Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Darul Ulum, Syaian Choir, mengatakan, ideologi Pancasila harus terus dipertahankan untuk mencegah penyebaran paham radikalisme dan penyebaran konsep khilafah.
"Konsep khilafah yang digaungkan sekelompok orang, seperti HTI, bukan hanya bahaya laten bagi Indonesia. Sebab, sudah banyak generasi muda dan anggota TNI yang terpatri pada konsep khilafah," kata Syaian dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis.
Padahal, lanjut dia, jantung negara ada di pemuda dan tentara. Sudah banyak penelitiannya, ada Wahid Institute. Jangan sampai ada ruang bagi kelompok-kelompok tertentu untuk menyebarkan konsep khilafah demi menjaga ideologi Pancasila," ujarnya dalam diskusi publik bertajuk "Mengembangkan Patriotisme di Kisaran Bahaya Laten Khilafah".
Sementara itu, pengamat Intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta, memaparkan tentang ancaman radikalisme dan terorisme di Indonesia yang sudah terjadi dan nyata.
Sejak tahun 2000-2018, disebutkan, lebih dari 1.700 orang diproses hukum karena tindak pidana terorisme.
Baca juga: Peneliti: Saatnya Pancasila ditampilkan sebagai ideologi terbuka
Baca juga: LL Dikti : perguruan tinggi se-Indonesia tegakkan konsensus jaga Pancasila
"Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kasus terorisme di Indonesia bukan angka yang kecil," ujarnya.
Menurut Stanislaus, kasus terorisme dimulai dari perilaku intoleran, radikal kemudian aksi teror. Di dalam tren Industri 4.0 ini kecenderungan radikalisasi lebih cepat dan lebih mudah karena adanya teknologi internet.
"Kelompok yang disasar adalah generasi muda yang sedang masa mencari jati diri," katanya.
Proses paparan yang sangat cepat dan sumber referensi tentang gerakan radikal dan terorisme dengan mudah diperoleh membuat trend radikalisme dan terorisme di kalangan muda meningkat.
"Jika melihat fakta yang ada maka radikalisme sudah masuk ke berbagai sektor. Pernyataan Menhan bahwa tiga persen anggota TNI terpapar radikalisme adalah situasi yang serius," katanya.
Selain itu sebelumnya diketahui bahwa ada pegawai BUMN yang menjadi donatur teroris di Riau, pejabat BP Batam yang gabung dengan ISIS di Suriah, eks pegawai Depkeu yang menjadi simpatisan ISIS, bahkan 3 alumni IPDN diketahui terlibat terorisme.
Selain itu, lanjut Stanislaus, radikalisme juga sudah masuk dalam lingkungan Polri. Beberapa waktu yang lalu Polwan di Maluku Utara ditahan di Jatim karena diduga terpapar paham radikal. Anggota Polres Batanghari juga diklaim gabung dengan ISIS di Suriah yang selanjutnya dikabarkan sudah tewas.
"Radikalisme sudah terjadi mulai Paud hingga perguruan tinggi. Perlu adanya suatu gerakan nasional yang bisa menciptakan kontra narasi terhadap paham radikal. Gerakan ini lebih efektif kalau dilakukan oleh civil soviety melibatkan dengan para ahli," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Konsep khilafah yang digaungkan sekelompok orang, seperti HTI, bukan hanya bahaya laten bagi Indonesia. Sebab, sudah banyak generasi muda dan anggota TNI yang terpatri pada konsep khilafah," kata Syaian dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis.
Padahal, lanjut dia, jantung negara ada di pemuda dan tentara. Sudah banyak penelitiannya, ada Wahid Institute. Jangan sampai ada ruang bagi kelompok-kelompok tertentu untuk menyebarkan konsep khilafah demi menjaga ideologi Pancasila," ujarnya dalam diskusi publik bertajuk "Mengembangkan Patriotisme di Kisaran Bahaya Laten Khilafah".
Sementara itu, pengamat Intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta, memaparkan tentang ancaman radikalisme dan terorisme di Indonesia yang sudah terjadi dan nyata.
Sejak tahun 2000-2018, disebutkan, lebih dari 1.700 orang diproses hukum karena tindak pidana terorisme.
Baca juga: Peneliti: Saatnya Pancasila ditampilkan sebagai ideologi terbuka
Baca juga: LL Dikti : perguruan tinggi se-Indonesia tegakkan konsensus jaga Pancasila
"Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kasus terorisme di Indonesia bukan angka yang kecil," ujarnya.
Menurut Stanislaus, kasus terorisme dimulai dari perilaku intoleran, radikal kemudian aksi teror. Di dalam tren Industri 4.0 ini kecenderungan radikalisasi lebih cepat dan lebih mudah karena adanya teknologi internet.
"Kelompok yang disasar adalah generasi muda yang sedang masa mencari jati diri," katanya.
Proses paparan yang sangat cepat dan sumber referensi tentang gerakan radikal dan terorisme dengan mudah diperoleh membuat trend radikalisme dan terorisme di kalangan muda meningkat.
"Jika melihat fakta yang ada maka radikalisme sudah masuk ke berbagai sektor. Pernyataan Menhan bahwa tiga persen anggota TNI terpapar radikalisme adalah situasi yang serius," katanya.
Selain itu sebelumnya diketahui bahwa ada pegawai BUMN yang menjadi donatur teroris di Riau, pejabat BP Batam yang gabung dengan ISIS di Suriah, eks pegawai Depkeu yang menjadi simpatisan ISIS, bahkan 3 alumni IPDN diketahui terlibat terorisme.
Selain itu, lanjut Stanislaus, radikalisme juga sudah masuk dalam lingkungan Polri. Beberapa waktu yang lalu Polwan di Maluku Utara ditahan di Jatim karena diduga terpapar paham radikal. Anggota Polres Batanghari juga diklaim gabung dengan ISIS di Suriah yang selanjutnya dikabarkan sudah tewas.
"Radikalisme sudah terjadi mulai Paud hingga perguruan tinggi. Perlu adanya suatu gerakan nasional yang bisa menciptakan kontra narasi terhadap paham radikal. Gerakan ini lebih efektif kalau dilakukan oleh civil soviety melibatkan dengan para ahli," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019