Untuk mencapai sasaran eliminasi filariasis atau penyakit kaki gajah tahun 2020, pada 26 Maret 2007, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan membentuk Komite Ahli Pengobatan Filariasis (KAPFI) yang ditetapkan melalui Kepmenkes RI No.359/MENKES/SK/III/2007.
Sementara itu, badan kesehatan dunia (WHO) memiliki strategi The Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis untuk memberantas kaki gajah.
Di dunia kedokteran, kaki gajah memiliki beberapa sinonim. Terminologi kaki gajah misalnya filariasis, elephantiasis, lymphatic filariasis. Kaki gajah adalah penyakit infeksi tropis menular yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini disebabkan oleh cacing filaria jenis Wuchereria bancrofti, Bruggia malayi, Bruggia timori. Disebut "kaki gajah" karena kaki penderita memang membesar menyerupai kaki gajah.
Menurut WHO, terdapat lebih dari 120 juta kasus kaki gajah di seluruh dunia, dan 40 juta di antaranya cacat permanen; juga, hampir 1 miliar penduduk mendiami daerah yang endemis dan sangat berisiko terinfeksi kaki gajah.
Data di Indonesia; masih terdapat 11.699 penderita kaki gajah (tahun 2008), sekitar 28,5 juta jiwa telah terinfeksi dan menjadi sumber penularan, sekitar 40 juta penduduk tubuhnya mengandung mikrofilaria, sekitar 125 juta sangat berisiko tertular kaki gajah, dan 378 kabupaten-kota dinyatakan endemis kaki gajah (kumpulan data hingga November 2009).
Kelompok usia 15-44 tahun berisiko tinggi terinfeksi kaki gajah. Selain itu, kaki gajah di Indonesia menimbulkan kerugian sosial budaya, ekonomi dan juga dampak psikologis bagi penderita, seperti diasingkan keluarga dan masyarakat, sulit memperoleh pasangan hidup.
Faktor perilaku (tidak memakai kelambu, tidak memakai lengan panjang), sosial budaya (pengetahuan rendah) dan lingkungan (rawa) merupakan faktor risiko kejadian kaki gajah.
Vektor penular kaki gajah antara lain berbagai jenis nyamuk Anopheles (spesies aconitus, subpictus, nigerrium), Culex quinquefasciatus, Mansonia uniformis. Nyamuk ini semakin merajalela dengan bertambah banyaknya genangan, waduk buatan, ditunjang dengan perubahan ekosistem global.
Penyakit yang memiliki masa inkubasi selama dua tahun ini ditularkan oleh nyamuk yang menggigit manusia yang terinfeksi dan membawa mikrofilaria yang berkembang, di dalam nyamuk, menuju stadium infektif. Proses ini memerlukan waktu 7-21 hari. Larva kemudian bermigrasi ke mulut nyamuk, siap memasuki kulit manusia.
Potret Klinis
Infeksi umumnya diperoleh awal pada masa anak-anak, namun gejala tampak jelas setelah bertahun-tahun. Banyak penderita kaki gajah yang pada mulanya tampak sehat dan tidak memiliki gejala klinis, meskipun sebenarnya ginjal mereka rusak dan darah mereka mengandung ribuan bahkan jutaan larva parasit (mikrofilaria) dan cacing dewasa yang berlokasi di sistem limfatik atau kelenjar getah bening. Terdapatnya mikrofilaria di dalam darah (mikrofilaremia) biasanya tanpa disertai gejala.
Manifestasi akut filariasis limfatik biasa disebut adenolymphangitis; sebagian besar merupakan hasil dari keberadaan cacing dewasa yang bertempat tinggal di kelenjar getah bening, seperti demam (dapat berulang sekitar tiga hingga lima hari, menghilang bila beristirahat, dan muncul lagi setelah bekerja berat), peradangan atau pembesaran limfe (kelenjar getah bening) di bagian ketiak dan lipat paha (terkadang terlihat kemerahan, sakit, panas), nyeri di lipat paha dan atau testis, dan pembesaran atau pembengkakan (elephantiasis) anggota tubuh (seperti kaki, tangan, payudara, alat kelamin, penis, skrotum, vulva) yang disertai nyeri.
