Pemerintah Provinsi Bali mengatur pengembangan "bangunan hijau" atau bangunan yang memiliki keseimbangan antara energi yang dihasilkan dengan energi yang digunakan atau zero energy building melalui Peraturan Gubernur Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih.
"Bangunan hijau yang akan dikembangkan adalah yang memiliki karakter tropis dan sesuai dengan arsitektur tradisional Bali," kata Gubernur Bali Wayan Koster saat memberikan keterangan kepada awak media terkait Pergub No 45 Tahun 2019 itu di Kediaman Jayasabha, Denpasar, Selasa.
Dalam peraturan gubernur yang terdiri dari 11 bab dan 33 pasal tersebut, menurut Koster, semangat utamanya untuk menjamin pemenuhan semua kebutuhan energi di Bali secara mandiri, ramah lingkungan, berkelanjutan, dan berkeadilan dengan menggunakan energi bersih.
Khusus mengenai "bangunan hijau" desain atau tata letak bangunan akan memanfaatkan sinar matahari secara optimal, penggunaan material bangunan ramah lingkungan, alat kelistrikan dan transportasi dalam gedung yang hemat listrik dan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dan/atau pemanfaatan teknologi surya lainnya.
Demikian juga efisiensi sumber daya air yang meliputi pemenuhan sumber air, pemakaian air, daur ulang limbah air dan penggunaan peralatan saniter hemat air serta pengolahan sampah dan air limbah sesuai dengan prosedur.
"Pengembangan bangunan hijau ini akan menyasar bangunan pemerintah pusat dan daerah, serta bangunan komersial, industri, sosial dan rumah tangga dengan luas lantai lebih dari 500 meter persegi," ucap Koster.
Pemasangan PLTS Atap dan/atau pemanfaatan teknologi surya lainnya pada bangunan-bangunan tersebut dilakukan pada tenggat waktu beragam, dari 2021 hingga 2024. Untuk bangunan baru mulai 2021, sedangkan untuk yang sudah ada diberikan waktu hingga 2024.
"Bangunan industri, komersial, dan mall dengan luas lantai lebih dari 1.000 meter persegi, bangunan resort dengan luas lahan lebih dari 3.000 meter persegi dan bangunan hotel bintang 4 ke atas yang menggunakan listrik bersumber dari energi bersih secara proporsional memperoleh tarif listrik khusus atau tarif hijau dari pelaku usaha ketenagalistrikan," ucapnya.
Koster menambahkan, dalam Pergub 45/2019 tersebut juga mengatur bahwa pelaku usaha ketenagalistrikan atau PLN harus melakukan konversi pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan/atau bahan bakar minyak ke pembangkit listrik energi bersih.
"Jadi, konsep energi bersih ini bukan wacana lagi, akan saya jalankan karena sudah ada regulasinya. Kalau saya, nggak mau merencanakan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan. Kalau saya sudah ngomong begini, artinya komit akan dilaksanakan," ujar Koster.
Sementara itu, General Manager PLN Distribusi Bali Nyoman Suwarjoni Astawa mengatakan implementasi dari "bangunan hijau" itu nantinya pada 2021 sudah disyaratkan mulai awal mengurus Izin Mendirikan Bangunan, begitu luas lantai bangunan sesuai dengan pergub. "Sehingga dari awal sudah merencanakan pondasi, konstruksi, maupun atapnya," ucapnya.
Sedangkan untuk bangunan "eksisting", pihaknya meyakini sebelum 2024 akan sudah melakukan sendiri dengan mendengar testimoni dari pihak-pihak yang sudah mengembangkan bangunan hijau.
Suwarjoni mengatakan pihaknya memang tengah menggasifikasi pembangkit "eksisting" yang awalnya masih menggunakan BBM menjadi menggunakan gas maupun penambahan dua pembangkit listrik menggunakan tenaga surya yakni satu di Kabupaten Jembrana dan satu di Karangasem, yang masing-masing berkapasitas 25 Megawattpeak (MWp)
Diharapkan 2020 akhir atau 2021 awal, Pembangkit Listrik Tenaga Surya terbesar di Indonesia sudah beroperasi di Bali. "Ini bukti nyata bagaimana PLN sebagai salah satu penyelenggara tenaga listrik di Indonesia ini mendukung program di daerah yang baik bagi kita semua," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Bangunan hijau yang akan dikembangkan adalah yang memiliki karakter tropis dan sesuai dengan arsitektur tradisional Bali," kata Gubernur Bali Wayan Koster saat memberikan keterangan kepada awak media terkait Pergub No 45 Tahun 2019 itu di Kediaman Jayasabha, Denpasar, Selasa.
