Perupa Putrayasa merancang kegiatan spektakuler bertajuk "Sunrise Art Project" di Kuta yang akan digelar pada awal tahun 2021. Sunrise Art Project menjadi sebuah pergelaran  seni rupa yang dikemas dalam event pameran visual art yang melibatkan ratusan seniman untuk larut dalam berbagai kemungkinan kreatif untuk kemudian menjadi karya interaktif gigantik.

Event ini akan menjadi menarik, karena tak hanya merepresentasikan nilai estetika formal, namun publik diajak menalarkan kembali kesadarannya mengenai makna Kuta di luar dari yang  formal "common  sense". 

"Setiap perjalanan  peristiwa, baik itu masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang merupakan sebuah kompleksitas yang tak terpisakan menjadi suatu  rangkaian yang direduksi menjadi New Being Culture" atau "Kuta yang Menjadi," ujar Putrayasa.

Daya kreatifnya sudah dibuktikan ketika ia mengagas "Berawa  Beach Arts Festival" dengan karya "Giant Octopus " sempat heboh dan dibicarakan oleh banyak penikmat seni. 

Dan dalam Sunrise Art Project, ia bukan  memindahkan matahari untuk terbit di Kuta, tetapi ia mempresentasikan kata "sunrise" atau morning spirit untuk bisa hadir di pantai bagian Barat, yakni Kuta. Dengan begitu, Kuta memiliki harapan baru (new spirit) dari ambang-ambang batas kenormalan.
 
"Saya rasa, ini akan menjadi sebuah keunikan tersendiri serta tantangan dalam mensublimasi ruang dan waktu menjadi sebuah  metafora  makna baru (new definition) dalam karya visual art dengan  format kekinian, (kontemporer)," katanya.

Sebagai seorang seniman yang biasa menjelajahi negara-negara di dunia lewat seni rupa ini Putrayasa melihat Kuta, dari perspektif seni, adalah daerah yang unik. Di luar Kuta, masyarakatnya diterjemahkan atau dikondisikan oleh ruang, namun di Kuta menjadi sebaliknya, kosmologi ruang sebagai presentasi dari  masyarakatnya, Kuta  mewakili  dari global city (metropolis) value.

"Jika dianalogikan  birunya air laut Kuta sebagai instrumen dalam menulis perkembangan sejarahnya, tintanya tidak akan pernah habis untuk ditulis dalam sebuah peradaban umat manusia. Dengan keunikan semacam itu, Kuta selalu memberikan kanvas kosong untuk dilukis  setiap saat," ujarnya.

Dan event  Sunrise Art Project dengan moment pasca pandemi COVID-19 mencoba melukiskan kembali kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkan oleh  konversi istilah "tagar (#) New Normal".
 
"Sunrise Art Project" ini dipastikan spektakuler, karena akan melibatkan ratusan artisan dengan background yang berbeda. Mereka yang kebanyakan belum pernah mengenal dunia seni sama sekali dan diharuskan untuk beradaptasi serta mengambil bagian dengan seni, sehingga bisa dibayakangkan akan menjadi cita rasa baru dalam khasanah seni rupa, sebuah kolaborasi yang cukup gila dan menantang. 

Presentasi karya-karya ini akan memberi kesempatan bagi penikmat seni untuk bisa menjadi bagian dari karya dan terlibat langsung di dalam karya tanpa mereka sadari dengan sensasi dan segala multi tafsir-nya.

Menurut dia, kegiatan kolosal akan  digelar di pusat kota internasional tujuan utamanya  bukan untuk "tourism", melainkan untuk memulihkan rasa percaya dimasa pasca-pandemi, kalau toh mampu membangkitkam pariwisata, hal itu merupakan bagian dari multiplier effect kesenian itu sendiri.

"Sunrise Art Project ini kita inginkan dapat memberikan kontribusi pada masyarakat yaitu  sebuah  energi yang positif  serta  menstimulan  kepekaan akan  rasa  keindahaan( estetik ) yang terpenting adalah  sebagai  psikologi terapi , karena seni itu dapat menghaluskan jiwa dan budi pakerti," ujarnya.

Oleh karena itu, Putrayasa tidak menggelar kegiatan itu ecara virtual namun pada pergelaran  secara langsung, apalagi karya  seni tiga dimensi, penikmatnya harus melihat secara lansung sebagai pengalaman  impiris.

Intinya, kegiatan ini bukan saja  sebagai event visual semata namun  sebagai peristiwa penanda zaman "global cultural".

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020