Elephantiasis merupakan tanda klasik stadium akhir penyakit ini. Pengelupasan atau hilangnya lapisan kulit (skin exfoliation) bagian tubuh yang terinfeksi biasanya terjadi saat periode resolusi (penyembuhan).
Gejala kaki gajah kronis umumnya dialami pria dewasa. Pada komunitas yang endemis, sekitar 10-50 persen pria mengalami kerusakan alat kelamin yang disebut hydrocoele (skrotum terisi cairan) serta elephantiasis di penis dan skrotum.
Memang di daerah endemis; manifestasi akut dan kronis cenderung berkembang lebih sering dan lebih cepat pada pengungsi atau pendatang baru daripada penduduk setempat yang secara terus-menerus terpapar infeksi. Lymphoedema dapat berkembang dalam waktu 6 bulan dan elephantiasis paling cepat 1 tahun setelah datang.
Gambaran air seni atau urine seperti susu keruh (cloudy milklike urine) menunjukkan adanya lemak di dalam urine (chyluria), dapat dijumpai pada individu dengan infeksi kronis (menahun).
Pemeriksaan Penunjang
Deteksi mikrofilaria di darah, kulit, mata. Di darah dengan capillary finger-prick atau darah vena untuk sediaan darah tebal. Untuk uji laboratorium sebaiknya menggunakan darah dari jari yang diambil pada malam hari. Deteksi mikrofilaria di mata menggunakan slit-lamp examination.
Pemeriksaan urine secara makroskopis akan terdapat lemak (chyluria). Hitung sel darah lengkap; eosinofilia jika terdapat infeksi filaria. Deteksi antigen filaria baik secara kuantitatif (enzyme-linked immunoassay [ELISA]) Og4C3 monoclonal antibody–based assay) atau kualitatif (immunochromatographic).
Deteksi antibodi filaria menggunakan antigen rekombinan untuk diagnosis antibodi IgG4 onchocerciasis pada serological assays. Penilaian imunoglobulin serum: peningkatan serum IgE dan IgG4 tampak pada penyakit filaria aktif.
Penyakit kaki gajah dapat diterapi dengan albendazole (400 mg PO dosis tunggal) dan ivermectin (200 mikrogram per Kg berat badan) atau diethylcarbamazine citrate/DEC (6 mg per Kg berat badan) setahun sekali selama 5 tahun. WHO merekomendasikan DEC dan albendazole sekali setahun selama 5-6 tahun.
Terapi lainnya, yakni dari golongan anthelmintic (obat anticacing), misalnya: suramin (66,7 mg/kg/hari IV dalam dosis 6 minggu), mebendazole (100 mg PO bid untuk 3 hari), flubendazole (100 mg PO bid untuk 3 hari).
Pada komunitas endemis, tujuan utama tatalaksananya adalah untuk mengeliminasi mikrofilaria dari darah penderita kaki gajah untuk menghentikan transmisi infeksi oleh nyamuk. Riset membuktikan bahwa dosis tunggal diethylcarbamazine citrate (DEC) memiliki efek jangka panjang (1 tahun) dalam menurunkan kadar mikrofilaremia yang sama seperti regimen pemberian DEC selama 12 hari terdahulu.
Menariknya lagi, penggunaan dosis tunggal dari dua obat yang diresepkan bersamaan (secara optimal adalah albendazole dengan DEC atau ivermectin) efektivitasnya dalam eliminasi mikrofilaria dari darah mencapai 99% selama setahun penuh setelah pengobatan. Strategi ini efektif untuk mengeliminasi kasus filariasis limfatik.
Adapun jahe dan pepaya merupakan tatalaksana alternatif untuk mengobati kaki gajah. Jahe dapat mengatasi kaki gajah. Caranya: sesendok minyak asiri jahe dikonsumsi setiap hari selama 28 hari. Pepaya (Carica papaya L.) dapat dipakai sebagai pelengkap terapi kaki gajah, caranya: rebuslah daun secukupnya untuk merendam kaki yang membesar.
Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan penderita untuk mengurangi penderitaan dan keparahan kaki gajah. Misalnya: cuci atau bilaslah kaki atau anggota tubuh yang menderita lymphoedema dengan sabun dan air bersih, lalu keringkan dengan perlahan dan hati-hati. Naikkan atau tinggikan kaki sepanjang siang dan malam. Gerakkan kaki kapanpun dan di manapun.
