Sejarawan Bali Prof Dr I Gde Parimartha berpandangan peran desa adat dan tokoh masyarakat sangat penting artinya untuk menjaga dan memandu agar nilai-nilai kearifan lokal setempat tetap hidup dan lestari.
"Berbagai bentuk kearifan lokal Bali telah tumbuh dan dijalankan di masa Bali Kuna, seperti Bhinneka Tunggal Ika, Catur Warna, Desa Kala Patra, Trikaya Parisudha, Tri Samaya, dan sebagainya. Semua itu menjadi pegangan hidup masyarakat Bali di masa Bali Kuna dan sangat dimengerti sampai sekarang," kata Parimartha saat menjadi narasumber dalam sarasehan bertajuk "Nilai-Nilai Kearifan Lokal Bali dalam Diorama Monumen Perjuangan Rakyat Bali" di Denpasar, Kamis.
Baca juga: Gubernur Bali minta lembaga di MDA perkuat desa adat
Dalam sarasehan yang juga menghadirkan narasumber guru besar arkeologi Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Ardika MA itu, Parimartha menjelaskan sejumlah nilai kearifan lokal Bali, di antaranya Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna pentingnya sikap saling menghargai antara penganut kepercayaan (agama) yang berbeda di masyarakat. Di Bali pada masa Bali Kuna itu sudah tercermin dalam penggunaan pendeta atau rohaniawan Siwa dan Budha.
Konsep Tri Kaya Parisudha diharapkan orang bersikap bijaksana dengan cara berkata, berbuat dan berpikir yang benar. Sedangkan Desa Kala Patra itu menunjukkan keluwesan orang Bali dalam menghadapi keadaan sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan ketika diperlukan.
Sementara Catur Warna mengenai fungsi dari kelompok-kelompok yang berbeda profesi, yakni kelompok Brahmana sebagai pendeta, Ksatriya sebagai penguasa, Wesya sebagai pedagang, dan Sudra sebagai petani atau pembantu.
"Semua kearifan lokal itu telah menjadi pegangan hidup masyarakat Bali. Akan tetapi, berbagai gerakan, nilai-nilai baru yang berkembang, cukup memengaruhi keadaan, sehingga terjadi perubahan di sana-sini," ucap Parimartha dalam sarasehan yang digelar oleh UPT Monumen Perjuangan Rakyat Bali itu.
Baca juga: Dispar Bali libatkan desa adat kuatkan protokol kesehatan objek wisata
Dalam hubungan perubahan tersebut, lanjut dia, masyarakat bersikap lebih pasif dan cenderung membiarkan perubahan nilai terjadi tanpa berusaha mengatasinya, terlebih kalau hal itu dipandang menguntungkan. "Oleh karena itu, peranan desa adat dan tokoh-tokoh masyarakat menjadi penting artinya dan perlu untuk memandu agar nilai-nilai kearifan lokal tetap hidup dan lestari," katanya.
Jadi, ujar Parimartha, kedudukan desa adat itu di Bali sama pentingnya dengan desa dinas. Desa adat berpegang pada nilai-nilai tradisi, agama dan kearifan lokal yang dimiliki, sedangkan desa dinas berperan sebagai bagian dari pusat (negara) dalam melindungi masyarakatnya sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban sama sebagai warga bangsa.
Sementara itu, Prof Dr I Wayan Ardika MA banyak mengulas terkait studi tentang kematian pada masa prasejarah yang banyak mengungkap berbagai kearifan lokal. "Sistem penguburan dan pemanfaatan, seperti nekara, sarkopagus, tempayan dan tanpa wadah juga menunjukkan kearifan lokal," ucapnya.
Baca juga: Arya Suharja ajak umat Hindu respons zaman tanpa tinggalkan tradisi
Dia mencontohkan wadah kubur dari batu yang lazim dikenal dengan sarkopagus juga menunjukkan bentuk dan hiasan yang beragam, seperti bentuk pola hias melawak atau bondres dianggap memiliki kekuatan magis untuk menjaga roh dan mengantarkan ke alam baka. Keragaman ini dapat dikatakan perkembangan lokal atau kearifan lokal.
"Upacara penguburan juga mencerminkan kegotongroyongan dan toleransi yang sudah tumbuh pada masa prasejarah. Pembuatan wadah kubur dan upacara penguburan tidak dapat dilakukan keluarga sendiri, namun melibatkan orang lain atau kerabat dan masyarakat secara umum," kata Ardika.
Demikian pula dengan sejumlah punden berundak juga ditemukan di Bali sebagai simbol gunung dan tempat bersemayamnya roh leluhur. "Berbagai kearifan lokal ini masih berlaku hingga saat ini yang berawal dari masa prasejarah di Bali," ucapnya.
Baca juga: Gubernur Bali: Desa Adat harus dihargai dengan konkret
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Prof Dr I Wayan "Kun" Adnyana dalam sambutannya yang dibacakan Plt Kepala UPTD Monumen Perjuangan Rakyat Bali I Gede Sridarma mengatakan sarasehan itu untuk meningkatkan pemahaman generasi muda terhadap kearifan lokal masyarakat Bali.
"Harapan kami dapat memotivasi generasi muda dan mewariskan kearifan lokal masyarakat Bali yang telah ada sejak zaman prasejarah itu," ucapnya.