Dalam peraturan gubernur yang terdiri dari 11 bab dan 33 pasal tersebut, menurut Koster, semangat utamanya untuk menjamin pemenuhan semua kebutuhan energi di Bali secara mandiri, ramah lingkungan, berkelanjutan, dan berkeadilan dengan menggunakan energi bersih.
Khusus mengenai "bangunan hijau" desain atau tata letak bangunan akan memanfaatkan sinar matahari secara optimal, penggunaan material bangunan ramah lingkungan, alat kelistrikan dan transportasi dalam gedung yang hemat listrik dan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dan/atau pemanfaatan teknologi surya lainnya.
Demikian juga efisiensi sumber daya air yang meliputi pemenuhan sumber air, pemakaian air, daur ulang limbah air dan penggunaan peralatan saniter hemat air serta pengolahan sampah dan air limbah sesuai dengan prosedur.
"Pengembangan bangunan hijau ini akan menyasar bangunan pemerintah pusat dan daerah, serta bangunan komersial, industri, sosial dan rumah tangga dengan luas lantai lebih dari 500 meter persegi," ucap Koster.
Pemasangan PLTS Atap dan/atau pemanfaatan teknologi surya lainnya pada bangunan-bangunan tersebut dilakukan pada tenggat waktu beragam, dari 2021 hingga 2024. Untuk bangunan baru mulai 2021, sedangkan untuk yang sudah ada diberikan waktu hingga 2024.
"Bangunan industri, komersial, dan mall dengan luas lantai lebih dari 1.000 meter persegi, bangunan resort dengan luas lahan lebih dari 3.000 meter persegi dan bangunan hotel bintang 4 ke atas yang menggunakan listrik bersumber dari energi bersih secara proporsional memperoleh tarif listrik khusus atau tarif hijau dari pelaku usaha ketenagalistrikan," ucapnya.
Koster menambahkan, dalam Pergub 45/2019 tersebut juga mengatur bahwa pelaku usaha ketenagalistrikan atau PLN harus melakukan konversi pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan/atau bahan bakar minyak ke pembangkit listrik energi bersih.
"Jadi, konsep energi bersih ini bukan wacana lagi, akan saya jalankan karena sudah ada regulasinya. Kalau saya, nggak mau merencanakan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan. Kalau saya sudah ngomong begini, artinya komit akan dilaksanakan," ujar Koster.
Sementara itu, General Manager PLN Distribusi Bali Nyoman Suwarjoni Astawa mengatakan implementasi dari "bangunan hijau" itu nantinya pada 2021 sudah disyaratkan mulai awal mengurus Izin Mendirikan Bangunan, begitu luas lantai bangunan sesuai dengan pergub. "Sehingga dari awal sudah merencanakan pondasi, konstruksi, maupun atapnya," ucapnya.
Sedangkan untuk bangunan "eksisting", pihaknya meyakini sebelum 2024 akan sudah melakukan sendiri dengan mendengar testimoni dari pihak-pihak yang sudah mengembangkan bangunan hijau.
Suwarjoni mengatakan pihaknya memang tengah menggasifikasi pembangkit "eksisting" yang awalnya masih menggunakan BBM menjadi menggunakan gas maupun penambahan dua pembangkit listrik menggunakan tenaga surya yakni satu di Kabupaten Jembrana dan satu di Karangasem, yang masing-masing berkapasitas 25 Megawattpeak (MWp)
Diharapkan 2020 akhir atau 2021 awal, Pembangkit Listrik Tenaga Surya terbesar di Indonesia sudah beroperasi di Bali. "Ini bukti nyata bagaimana PLN sebagai salah satu penyelenggara tenaga listrik di Indonesia ini mendukung program di daerah yang baik bagi kita semua," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019