Terlatih mengelola serangan akut, yang ditandai dengan: kaki yang membengkak terasa nyeri hebat, kulit memerah dan nyeri, demam (bisa sangat tinggi), sakit kepala, gemetar atau menggigil, mual, muntah. Caranya: basahilah atau rendamlah kaki dengan air dingin. Perbanyak minum air. Beristirahatlah dan jangan berolahraga. Minumlah obat untuk menurunkan demam (paracetamol setiap 4-6 jam hingga demam turun). Bila perlu, berilah antibiotik sesuai resep dokter.
Bila tatalaksana dengan obat belum berhasil, maka dokter merekomendasikan tindakan pembedahan atau operasi. Untuk lymphatic filariasis, terutama pada kasus large hydroceles dan scrotal elephantiasis dapat diatasi dengan pembedahan eksisi. Untuk onchocerciasis, teknik nodulectomy dengan bius lokal biasa dilakukan untuk mengurangi komplikasi mata dan kulit.
Beberapa upaya pencegahan kaki gajah dapat dilakukan. Misalnya: makanan berlemak dibatasi, terutama jika air kemih penderita terbukti mengandung lemak (chyluria). Menghindari gigitan nyamuk. Memakai jaket, celana panjang, obat nyamuk, kelambu, dan alat proteksi lainnya saat melakukan aktivitas pada malam hari, seperti: meronda, menonton TV di rumah tetangga, dan sebagainya.
Hindari sering bepergian ke rawa dan daerah endemis. Memasang kasa pada ventilasi rumah, menjauhkan lokasi kandang ternak dari rumah. Pemberian obat secara massal. Melakukan edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan kepedulian dan pengetahuan masyarakat, melakukan kerja sama lintas sektor untuk memberantas kaki gajah.
*) Dito Anurogo adalah instruktur literasi baca-tulis tingkat nasional 2019, dokter literasi digital, penulis puluhan buku, dosen tetap FKIK Unismuh Makassar, kepala LP3AI ADPERTISI, pegiat FLP Makassar Sulawesi Selatan, Director networking IMA Chapter Makassar, pengurus APKKM, Dewan Pembina/Penasihat berbagai komunitas
Baca juga: Menkes Komitmen Berantas Kaki Gajah Hingga 2020
Baca juga: Kaki Gajah Penyakit Menahun
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
Sementara itu, badan kesehatan dunia (WHO) memiliki strategi The Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis untuk memberantas kaki gajah.
Di dunia kedokteran, kaki gajah memiliki beberapa sinonim. Terminologi kaki gajah misalnya filariasis, elephantiasis, lymphatic filariasis. Kaki gajah adalah penyakit infeksi tropis menular yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini disebabkan oleh cacing filaria jenis Wuchereria bancrofti, Bruggia malayi, Bruggia timori. Disebut "kaki gajah" karena kaki penderita memang membesar menyerupai kaki gajah.
Menurut WHO, terdapat lebih dari 120 juta kasus kaki gajah di seluruh dunia, dan 40 juta di antaranya cacat permanen; juga, hampir 1 miliar penduduk mendiami daerah yang endemis dan sangat berisiko terinfeksi kaki gajah.
Data di Indonesia; masih terdapat 11.699 penderita kaki gajah (tahun 2008), sekitar 28,5 juta jiwa telah terinfeksi dan menjadi sumber penularan, sekitar 40 juta penduduk tubuhnya mengandung mikrofilaria, sekitar 125 juta sangat berisiko tertular kaki gajah, dan 378 kabupaten-kota dinyatakan endemis kaki gajah (kumpulan data hingga November 2009).
Kelompok usia 15-44 tahun berisiko tinggi terinfeksi kaki gajah. Selain itu, kaki gajah di Indonesia menimbulkan kerugian sosial budaya, ekonomi dan juga dampak psikologis bagi penderita, seperti diasingkan keluarga dan masyarakat, sulit memperoleh pasangan hidup.
Faktor perilaku (tidak memakai kelambu, tidak memakai lengan panjang), sosial budaya (pengetahuan rendah) dan lingkungan (rawa) merupakan faktor risiko kejadian kaki gajah.
Vektor penular kaki gajah antara lain berbagai jenis nyamuk Anopheles (spesies aconitus, subpictus, nigerrium), Culex quinquefasciatus, Mansonia uniformis. Nyamuk ini semakin merajalela dengan bertambah banyaknya genangan, waduk buatan, ditunjang dengan perubahan ekosistem global.
