Budayawan sekaligus pengamat seni Prof Dr I Wayan Dibia mempersembahkan buku biografi berjudul "Poedijono : Seniman Multitalenta Menjelajah Dunia" sebagai bentuk ucapan terima kasihnya kepada Sang Guru yang dianggap cukup berjasa membentuk karakternya dalam berkesenian.
Di sela-sela peluncuran buku biografi tersebut belum lama ini, Dibia menuturkan, jalinan antara guru dan murid antara dirinya dengan Poed sapaan akrab Poedijono, terjalin saat mengenyam pendidikan Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) Bali, di tahun 1965.
Selama mengenyam pendidikan di Kokar itu, Dibia memiliki banyak kesempatan belajar dan berinteraksi. "Dari interaksi itu, kami semakin akrab. Ini persembahan saya sebagai murid Beliau," ucapnya.
Bagi Dibia, Poed adalah sosok yang mengubah jalan hidupnya dalam berkesenian yang awalnya menggeluti bidang seni tabuh, lantas menjadi seorang seniman tari. Itu terjadi di tahun 1969 silam. Saat itu, ada pertunjukan yang awalnya diperankan oleh Made Bandem.
Lanjut Dibia, lima jam menjelang pementasan, tiba-tiba Pak Bandem mengalami sakit dan Dibia diminta untuk menggantikan. "Beliau (pak Poed) lah yang mengajar saya selama lima jam. Jadi, perubahan itu terjadi hanya dalam waktu lima jam karena setelah itu saya diminta mendalami seni tari," kenang Dibia.
Buku biografi untuk Sang Guru ditulis Dibia selama satu tahun sejak 2018 lalu. Selama menulis, Dibia banyak menemui hambatan, salah satunya penggalian informasi lantaran antara jarak keduanya yang berada di dua negara berbeda. Poedijono tinggal di Melbourne, Australia dan masih aktif mengajar di usianya yang kini menginjak 79 tahun.
Selain itu, untuk mengumpulkan artikel dan dokumen juga cukup menjadi kendala selama menjalani proses penulisan. "Jadi agak tersendat-sendat, tetapi dari itu saya bisa lebih memahami siapa Poedijono ini," ujarnya.
Poedijono, menurut Dibia, juga menorehkan satu warisan penting bagi seni Indonesia yakni ia yang membuat sendratari Ramayana warna Jawa dan Bali di tahun 1962. "Tiga tahun sebelum tarian Ramayana Bali karya I Wayan Beratha muncul, Pak Poed yang pertama menggarap Sendratari Ramayana, dimana tariannya bergaya Jawa dan iringan musiknya menggunakan gamelan Bali gong kebyar," ucap Dibia.
Dari warisan itu kata dia, ada unsur irisan sejarah yakni akulturasi budaya antara Jawa Bali yang sudah terjalin dari abad ke sembilan hingga saat keluarnya sendratari Ramayana Jawa Bali di tahun 1962 itu.
Menurut dia, sangat penting untuk diinformasikan secara luas kepada pembaca lewat buku yang dikemas dalam dua bahasa (Indonesia-Inggris) tersebut. "Ada irisan sejarah yang terlupakan, itu saya masukkan di buku ini, di samping juga jasa beliau untuk memperkenalkan kesenian Indonesia kepada negara luar yang sangat luar biasa seperti gamelan, tarian Jawa Bali, dan wayang kulit," ucapnya.
Ada cerita yang membuat Dibia terharu yang juga ditulis dalam buku ini, yakni bagaimana di usia senja sang guru masih mengabdikan hidupnya pada kesenian. Apalagi cerita tentang seniman kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah itu saat akan mementaskan wayang kulit di Melbourne, Australia.
Saat itu, kondisi lengannya mati rasa lantaran menderita salah satu penyakit. "Beliau ini meminta bantuan orang untuk membantu mengangkat tangannya untuk bisa memainkan wayang," tutur pria kelahiran 1948 silam ini.
Sementara itu, Poedijono yang juga hadir dalam peluncuran bukunya tersebut mengaku senang dan bangga, selama ia berkesenian mendapat apresiasi lewat buku dari Dibia.
Dia berharap lewat buku ini, bisa memberi inspirasi pembaca dan seniman muda untuk konsisten berada di jalur yang digeluti, dan mencintai warisan budaya asli Indonesia. "Semoga dari karya ini bisa memicu generasi muda terutama seniman untuk bisa terus melestarikan seni Indonesia," ucap suami dari Luh Merti.
