Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj meminta santri pada era Revolusi Industri 4.0 jangan kehilangan diri yang berakhlak yang baik, hormat kepada kiai, dan menjaga metode dakwah Walisongo.
"Santri juga harus kreatif, inovatif, dan adaptif terhadap nilai-nilai baru yang baik, sekaligus teguh menjaga tradisi dan nilai-nilai lama yang baik," kata dia di Jakarta, Selasa, dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional 2019.
Dia mengatakan pribadi santri disatukan dalam dasar dan prinsip perjuangan, latar belakang sejarah, dan tujuan. Dasar perjuangan santri adalah memperjuangkan tegak lestarinya ajaran Islam "ahlussunnah waljama’ah" yaitu Islam bermazhab.
Di tengah kampanye Islam antimazhab yang menggemakan jargon kembali kepada Al Quran dan Hadits, dia mengatakan santri dituntut cerdas mengembangkan argumen Islam moderat yang sesuai dengan semangat membangun simbiosis Islam dan kebangsaan.
"Demikian inilah yang dicontohkan Walisongo. Islam tidak diajarkan dalam bungkusnya, tetapi isinya. Bungkusnya dipertahankan dalam wadah budaya Nusantara, tetapi isinya diganti dengan ajaran Islam," kata dia.
Baca juga: Habib Jindan: Hari Santri amanatkan Islam kasih sayang
Walisongo, kata dia, menjadikan budaya sebagai infrastruktur agama sejauh tidak bertentangan dengan syariat, termasuk dalam hal ini adalah bentuk negara.
"Bentuk negara apapun, asal syariat Islam dapat dijalankan masyarakat secara sah dan mengikat, baik berbentuk republik, mamlakah, maupun emirat. Karena NKRI berdasarkan Pancasila telah disepakati oleh para pendiri bangsa, seluruh warga negara, termasuk santri, wajib patuh menjaga dan mempertahankan konsensus kebangsaan," kata dia.
Soal latar belakang santri, Said mengatakan jati diri santri adalah moralitas dan akhlak pesantren dengan kiai sebagai simbol kepemimpinan spiritual.
Oleh karena itu, katanya, meskipun santri telah melanglang buana, menempuh pendidikan hingga mancanegara, dia tidak boleh melupakan jati dirinya sebagai santri yang hormat dan patuh kepada kiai.
Baca juga: Hari Santri tak hanya sekadar film atau UU Pesantren
Terkat dengan tujuan pengabdian santri, Ketum PBNU itu, mengatakan meninggikan kalimat Allah yang paling luhur, yaitu tegaknya agama Islam rahmatan lil 'alamin adalah suatu visi.
"Islam yang harus diperjuangkan bukan sekadar akidah dan syariah, tetapi ilmu dan peradaban, budaya dan kemajuan dan juga kemanusiaan. Islam dalam etos santri adalah keterbukaan, kecendekiaan, toleransi, kejujuran, dan kesederhanaan," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Santri juga harus kreatif, inovatif, dan adaptif terhadap nilai-nilai baru yang baik, sekaligus teguh menjaga tradisi dan nilai-nilai lama yang baik," kata dia di Jakarta, Selasa, dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional 2019.
Dia mengatakan pribadi santri disatukan dalam dasar dan prinsip perjuangan, latar belakang sejarah, dan tujuan. Dasar perjuangan santri adalah memperjuangkan tegak lestarinya ajaran Islam "ahlussunnah waljama’ah" yaitu Islam bermazhab.
Di tengah kampanye Islam antimazhab yang menggemakan jargon kembali kepada Al Quran dan Hadits, dia mengatakan santri dituntut cerdas mengembangkan argumen Islam moderat yang sesuai dengan semangat membangun simbiosis Islam dan kebangsaan.
"Demikian inilah yang dicontohkan Walisongo. Islam tidak diajarkan dalam bungkusnya, tetapi isinya. Bungkusnya dipertahankan dalam wadah budaya Nusantara, tetapi isinya diganti dengan ajaran Islam," kata dia.
Baca juga: Habib Jindan: Hari Santri amanatkan Islam kasih sayang
Walisongo, kata dia, menjadikan budaya sebagai infrastruktur agama sejauh tidak bertentangan dengan syariat, termasuk dalam hal ini adalah bentuk negara.
"Bentuk negara apapun, asal syariat Islam dapat dijalankan masyarakat secara sah dan mengikat, baik berbentuk republik, mamlakah, maupun emirat. Karena NKRI berdasarkan Pancasila telah disepakati oleh para pendiri bangsa, seluruh warga negara, termasuk santri, wajib patuh menjaga dan mempertahankan konsensus kebangsaan," kata dia.
Soal latar belakang santri, Said mengatakan jati diri santri adalah moralitas dan akhlak pesantren dengan kiai sebagai simbol kepemimpinan spiritual.
Oleh karena itu, katanya, meskipun santri telah melanglang buana, menempuh pendidikan hingga mancanegara, dia tidak boleh melupakan jati dirinya sebagai santri yang hormat dan patuh kepada kiai.
Baca juga: Hari Santri tak hanya sekadar film atau UU Pesantren
Terkat dengan tujuan pengabdian santri, Ketum PBNU itu, mengatakan meninggikan kalimat Allah yang paling luhur, yaitu tegaknya agama Islam rahmatan lil 'alamin adalah suatu visi.
"Islam yang harus diperjuangkan bukan sekadar akidah dan syariah, tetapi ilmu dan peradaban, budaya dan kemajuan dan juga kemanusiaan. Islam dalam etos santri adalah keterbukaan, kecendekiaan, toleransi, kejujuran, dan kesederhanaan," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019