Penyakit yang memiliki masa inkubasi selama dua tahun ini ditularkan oleh nyamuk yang menggigit manusia yang terinfeksi dan membawa mikrofilaria yang berkembang, di dalam nyamuk, menuju stadium infektif. Proses ini memerlukan waktu 7-21 hari. Larva kemudian bermigrasi ke mulut nyamuk, siap memasuki kulit manusia.
Potret Klinis
Infeksi umumnya diperoleh awal pada masa anak-anak, namun gejala tampak jelas setelah bertahun-tahun. Banyak penderita kaki gajah yang pada mulanya tampak sehat dan tidak memiliki gejala klinis, meskipun sebenarnya ginjal mereka rusak dan darah mereka mengandung ribuan bahkan jutaan larva parasit (mikrofilaria) dan cacing dewasa yang berlokasi di sistem limfatik atau kelenjar getah bening. Terdapatnya mikrofilaria di dalam darah (mikrofilaremia) biasanya tanpa disertai gejala.
Manifestasi akut filariasis limfatik biasa disebut adenolymphangitis; sebagian besar merupakan hasil dari keberadaan cacing dewasa yang bertempat tinggal di kelenjar getah bening, seperti demam (dapat berulang sekitar tiga hingga lima hari, menghilang bila beristirahat, dan muncul lagi setelah bekerja berat), peradangan atau pembesaran limfe (kelenjar getah bening) di bagian ketiak dan lipat paha (terkadang terlihat kemerahan, sakit, panas), nyeri di lipat paha dan atau testis, dan pembesaran atau pembengkakan (elephantiasis) anggota tubuh (seperti kaki, tangan, payudara, alat kelamin, penis, skrotum, vulva) yang disertai nyeri.
Elephantiasis merupakan tanda klasik stadium akhir penyakit ini. Pengelupasan atau hilangnya lapisan kulit (skin exfoliation) bagian tubuh yang terinfeksi biasanya terjadi saat periode resolusi (penyembuhan).
Gejala kaki gajah kronis umumnya dialami pria dewasa. Pada komunitas yang endemis, sekitar 10-50 persen pria mengalami kerusakan alat kelamin yang disebut hydrocoele (skrotum terisi cairan) serta elephantiasis di penis dan skrotum.
Memang di daerah endemis; manifestasi akut dan kronis cenderung berkembang lebih sering dan lebih cepat pada pengungsi atau pendatang baru daripada penduduk setempat yang secara terus-menerus terpapar infeksi. Lymphoedema dapat berkembang dalam waktu 6 bulan dan elephantiasis paling cepat 1 tahun setelah datang.
Gambaran air seni atau urine seperti susu keruh (cloudy milklike urine) menunjukkan adanya lemak di dalam urine (chyluria), dapat dijumpai pada individu dengan infeksi kronis (menahun).
Pemeriksaan Penunjang
Deteksi mikrofilaria di darah, kulit, mata. Di darah dengan capillary finger-prick atau darah vena untuk sediaan darah tebal. Untuk uji laboratorium sebaiknya menggunakan darah dari jari yang diambil pada malam hari. Deteksi mikrofilaria di mata menggunakan slit-lamp examination.
Pemeriksaan urine secara makroskopis akan terdapat lemak (chyluria). Hitung sel darah lengkap; eosinofilia jika terdapat infeksi filaria. Deteksi antigen filaria baik secara kuantitatif (enzyme-linked immunoassay [ELISA]) Og4C3 monoclonal antibody–based assay) atau kualitatif (immunochromatographic).
Deteksi antibodi filaria menggunakan antigen rekombinan untuk diagnosis antibodi IgG4 onchocerciasis pada serological assays. Penilaian imunoglobulin serum: peningkatan serum IgE dan IgG4 tampak pada penyakit filaria aktif.
Penyakit kaki gajah dapat diterapi dengan albendazole (400 mg PO dosis tunggal) dan ivermectin (200 mikrogram per Kg berat badan) atau diethylcarbamazine citrate/DEC (6 mg per Kg berat badan) setahun sekali selama 5 tahun. WHO merekomendasikan DEC dan albendazole sekali setahun selama 5-6 tahun.
