Said Agil Siradj turut didengar oleh Presiden Jokowi.
Ia mengutarakan bahwa persoalan minuman beralkohol memang cukup krusial. Dalam hal ini, publik tidak bisa menutup mata bahwa komoditas itu sudah menjadi industri yang mendatangkan devisa negara.
Angka impor dan ekspor minol selama ini sudah terjadi dengan devisa triliunan rupiah. Namun, di sisi lain, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius. Indonesia bukan negara agama, tapi negara yang dijiwai nilai-nilai agama, secara substansi, kata Rumadi.
Walhasil, peraturan perundang-undangan memang memiliki proses yang panjang, namun perdebatan publik selama proses itu juga penting agar peraturan perundang-undangan yang ada melalui aspirasi berbagai pihak, meski teknisnya akan tetap kembali pada ahli hukum yang lebih kompeten, agar tidak terjebak dalam hoaks yang justru tidak tuntas.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021