Denpasar (Antaranews Bali) - Jajaran UPTD Museum Bali bersama para ahli melakukan kajian dan penelitian koleksi "Tika" atau catatan penanggalan berupa simbol-simbol yang diukir di atas kayu mengenai "padewasan" atau hari baik pelaksanaan ritual kegamaan.
"Banyak masyarakat kita yang belum tahu apa itu Tika, oleh karena itu kami memutuskan tahun ini melakukan penelitian tentang Tika ini," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Museum Bali I Wayan Andra Septawan dalam acara diskusi bersama tim pengkaji, di Denpasar, Selasa.
Pihaknya mengharapkan dari hasil penelitian dan pengkajian tersebut kemudian dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Bali secara umum. "Lewat hasil diskusi kali ini menjadi petunjuk awal terkait upaya pengkajian tersebut," ucap Andra.
Kepala Seksi Koleksi dan Konservasi UPTD Museum Bali I Putu Sedana menambahkan, dari total 14.542 koleksi Museum Bali, untuk koleksi "Tika" sendiri ada tujuh buah.
"Museum Bali merupakan salah satu museum yang tergolong tua, yang diresmikan pada 8 Desember 1932. Sesuai dengan amanat PP No 66 Tahun 2015 tentang Museum, maka keberadaan koleksi museum harus teregistrasi dengan baik sehingga koleksi tersebut merupakan data yang sah keberadaannya sebagai koleksi museum," ucapnya.
Persoalannya, lanjut Sedana, banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang Tika dan belum tersedia pula tulisan-tulisan yang membahas keberadaan Tika, serta tidak diketahuinya fungsi dan simbol-simbol yang terkandung dalam Tika.
"Dengan pengkajian Tika ini, kami harapkan nantinya akan menjadi sumber informasi bagi masyarakat. Apalagi setelah disusun dalam bentuk buku yang disebarkan ke kabupaten/kota se-Bali, maka makin banyak yang masyarakat yang mengetahuinya.
Lewat pengkajian dan penelitian Tika, menurut Sedana, sekaligus sebagai salah satu upaya agar kebudayaan Bali tidak mudah tercerabut atau tergerus di tengah era globalisasi yang telah masuk dalam berbagai sektor kehidupan manusia.
"Sebelum ada kalender seperti saat ini, dulu para sulinggih (pendeta Hindu) menentukan hari baik untuk melaksanakan ritual upacara dengan Tika ini," ucapnya.
Tim pengkaji dan peneliti "Tika" tersebut terdiri dari unsur sulinggih dan akademisi yang memang merupakan praktisi wariga yakni Ida Pedanda Putra Tembau, Ida Pedanda Wayahan Tianyar, Ida Pedanda Putra Bajing, Ida Bagus Kade Suarioka (dosen Fakultas Ilmu Agama Unhi Denpasar), I Gede Maryana, I Gusti Ngurah Tara Wiguna (dosen arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Unud).
Sementara itu Ida Pedanda Putra Tembau dan Ida Pedanda Putra Bajing menyambut baik langkah penelitian dan pengkajian Tika tersebut, di tengah era globalisasi yang tidak bisa dihindari ini.
Menurut Ida Pedanda, meskipun sama-sama disebut Tika, penuangan kode-kode atau simbol dalam Tika cenderung berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya di Bali. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Banyak masyarakat kita yang belum tahu apa itu Tika, oleh karena itu kami memutuskan tahun ini melakukan penelitian tentang Tika ini," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Museum Bali I Wayan Andra Septawan dalam acara diskusi bersama tim pengkaji, di Denpasar, Selasa.
Pihaknya mengharapkan dari hasil penelitian dan pengkajian tersebut kemudian dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Bali secara umum. "Lewat hasil diskusi kali ini menjadi petunjuk awal terkait upaya pengkajian tersebut," ucap Andra.
Kepala Seksi Koleksi dan Konservasi UPTD Museum Bali I Putu Sedana menambahkan, dari total 14.542 koleksi Museum Bali, untuk koleksi "Tika" sendiri ada tujuh buah.
"Museum Bali merupakan salah satu museum yang tergolong tua, yang diresmikan pada 8 Desember 1932. Sesuai dengan amanat PP No 66 Tahun 2015 tentang Museum, maka keberadaan koleksi museum harus teregistrasi dengan baik sehingga koleksi tersebut merupakan data yang sah keberadaannya sebagai koleksi museum," ucapnya.
Persoalannya, lanjut Sedana, banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang Tika dan belum tersedia pula tulisan-tulisan yang membahas keberadaan Tika, serta tidak diketahuinya fungsi dan simbol-simbol yang terkandung dalam Tika.
"Dengan pengkajian Tika ini, kami harapkan nantinya akan menjadi sumber informasi bagi masyarakat. Apalagi setelah disusun dalam bentuk buku yang disebarkan ke kabupaten/kota se-Bali, maka makin banyak yang masyarakat yang mengetahuinya.
Lewat pengkajian dan penelitian Tika, menurut Sedana, sekaligus sebagai salah satu upaya agar kebudayaan Bali tidak mudah tercerabut atau tergerus di tengah era globalisasi yang telah masuk dalam berbagai sektor kehidupan manusia.
"Sebelum ada kalender seperti saat ini, dulu para sulinggih (pendeta Hindu) menentukan hari baik untuk melaksanakan ritual upacara dengan Tika ini," ucapnya.
Tim pengkaji dan peneliti "Tika" tersebut terdiri dari unsur sulinggih dan akademisi yang memang merupakan praktisi wariga yakni Ida Pedanda Putra Tembau, Ida Pedanda Wayahan Tianyar, Ida Pedanda Putra Bajing, Ida Bagus Kade Suarioka (dosen Fakultas Ilmu Agama Unhi Denpasar), I Gede Maryana, I Gusti Ngurah Tara Wiguna (dosen arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Unud).
Sementara itu Ida Pedanda Putra Tembau dan Ida Pedanda Putra Bajing menyambut baik langkah penelitian dan pengkajian Tika tersebut, di tengah era globalisasi yang tidak bisa dihindari ini.
Menurut Ida Pedanda, meskipun sama-sama disebut Tika, penuangan kode-kode atau simbol dalam Tika cenderung berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya di Bali. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019