Terapi lainnya, yakni dari golongan anthelmintic (obat anticacing), misalnya: suramin (66,7 mg/kg/hari IV dalam dosis 6 minggu), mebendazole (100 mg PO bid untuk 3 hari), flubendazole (100 mg PO bid untuk 3 hari).
Pada komunitas endemis, tujuan utama tatalaksananya adalah untuk mengeliminasi mikrofilaria dari darah penderita kaki gajah untuk menghentikan transmisi infeksi oleh nyamuk. Riset membuktikan bahwa dosis tunggal diethylcarbamazine citrate (DEC) memiliki efek jangka panjang (1 tahun) dalam menurunkan kadar mikrofilaremia yang sama seperti regimen pemberian DEC selama 12 hari terdahulu.
Menariknya lagi, penggunaan dosis tunggal dari dua obat yang diresepkan bersamaan (secara optimal adalah albendazole dengan DEC atau ivermectin) efektivitasnya dalam eliminasi mikrofilaria dari darah mencapai 99% selama setahun penuh setelah pengobatan. Strategi ini efektif untuk mengeliminasi kasus filariasis limfatik.
Adapun jahe dan pepaya merupakan tatalaksana alternatif untuk mengobati kaki gajah. Jahe dapat mengatasi kaki gajah. Caranya: sesendok minyak asiri jahe dikonsumsi setiap hari selama 28 hari. Pepaya (Carica papaya L.) dapat dipakai sebagai pelengkap terapi kaki gajah, caranya: rebuslah daun secukupnya untuk merendam kaki yang membesar.
Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan penderita untuk mengurangi penderitaan dan keparahan kaki gajah. Misalnya: cuci atau bilaslah kaki atau anggota tubuh yang menderita lymphoedema dengan sabun dan air bersih, lalu keringkan dengan perlahan dan hati-hati. Naikkan atau tinggikan kaki sepanjang siang dan malam. Gerakkan kaki kapanpun dan di manapun.
Terlatih mengelola serangan akut, yang ditandai dengan: kaki yang membengkak terasa nyeri hebat, kulit memerah dan nyeri, demam (bisa sangat tinggi), sakit kepala, gemetar atau menggigil, mual, muntah. Caranya: basahilah atau rendamlah kaki dengan air dingin. Perbanyak minum air. Beristirahatlah dan jangan berolahraga. Minumlah obat untuk menurunkan demam (paracetamol setiap 4-6 jam hingga demam turun). Bila perlu, berilah antibiotik sesuai resep dokter.
Bila tatalaksana dengan obat belum berhasil, maka dokter merekomendasikan tindakan pembedahan atau operasi. Untuk lymphatic filariasis, terutama pada kasus large hydroceles dan scrotal elephantiasis dapat diatasi dengan pembedahan eksisi. Untuk onchocerciasis, teknik nodulectomy dengan bius lokal biasa dilakukan untuk mengurangi komplikasi mata dan kulit.
Beberapa upaya pencegahan kaki gajah dapat dilakukan. Misalnya: makanan berlemak dibatasi, terutama jika air kemih penderita terbukti mengandung lemak (chyluria). Menghindari gigitan nyamuk. Memakai jaket, celana panjang, obat nyamuk, kelambu, dan alat proteksi lainnya saat melakukan aktivitas pada malam hari, seperti: meronda, menonton TV di rumah tetangga, dan sebagainya.
Hindari sering bepergian ke rawa dan daerah endemis. Memasang kasa pada ventilasi rumah, menjauhkan lokasi kandang ternak dari rumah. Pemberian obat secara massal. Melakukan edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan kepedulian dan pengetahuan masyarakat, melakukan kerja sama lintas sektor untuk memberantas kaki gajah.
*) Dito Anurogo adalah instruktur literasi baca-tulis tingkat nasional 2019, dokter literasi digital, penulis puluhan buku, dosen tetap FKIK Unismuh Makassar, kepala LP3AI ADPERTISI, pegiat FLP Makassar Sulawesi Selatan, Director networking IMA Chapter Makassar, pengurus APKKM, Dewan Pembina/Penasihat berbagai komunitas
Baca juga: Menkes Komitmen Berantas Kaki Gajah Hingga 2020
Baca juga: Kaki Gajah Penyakit Menahun
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019