Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Bukhori Yusuf menilai radikalisme muncul karena kurangnya kajian soal jihad yang sesuai dengan konstitusi.
"Ada ruang-ruang jihad di dalam konstitusi yang tidak selalu dimaknai dengan mengangkat senjata. Dan itu ingin saya sampaikan," kata Bukhori dalam wawancara dengan Antara di Jakarta, Jumat (15/11).
Bukhori menjelaskan kalau jihad mengangkat senjata dan perang itu memerlukan persetujuan pemimpin, yang dalam hal ini diwakili oleh Kepala Pemerintahan.
Ia menilai tidak benar adanya masing-masing oknum masyarakat menafsirkan diri sebagai pemimpin, karena pemimpin yang diakui di Indonesia itu cuma satu, yaitu Presiden Republik Indonesia.
Baca juga: Indonesia hadapi ancaman radikalisme dan sekularisme
Ia mengatakan, agama Islam mengatur jika kemudian tidak suka dengan orang yang ditunjuk menjadi pemimpin, maka diadakan musyawarah. Di dalam konstitusi yang berlaku di Indonesia pun demikian.
"Oleh karena itu umat Islam harus paham. Jika kemudian tidak suka dengan Presiden, ya suatu saat pilihlah orang yang disukai," ujar Bukhori.
Kemudian jika ada kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, Bukhori mengatakan umat tidak mesti langsung berjihad dengan mengangkat senjata.
Mengutip dari pendapat ulama Mesir, Yusuf Al-Qaradhawi, Bukhori menjelaskan untuk hal ini jihad dibagi ke dalam empat tingkatan yaitu jihad dengan lisan, jihad dengan tulisan, jihad dengan perbuatan baik yang tidak merusak (amar ma'ruf nahi munkar), dan jihad terakhir dengan mengangkat senjata.
Baca juga: Kemendagri: pengawasan hingga kecamatan cegah radikalisme
Ia menjelaskan jihad yang pertama dilakukan dengan lisan atau dialog kepada perwakilan-perwakilan masyarakat agar menyampaikan keberatan-keberatan terhadap suatu kebijakan.
"Jika anda melihat pemerintah melakukan suatu penyimpangan. Laporkan kepada pemerintah melalui DPR," kata Bukhori.
Jihad kedua melalui tulisan, yaitu dengan cara undangan para pemangku kebijakan agar bisa hadir berdiskusi membahas keberatan-keberatan yang dirasakan.
"Undang pemangku kebijakan di dalam diskusi, supaya dibahas apa yang menjadi permasalahan," ujar dia.
Jika tidak bisa juga, lalu sampaikan dengan jihad ketiga, yaitu melalui penyampaian pendapat di muka umum (berdemonstrasi) dengan cara-cara baik sesuai dengan konstitusi dan peraturan yang berlaku.
"Islam itu sangat damai, mengatur cara-cara tadi supaya orang tidak langsung saling membunuh," kata Bukhori.
Bukhori menambahkan jika Islam sangat menghargai arti sebuah nyawa, Bahkan mengutip dari Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 32, orang yang membunuh satu jiwa yang tidak bersalah, sama dosanya dengan membunuh semua orang. "Itu saking mahalnya harga nyawa," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Ada ruang-ruang jihad di dalam konstitusi yang tidak selalu dimaknai dengan mengangkat senjata. Dan itu ingin saya sampaikan," kata Bukhori dalam wawancara dengan Antara di Jakarta, Jumat (15/11).
Bukhori menjelaskan kalau jihad mengangkat senjata dan perang itu memerlukan persetujuan pemimpin, yang dalam hal ini diwakili oleh Kepala Pemerintahan.
Ia menilai tidak benar adanya masing-masing oknum masyarakat menafsirkan diri sebagai pemimpin, karena pemimpin yang diakui di Indonesia itu cuma satu, yaitu Presiden Republik Indonesia.
Baca juga: Indonesia hadapi ancaman radikalisme dan sekularisme
Ia mengatakan, agama Islam mengatur jika kemudian tidak suka dengan orang yang ditunjuk menjadi pemimpin, maka diadakan musyawarah. Di dalam konstitusi yang berlaku di Indonesia pun demikian.
"Oleh karena itu umat Islam harus paham. Jika kemudian tidak suka dengan Presiden, ya suatu saat pilihlah orang yang disukai," ujar Bukhori.
Kemudian jika ada kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, Bukhori mengatakan umat tidak mesti langsung berjihad dengan mengangkat senjata.
Mengutip dari pendapat ulama Mesir, Yusuf Al-Qaradhawi, Bukhori menjelaskan untuk hal ini jihad dibagi ke dalam empat tingkatan yaitu jihad dengan lisan, jihad dengan tulisan, jihad dengan perbuatan baik yang tidak merusak (amar ma'ruf nahi munkar), dan jihad terakhir dengan mengangkat senjata.
Baca juga: Kemendagri: pengawasan hingga kecamatan cegah radikalisme
Ia menjelaskan jihad yang pertama dilakukan dengan lisan atau dialog kepada perwakilan-perwakilan masyarakat agar menyampaikan keberatan-keberatan terhadap suatu kebijakan.
"Jika anda melihat pemerintah melakukan suatu penyimpangan. Laporkan kepada pemerintah melalui DPR," kata Bukhori.
Jihad kedua melalui tulisan, yaitu dengan cara undangan para pemangku kebijakan agar bisa hadir berdiskusi membahas keberatan-keberatan yang dirasakan.
"Undang pemangku kebijakan di dalam diskusi, supaya dibahas apa yang menjadi permasalahan," ujar dia.
Jika tidak bisa juga, lalu sampaikan dengan jihad ketiga, yaitu melalui penyampaian pendapat di muka umum (berdemonstrasi) dengan cara-cara baik sesuai dengan konstitusi dan peraturan yang berlaku.
"Islam itu sangat damai, mengatur cara-cara tadi supaya orang tidak langsung saling membunuh," kata Bukhori.
Bukhori menambahkan jika Islam sangat menghargai arti sebuah nyawa, Bahkan mengutip dari Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 32, orang yang membunuh satu jiwa yang tidak bersalah, sama dosanya dengan membunuh semua orang. "Itu saking mahalnya harga nyawa," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019