Anggota DPD RI Dapil Bali Made Mangku Pastika mengkhawatirkan akan terjadi peningkatan gangguan mental warga di daerah itu dalam jumlah yang signifikan sebagai dampak pandemi COVID-19.
"Apalagi sejarah masyarakat kita itu nekat. Kalau sudah buntu, mikir tagihan hutang banyak, tidak ada kepastian mau kemana, solusinya cuma satu bunuh diri. Warga kita sangat mudah untuk mengambil keputusan bunuh diri, itu yang saya cemaskan, sehingga harus dilakukan upaya untuk mencegahnya," kata Pastika saat menggelar webinar bertajuk Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Kesehatan Mental Masyarakat dan Upaya Penanganannya, di Denpasar, Kamis.
Pastika merinci setidaknya ada tiga tipe stres yang dihadapi masyarakat dalam masa pandemi saat ini, yakni yang tipe Single Stress karena kecemasan karena takut tertular COVID-19, namun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari sudah tidak ada masalah. Kedua, double stress yakni mereka tidak hanya takut tertular COVID-19, tetapi masih takut juga kalau keluarganya tidak bisa makan.
Kemudian yang Ketiga, triple stress yakni kecemasan karena takut tertular COVID-19, memikirkan susah memenuhi pangan keluarga dan juga memikirkan masa depan yang tidak jelas karena sudah kehilangan pekerjaan.
"Single stress mungkin terjadi pada kalangan ASN dan TNI-Polri karena dari sisi pendapatan tidak masalah. Tetapi bagi kawan-kawan kita yang bekerja di sektor pariwisata atau lainnya dihadapkan pada double atau triple stress, dan bahkan lebih," ucapnya.
Pastika berharap masyarakat Bali dapat kembali pada konsep kearifan lokal "menyamabraya dan paras-paros" dalam membantu sesama sehingga mereka yang merasa mengalami kesusahan tidak merasa sendiri.
"Orang Bali itu nekat, sakit tidak sembuh-sembuh gantung diri, putus pacar tenggelamkan diri ke danau, hutang tidak terbayar karena malu bunuh diri. Itu yang saya sangat khawatir," katanya.
Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja Pariwisata (FSP Par) - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Bali Putu Satyawira Marhaendra mengatakan faktor ekonomi karena kehilangan pekerjaan maupun turunnya penghasilan karena harus dirumahkan turut menyumbang faktor kecemasan khususnya bagi pekerja pariwisata yang terdampak paling keras akibat COVID-19.
"Informasi seputar COVID-19, juga turut membuat anggota kami stres, bahkan saking stres ada yang tekanan darahnya terganggu sehingga harus masuk RS. Oleh karena itu, kami juga telah mengimbau rekan-rekan untuk memilah dan memilih informasi yang bisa menumbuhkan optimisme supaya bisa hidup bergembira dan sehat di tengah pandemi," ucapnya.
Yang jelas, pihaknya sangat menginginkan pariwisata bisa dibuka kembali dan diberikan kepastian karena sangat memengaruhi masa depan pekerja pariwisata.
"Jangan kami dibenturkan dengan kelompok yang pro-ekonomi maupun pro-kesehatan. Tetapi mari bersama mencari solusi, jangan ada yang merasa paling menderita. Bagaimana kita menyikapi bersama untuk membangun Bali yang kita cintai ini," kata Satyawira.
Prof Dr dr Luh Ketut Suryani SpKJ, psikiater dari Suryani Institute for Mental Health mengatakan pandemi COVID-19 seyogyanya jangan dipandang dari sisi negatifnya saja, tetapi juga seharusnya bisa dilihat dari sisi positifnya.
"Jangan semua merasa semua menderita, lihat positifnya, ada kesempatan bagi kita untuk melihat diri, instrospeksi diri. Gunakan kesempatan dengan diam di rumah untuk instrospeksi diri, dan memberikan kasih sayang kepada anggota keluarga kita yang selama ini mungkin telah kehilangan perhatian karena kita terlalu sibuk dengan pekerjaan dan mencari uang," ujarnya.
Menurut Prof Suryani, mulai dari diri sendiri harus berhenti mengeluh dan harus menerima ujian COVID-19 yang diberikan Tuhan.
