Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat kasus kekerasan seksual pada anak dilihat secara nasional cenderung masih tinggi jumlahnya.

"Sebenarnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak ini telah menjadi kecenderungan di tingkat nasional memang jumlah kasusnya tinggi, bukan hanya Bali. Perlu dilakukan riset tersendiri dan mendalam untuk dapat menyimpulkan faktor-faktor penyebab masih tingginya angka kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, padahal hukum nasional kita telah memperberat ancaman pelaku," kata Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, dikonfirmasi melalui telepon di Denpasar, Sabtu.

Ia menjelaskan untuk Provinsi Bali, permohonan perlindungan pada periode Januari sampai dengan Maret total terdapat 14 permohonan, dan tujuh diantaranya permohonan terkait dengan kasus kekerasan seksual anak. 

Adapun rinciannya untuk permohonan perlindungan LPSK di Bali, diantaranya pada bulan Januari ada dua permohonan kekerasan seksual anak, kemudian bulan Februari satu permohonan TP terorisme, satu kekerasan seksual dewasa, lima kekerasan seksual anak, tiga kekerasan terhadap anak, dan pada bulan Maret ada satu permohonan kekerasan seksual anak, satu permohonan kekerasan terhadap anak. 

"Bentuk perlindungan yang diberikan oleh LPSK untuk kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak biasanya kita diawal layanan prioritasnya penjangkauannya pada aspek psikologis korban dan keluarganya agar mereka mampu dan kuat menajalani proses hukum yang berjalan," jelasnya.

Edwin mengatakan kasus-kasus kekerasan seksual anak ini biasanya minim alat bukti, jadi korban harus menjadi fokus utama untuk diperhatikan, jika tidak benar-benar menjadi atensi bisa menjadi bangunan kasusnya runtuh, proses hukum juga dapat mengalami kendala.  

Selain aspek psikologis, Kata Edwin, jika korban memerlukan bantuan atau perawatan medis karena kejahatan seksual tersebut biasanya LSPK akan segera melakukan layanan medis.  Pihaknya juga akan memastikan pendampingan terhadap anak korban dilakukan pada setipa tahapan proses peradilan pidana, termasuk pengamanan atau pengawalan dalam hal diperlindungan secara fisik terhadap korban dan saksi-saksi lainnya.

Baca juga: LPSK optimalkan fungsi perlindungan saksi-korban dengan metode alternatif selama COVID-19

Sementara itu, terkait dengan berapa lama korban sembuh, jangka waktunya relatif dan tergantung seberapa besar dampak atau akibat dari peristiwa pidana tersebut pada korban. Kata dia, ada juga pola layanan bantuan medis yang setiap layanan itu diberikan memiliki jangka waktu, biasanya per enam bulan atau tiga bulan.

"Dari LPSK sendiri akan melakukan evaluasi terkait dengan perkembangan kondisi kesehatan dari korban, jika berdasarkan rekomendasi dokter atau tenaga medis dinyatakan telah sembuh atau cukup dengan tindakab perawatan atau pemulihannya maka LPSK akan menghentikan layanan bantuan medis tersebut. Tapi kalau dari rekomendasi dokter masih diperlukan perawatan tentunya LPSK dapat mempertimbangkan dilanjutkannya layanan," katanya.

Ia mengatakan ada juga mempertimbangkan aspek psikososial dari korban tindak pidana. Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban cakupan dari layanan rehabilitasi cukup luas dan berbagai langkah dilakukan untuk memulihkan korban agar mampu menjalankan fungsi sosialnya secara wajar. 

Pewarta: Ayu Khania Pranishita

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020