Menurut Sridarma, nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan para leluhur memiliki nilai-nilai adiluhung yang patut diteladani dan dikuatkan oleh generasi muda.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
"Berbagai bentuk kearifan lokal Bali telah tumbuh dan dijalankan di masa Bali Kuna, seperti Bhinneka Tunggal Ika, Catur Warna, Desa Kala Patra, Trikaya Parisudha, Tri Samaya, dan sebagainya. Semua itu menjadi pegangan hidup masyarakat Bali di masa Bali Kuna dan sangat dimengerti sampai sekarang," kata Parimartha saat menjadi narasumber dalam sarasehan bertajuk "Nilai-Nilai Kearifan Lokal Bali dalam Diorama Monumen Perjuangan Rakyat Bali" di Denpasar, Kamis.
Baca juga: Gubernur Bali minta lembaga di MDA perkuat desa adat
Dalam sarasehan yang juga menghadirkan narasumber guru besar arkeologi Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Ardika MA itu, Parimartha menjelaskan sejumlah nilai kearifan lokal Bali, di antaranya Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna pentingnya sikap saling menghargai antara penganut kepercayaan (agama) yang berbeda di masyarakat. Di Bali pada masa Bali Kuna itu sudah tercermin dalam penggunaan pendeta atau rohaniawan Siwa dan Budha.
Konsep Tri Kaya Parisudha diharapkan orang bersikap bijaksana dengan cara berkata, berbuat dan berpikir yang benar. Sedangkan Desa Kala Patra itu menunjukkan keluwesan orang Bali dalam menghadapi keadaan sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan ketika diperlukan.
Sementara Catur Warna mengenai fungsi dari kelompok-kelompok yang berbeda profesi, yakni kelompok Brahmana sebagai pendeta, Ksatriya sebagai penguasa, Wesya sebagai pedagang, dan Sudra sebagai petani atau pembantu.
"Semua kearifan lokal itu telah menjadi pegangan hidup masyarakat Bali. Akan tetapi, berbagai gerakan, nilai-nilai baru yang berkembang, cukup memengaruhi keadaan, sehingga terjadi perubahan di sana-sini," ucap Parimartha dalam sarasehan yang digelar oleh UPT Monumen Perjuangan Rakyat Bali itu.
Baca juga: Dispar Bali libatkan desa adat kuatkan protokol kesehatan objek wisata
Dalam hubungan perubahan tersebut, lanjut dia, masyarakat bersikap lebih pasif dan cenderung membiarkan perubahan nilai terjadi tanpa berusaha mengatasinya, terlebih kalau hal itu dipandang menguntungkan. "Oleh karena itu, peranan desa adat dan tokoh-tokoh masyarakat menjadi penting artinya dan perlu untuk memandu agar nilai-nilai kearifan lokal tetap hidup dan lestari," katanya.
Jadi, ujar Parimartha, kedudukan desa adat itu di Bali sama pentingnya dengan desa dinas. Desa adat berpegang pada nilai-nilai tradisi, agama dan kearifan lokal yang dimiliki, sedangkan desa dinas berperan sebagai bagian dari pusat (negara) dalam melindungi masyarakatnya sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban sama sebagai warga bangsa.
Sementara itu, Prof Dr I Wayan Ardika MA banyak mengulas terkait studi tentang kematian pada masa prasejarah yang banyak mengungkap berbagai kearifan lokal. "Sistem penguburan dan pemanfaatan, seperti nekara, sarkopagus, tempayan dan tanpa wadah juga menunjukkan kearifan lokal," ucapnya.
Baca juga: Arya Suharja ajak umat Hindu respons zaman tanpa tinggalkan tradisi
Dia mencontohkan wadah kubur dari batu yang lazim dikenal dengan sarkopagus juga menunjukkan bentuk dan hiasan yang beragam, seperti bentuk pola hias melawak atau bondres dianggap memiliki kekuatan magis untuk menjaga roh dan mengantarkan ke alam baka. Keragaman ini dapat dikatakan perkembangan lokal atau kearifan lokal.
"Upacara penguburan juga mencerminkan kegotongroyongan dan toleransi yang sudah tumbuh pada masa prasejarah. Pembuatan wadah kubur dan upacara penguburan tidak dapat dilakukan keluarga sendiri, namun melibatkan orang lain atau kerabat dan masyarakat secara umum," kata Ardika.
Demikian pula dengan sejumlah punden berundak juga ditemukan di Bali sebagai simbol gunung dan tempat bersemayamnya roh leluhur. "Berbagai kearifan lokal ini masih berlaku hingga saat ini yang berawal dari masa prasejarah di Bali," ucapnya.
Baca juga: Gubernur Bali: Desa Adat harus dihargai dengan konkret
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Prof Dr I Wayan "Kun" Adnyana dalam sambutannya yang dibacakan Plt Kepala UPTD Monumen Perjuangan Rakyat Bali I Gede Sridarma mengatakan sarasehan itu untuk meningkatkan pemahaman generasi muda terhadap kearifan lokal masyarakat Bali.
"Harapan kami dapat memotivasi generasi muda dan mewariskan kearifan lokal masyarakat Bali yang telah ada sejak zaman prasejarah itu," ucapnya.
Menurut Sridarma, nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan para leluhur memiliki nilai-nilai adiluhung yang patut diteladani dan dikuatkan oleh generasi muda.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020