Diapun menawarkan salah satu solusi untuk mengatasi kecemasan adalah melalui meditasi setidaknya 10-15 menit untuk melepaskan marah dan kesal yang ada dalam diri.
Direktur Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali dr Dewa Gede Basudewa SpKJ tidak memungkiri bahwa informasi yang membanjiri media sosial turut menjadi pemicu keresahan dan kegalauan masyarakat di tengah pandemi.
"Ketika kita takut dan mengeluh, otak akan merasa terancam, logika berpikir tidak berjalan dengan baik dan muncul rasa khawatir yang berlebihan," ucapnya.
dr Basudewa membagikan sejumlah tips untuk menjaga kesehatan mental diantaranya dengan tetap menjaga kebugaran tubuh, istirahat yang cukup, hindari terlalu banyak membaca berita COVID-19, serta pilih berita yang membuat senang, melakukan relaksasi dan berkumpul dengan anggota keluarga untuk bersama-sama melakukan aktivitas yang menyenangkan.
Pandangan yang tak jauh beda disampaikan akademisi Universitas Udayana Dr dr Cok Bagus Jaya Lesmana SpKJ mengatakan pentingnya rasa kebersamaan untuk membantu mereka yang merasa tertekan akibat pandemi COVID-19.
"Jika sudah tidak merasa sendiri, maka pemikiran untuk bunuh diri tentu akan hilang. Seberat apapun masalah yang dihadapi jika sudah berjuang bersama, tentu akan mudah menghadapi. Jika berjuang merasa sendiri, maka akan mudah mereka untuk 'game over' atau mengambil jalan pintas," katanya.
Kalau melihat potensi gangguan mental di Bali dibandingkan dengan jumlah total penduduk, menurut Cok Bagus besarnya sekitar 50 ribu. Namun dengan adanya pandemi, dikhawatirkan jumlahnya akan meningkat tajam jika tidak segera ditangani.
Akademisi Undiknas Dr AAA Rusmini Tini Gorda SH, MM, MH menambahkan untuk mengurangi kecemasan akibat pandemi tentunya dapat diisi dengan aktivitas yang menyenangkan di rumah seperti bercocok tanam di pekarangan dan memasak, sembari melakukan aktivitas rutin bekerja dari rumah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
"Apalagi sejarah masyarakat kita itu nekat. Kalau sudah buntu, mikir tagihan hutang banyak, tidak ada kepastian mau kemana, solusinya cuma satu bunuh diri. Warga kita sangat mudah untuk mengambil keputusan bunuh diri, itu yang saya cemaskan, sehingga harus dilakukan upaya untuk mencegahnya," kata Pastika saat menggelar webinar bertajuk Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Kesehatan Mental Masyarakat dan Upaya Penanganannya, di Denpasar, Kamis.
Pastika merinci setidaknya ada tiga tipe stres yang dihadapi masyarakat dalam masa pandemi saat ini, yakni yang tipe Single Stress karena kecemasan karena takut tertular COVID-19, namun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari sudah tidak ada masalah. Kedua, double stress yakni mereka tidak hanya takut tertular COVID-19, tetapi masih takut juga kalau keluarganya tidak bisa makan.
Kemudian yang Ketiga, triple stress yakni kecemasan karena takut tertular COVID-19, memikirkan susah memenuhi pangan keluarga dan juga memikirkan masa depan yang tidak jelas karena sudah kehilangan pekerjaan.
"Single stress mungkin terjadi pada kalangan ASN dan TNI-Polri karena dari sisi pendapatan tidak masalah. Tetapi bagi kawan-kawan kita yang bekerja di sektor pariwisata atau lainnya dihadapkan pada double atau triple stress, dan bahkan lebih," ucapnya.
Pastika berharap masyarakat Bali dapat kembali pada konsep kearifan lokal "menyamabraya dan paras-paros" dalam membantu sesama sehingga mereka yang merasa mengalami kesusahan tidak merasa sendiri.
"Orang Bali itu nekat, sakit tidak sembuh-sembuh gantung diri, putus pacar tenggelamkan diri ke danau, hutang tidak terbayar karena malu bunuh diri. Itu yang saya sangat khawatir," katanya.
Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja Pariwisata (FSP Par) - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Bali Putu Satyawira Marhaendra mengatakan faktor ekonomi karena kehilangan pekerjaan maupun turunnya penghasilan karena harus dirumahkan turut menyumbang faktor kecemasan khususnya bagi pekerja pariwisata yang terdampak paling keras akibat COVID-19.
"Informasi seputar COVID-19, juga turut membuat anggota kami stres, bahkan saking stres ada yang tekanan darahnya terganggu sehingga harus masuk RS. Oleh karena itu, kami juga telah mengimbau rekan-rekan untuk memilah dan memilih informasi yang bisa menumbuhkan optimisme supaya bisa hidup bergembira dan sehat di tengah pandemi," ucapnya.
Yang jelas, pihaknya sangat menginginkan pariwisata bisa dibuka kembali dan diberikan kepastian karena sangat memengaruhi masa depan pekerja pariwisata.
"Jangan kami dibenturkan dengan kelompok yang pro-ekonomi maupun pro-kesehatan. Tetapi mari bersama mencari solusi, jangan ada yang merasa paling menderita. Bagaimana kita menyikapi bersama untuk membangun Bali yang kita cintai ini," kata Satyawira.
Prof Dr dr Luh Ketut Suryani SpKJ, psikiater dari Suryani Institute for Mental Health mengatakan pandemi COVID-19 seyogyanya jangan dipandang dari sisi negatifnya saja, tetapi juga seharusnya bisa dilihat dari sisi positifnya.
"Jangan semua merasa semua menderita, lihat positifnya, ada kesempatan bagi kita untuk melihat diri, instrospeksi diri. Gunakan kesempatan dengan diam di rumah untuk instrospeksi diri, dan memberikan kasih sayang kepada anggota keluarga kita yang selama ini mungkin telah kehilangan perhatian karena kita terlalu sibuk dengan pekerjaan dan mencari uang," ujarnya.
Menurut Prof Suryani, mulai dari diri sendiri harus berhenti mengeluh dan harus menerima ujian COVID-19 yang diberikan Tuhan.
Diapun menawarkan salah satu solusi untuk mengatasi kecemasan adalah melalui meditasi setidaknya 10-15 menit untuk melepaskan marah dan kesal yang ada dalam diri.
Direktur Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali dr Dewa Gede Basudewa SpKJ tidak memungkiri bahwa informasi yang membanjiri media sosial turut menjadi pemicu keresahan dan kegalauan masyarakat di tengah pandemi.
"Ketika kita takut dan mengeluh, otak akan merasa terancam, logika berpikir tidak berjalan dengan baik dan muncul rasa khawatir yang berlebihan," ucapnya.
dr Basudewa membagikan sejumlah tips untuk menjaga kesehatan mental diantaranya dengan tetap menjaga kebugaran tubuh, istirahat yang cukup, hindari terlalu banyak membaca berita COVID-19, serta pilih berita yang membuat senang, melakukan relaksasi dan berkumpul dengan anggota keluarga untuk bersama-sama melakukan aktivitas yang menyenangkan.
Pandangan yang tak jauh beda disampaikan akademisi Universitas Udayana Dr dr Cok Bagus Jaya Lesmana SpKJ mengatakan pentingnya rasa kebersamaan untuk membantu mereka yang merasa tertekan akibat pandemi COVID-19.
"Jika sudah tidak merasa sendiri, maka pemikiran untuk bunuh diri tentu akan hilang. Seberat apapun masalah yang dihadapi jika sudah berjuang bersama, tentu akan mudah menghadapi. Jika berjuang merasa sendiri, maka akan mudah mereka untuk 'game over' atau mengambil jalan pintas," katanya.
Kalau melihat potensi gangguan mental di Bali dibandingkan dengan jumlah total penduduk, menurut Cok Bagus besarnya sekitar 50 ribu. Namun dengan adanya pandemi, dikhawatirkan jumlahnya akan meningkat tajam jika tidak segera ditangani.
Akademisi Undiknas Dr AAA Rusmini Tini Gorda SH, MM, MH menambahkan untuk mengurangi kecemasan akibat pandemi tentunya dapat diisi dengan aktivitas yang menyenangkan di rumah seperti bercocok tanam di pekarangan dan memasak, sembari melakukan aktivitas rutin bekerja dari rumah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020