Denpasar (Antara Bali) - Pengamat politik dari Universitas Warmadewa Denpasar Dr AA Gde Oka Wisnumurti MSi menilai, kondisi perpolitikan Indonesia saat ini telah mulai tercerabut dari akar budaya yang ada.
"Hal itu ditandai semakin maraknya tindakan pragmatis yang dilakukan oleh para politisi," kata AA Gde Oka Wisnumurti di Denpasar, Kamis.
Akibatnya, kata dia, mereka bisa menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. Mereka merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara tidak santun.
Ia mengatakan, kondisi tersebut disebabkan berawal dari ketidaksiapan, baik personal maupun institusi politik saat terjun ke bidang ini menghadapi euforia demokrasi. Iklim demokrasi lantas dipandang dapat berbuat sebebas-bebasnya.
"Demokrasi harusnya disiapkan. Baik itu partai politik, birokrasi, dewan, akademisi dan budayawan harusnya bersinergi. Hal ini untuk meminimalisasi lahirnya aktor-aktor politik yang berpikiran praktis," ujar mantan Ketua KPU Bali ini.
Jika budaya sudah mewarnai proses politik atau istilahnya politik yang berkebudayaan tentunya tokoh-tokoh politik dapat lebih peduli dan berpihak kepada rakyat.
"Mereka akan menyanyangi rakyat dan dapat memperhatikan rakyat yang menderita dan terpinggirkan," ucapnya.
Terjun ke politik, lanjut dia, bukan lagi didorong karena ingin mendapatkan keuntungan material tetapi murni dengan niat tulus menyuarakan aspirasi masyarakat untuk kemudian direalisasikan.
"Rasa kemanusiaan inilah yang seharusnya diasah ketika berbicara politik," kata Wisnumurti.
Dengan politik yang berlandaskan budaya, Wisnumurti menambahkan, juga nantinya akan terbangun kondisi perpolitikan yang santun dan berkarakter.
"Politik akan memiliki rohnya, karena sesungguhnya roh politik itu ada pada kebudayaan," ucap doktor kajian budaya ini.
Di sisi lain, kata dia, berbagai kritik tentang parpol dan komponennya juga penting untuk membangun kesadaran mereka akan peran dan tanggung jawab yang diemban.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Hal itu ditandai semakin maraknya tindakan pragmatis yang dilakukan oleh para politisi," kata AA Gde Oka Wisnumurti di Denpasar, Kamis.
Akibatnya, kata dia, mereka bisa menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. Mereka merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara tidak santun.
Ia mengatakan, kondisi tersebut disebabkan berawal dari ketidaksiapan, baik personal maupun institusi politik saat terjun ke bidang ini menghadapi euforia demokrasi. Iklim demokrasi lantas dipandang dapat berbuat sebebas-bebasnya.
"Demokrasi harusnya disiapkan. Baik itu partai politik, birokrasi, dewan, akademisi dan budayawan harusnya bersinergi. Hal ini untuk meminimalisasi lahirnya aktor-aktor politik yang berpikiran praktis," ujar mantan Ketua KPU Bali ini.
Jika budaya sudah mewarnai proses politik atau istilahnya politik yang berkebudayaan tentunya tokoh-tokoh politik dapat lebih peduli dan berpihak kepada rakyat.
"Mereka akan menyanyangi rakyat dan dapat memperhatikan rakyat yang menderita dan terpinggirkan," ucapnya.
Terjun ke politik, lanjut dia, bukan lagi didorong karena ingin mendapatkan keuntungan material tetapi murni dengan niat tulus menyuarakan aspirasi masyarakat untuk kemudian direalisasikan.
"Rasa kemanusiaan inilah yang seharusnya diasah ketika berbicara politik," kata Wisnumurti.
Dengan politik yang berlandaskan budaya, Wisnumurti menambahkan, juga nantinya akan terbangun kondisi perpolitikan yang santun dan berkarakter.
"Politik akan memiliki rohnya, karena sesungguhnya roh politik itu ada pada kebudayaan," ucap doktor kajian budaya ini.
Di sisi lain, kata dia, berbagai kritik tentang parpol dan komponennya juga penting untuk membangun kesadaran mereka akan peran dan tanggung jawab yang diemban.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011