Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho mengatakan pembatalan berbagai kegiatan "Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition/MICE" (Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran) berskala nasional dan internasional di Pulau Dewata telah berdampak mendorong perlambatan ekonomi yang dalam bagi daerah setempat.

"Perlambatan ekonomi Bali sebesar -1,14 persen, termasuk yang paling dalam di Indonesia, bersama dengan Yogyakarta yang juga mengalami perlambatan ekonomi cukup dalam," kata Trisno Nugroho saat membuka acara Survei Bicara (Surya) Diseminasi Hasil Survei Bank Indonesia secara virtual, di Denpasar, Selasa.

Penyampaian hasil survei BI secara virtual tersebut menghadirkan narasumber Deputi Kepala Perwakilan BI Provinsi Bali Rizki Ernadi Wimanda, Director Consumer Panel Service Nielsen Indonesia Mia Triscahyani, dan Agoes Ganesha Rahyuda (Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Udayana. Sementara peserta diseminasi hasil survei dari kalangan akademisi, mahasiswa, birokrat, pelaku usaha, hingga jurnalis.

Baca juga: BI Bali: daging ayam-cabai merah sumbang deflasi terdalam

Menurut Trisno, Bali pada triwulan I-2020 mengalami perlambatan ekonomi cukup dalam sebesar -1,14 persen karena selama ini daerah setempat sangat menggantungkan dari sektor pariwisata.

Tetapi karena pandemi COVID-19, kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik melorot tajam, demikian juga kegiatan MICE berskala nasional dan internasional yang sebelumnya telah dijadwalkan menjadi dibatalkan sejak Februari lalu.

"Wisata MICE selama ini telah memberikan dampak yang besar bagi Bali karena pengeluarannya lebih besar hingga tujuh kali dibandingkan wisata  individual," ujarnya.

Baca juga: BI Bali: Kebutuhan uang tunai saat Lebaran turun 40 persen

Demikian juga kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali juga turun tajam, dari sekitar 500 ribu wisatawan pada Januari menjadi tinggal 165 ribu hingga Maret.

Oleh karena itu, Trisno mengharapkan akademisi dan berbagai "stakeholder" dapat bersinergi untuk turut memikirkan solusi agar perlambatan ekonomi di Bali tidak turun semakin dalam.

Sementara itu, Deputi Kepala Perwakilan BI Provinsi Bali Rizki Ernadi Wimanda mengatakan sejauh ini sekitar 54-58 persen perekonomian Bali disumbang dari sektor pariwisata.

Baca juga: BI Bali salurkan 1.300 paket sembako untuk warga terdampak COVID-19

Tetapi sebagai dampak pandemi, pada triwulan I-2020 jumlah kunjungan wisman ke Bali turun hingga -21,82 persen (yoy). Penurunan tersebut semakin dalam memasuki bulan April dan Mei 2020 dengan semakin terbatasnya jumlah penerbangan internasional dan domestik.

"Dari 1 Januari-5 Mei 2020, kunjungan kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali turun hingga -44,23 persen dan untuk kedatangan wisatawan domestik sebesar -35,27 persen," ucapnya.

Rizki menambahkan, dari sisi lapangan usaha, melambatnya pertumbuhan ekonomi Bali bersumber dari terkontraksinya sektor-sektor pariwisata seperti akomodasi dan makan minum, transportasi, industri dan perdagangan.

Baca juga: BI Bali minta KUPVA terapkan strategi bertahan selama COVID-19

Berdasarkan hasil survei bisnis dan tenaga kerja, lanjut dia, penyebaran COVID-19 telah berdampak terhadap 94 persen responden usaha. Kondisi ini menyebabkan terdapat 28 persen responden yang menghentikan usaha sementara terutama di bidang transportasi, akomodasi dan restoran, perdagangan serta jasa lainnya.

"Usaha yang masih mampu berjalan normal bergerak di sektor industri pengolahan dan pertanian," ujarnya.

Mengenai status perusahaan saat ini, 66 persen mengalami penurunan omzet, 28 persen usaha tutup sementara dan hanya 6 persen yang berjalan normal. Adanya COVID-19 dipersepsikan akan berdampak terhadap usaha dalam waktu 6-9 bulan (akhir tahun 2020).

Sedangkan Director Consumer Panel Service Nielsen Indonesia, Mia Triscahyani, menyampaikan mengenai perubahan perilaku konsumen dalam masa pandemi COVID-19.

Diantaranya ada perubahan pola belanja rumah tangga, yakni pada periode Februari-Maret, belanja yang pertumbuhannya tinggi didominasi pembelian sabun cuci tangan, tisu basah, vitamin, produk makanan jadi (kaleng, mie instan dan makanan beku).

Demikian juga peningkatan untuk pembelian produk makanan segar dan sarana telekomunikasi karena orang tua bekerja di rumah dan anak-anak juga belajar dari rumah.

"Yang menurun itu adalah biaya pembelian bensin, angkutan transportasi, biaya perlengkapan sekolah, ekstrakurikuler, makan di luar rumah, rekreasi dan belanja fashion," ucapnya.

Agoes Ganesha Rahyuda selaku Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Udayana menyampaikan tanggapan atas hasil survei Bank Indonesia.

Diantaranya, kata Agoes, situasi COVID-19 telah menyebabkan sisi permintaan mengalami penurunan, permintaan inelastis terhadap sektor akomodasi, makan, dan minum.

"Untuk triwulan II harus lebih berhati-hati sebagai dampak adanya sejumlah pembatasan-pembatasan," ucapnya.

Di samping itu, lanjut dia, dunia usaha siap berproduksi jika ada "demand" dan perlu dipikirkan suatu cara terbaik agar konsumsi meningkat.
 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020