Dalam peluncuran buku itu turut dihadiri pelaku, akademisi seni Bali, diantaranya Prof Made Bandem, Ida Pedanda Gede Putra Bajing (sulinggih dari Griya Tegal Jingga), Dr I Nyoman Catra, dan beberapa tokoh-tokoh penting lainnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
Di sela-sela peluncuran buku biografi tersebut belum lama ini, Dibia menuturkan, jalinan antara guru dan murid antara dirinya dengan Poed sapaan akrab Poedijono, terjalin saat mengenyam pendidikan Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) Bali, di tahun 1965.
Selama mengenyam pendidikan di Kokar itu, Dibia memiliki banyak kesempatan belajar dan berinteraksi. "Dari interaksi itu, kami semakin akrab. Ini persembahan saya sebagai murid Beliau," ucapnya.
Bagi Dibia, Poed adalah sosok yang mengubah jalan hidupnya dalam berkesenian yang awalnya menggeluti bidang seni tabuh, lantas menjadi seorang seniman tari. Itu terjadi di tahun 1969 silam. Saat itu, ada pertunjukan yang awalnya diperankan oleh Made Bandem.
Lanjut Dibia, lima jam menjelang pementasan, tiba-tiba Pak Bandem mengalami sakit dan Dibia diminta untuk menggantikan. "Beliau (pak Poed) lah yang mengajar saya selama lima jam. Jadi, perubahan itu terjadi hanya dalam waktu lima jam karena setelah itu saya diminta mendalami seni tari," kenang Dibia.
Buku biografi untuk Sang Guru ditulis Dibia selama satu tahun sejak 2018 lalu. Selama menulis, Dibia banyak menemui hambatan, salah satunya penggalian informasi lantaran antara jarak keduanya yang berada di dua negara berbeda. Poedijono tinggal di Melbourne, Australia dan masih aktif mengajar di usianya yang kini menginjak 79 tahun.
Selain itu, untuk mengumpulkan artikel dan dokumen juga cukup menjadi kendala selama menjalani proses penulisan. "Jadi agak tersendat-sendat, tetapi dari itu saya bisa lebih memahami siapa Poedijono ini," ujarnya.
Poedijono, menurut Dibia, juga menorehkan satu warisan penting bagi seni Indonesia yakni ia yang membuat sendratari Ramayana warna Jawa dan Bali di tahun 1962. "Tiga tahun sebelum tarian Ramayana Bali karya I Wayan Beratha muncul, Pak Poed yang pertama menggarap Sendratari Ramayana, dimana tariannya bergaya Jawa dan iringan musiknya menggunakan gamelan Bali gong kebyar," ucap Dibia.
Dari warisan itu kata dia, ada unsur irisan sejarah yakni akulturasi budaya antara Jawa Bali yang sudah terjalin dari abad ke sembilan hingga saat keluarnya sendratari Ramayana Jawa Bali di tahun 1962 itu.
Menurut dia, sangat penting untuk diinformasikan secara luas kepada pembaca lewat buku yang dikemas dalam dua bahasa (Indonesia-Inggris) tersebut. "Ada irisan sejarah yang terlupakan, itu saya masukkan di buku ini, di samping juga jasa beliau untuk memperkenalkan kesenian Indonesia kepada negara luar yang sangat luar biasa seperti gamelan, tarian Jawa Bali, dan wayang kulit," ucapnya.
Ada cerita yang membuat Dibia terharu yang juga ditulis dalam buku ini, yakni bagaimana di usia senja sang guru masih mengabdikan hidupnya pada kesenian. Apalagi cerita tentang seniman kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah itu saat akan mementaskan wayang kulit di Melbourne, Australia.
Saat itu, kondisi lengannya mati rasa lantaran menderita salah satu penyakit. "Beliau ini meminta bantuan orang untuk membantu mengangkat tangannya untuk bisa memainkan wayang," tutur pria kelahiran 1948 silam ini.
Sementara itu, Poedijono yang juga hadir dalam peluncuran bukunya tersebut mengaku senang dan bangga, selama ia berkesenian mendapat apresiasi lewat buku dari Dibia.
Dia berharap lewat buku ini, bisa memberi inspirasi pembaca dan seniman muda untuk konsisten berada di jalur yang digeluti, dan mencintai warisan budaya asli Indonesia. "Semoga dari karya ini bisa memicu generasi muda terutama seniman untuk bisa terus melestarikan seni Indonesia," ucap suami dari Luh Merti.
Dalam peluncuran buku itu turut dihadiri pelaku, akademisi seni Bali, diantaranya Prof Made Bandem, Ida Pedanda Gede Putra Bajing (sulinggih dari Griya Tegal Jingga), Dr I Nyoman Catra, dan beberapa tokoh-tokoh penting lainnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019