"Di tengah maraknya banjir informasi yang memunculkan hoaks dan ujaran kebencian, media arus utama harus bisa menjadi rumah penjernih sebagai tempat orang untuk bisa menemukan berita yang benar sesuai fakta. Media harus bisa menjadi bahan rujukan bagi masyarakat untuk mengecek kebenaran informasi yang mereka dapatkan," ujar Yosep di Jakarta, Rabu.
Untuk itu, lanjut dia, dunia pers tidak boleh ikut terjebak dalam penyebaran informasi berita yang bersumber dari medsos yang belum terverifikasi kebenaran faktanya.
Diakuinya, saat ini dunia pers atau media arus utama mulai kurang diminati masyarakat sebagai sumber informasi karena beberapa faktor penyebab.
Pertama, banyak pemilik media menjadi ketua ataupun pimpinan partai atau berafiliasi pada partai tertentu sehingga menjadikan media tersebut sebagai boncengan politik.
Kedua, ada pergeseran pembaca dari bahan cetakan hanya sisa dari Generasi Baby Boomers dan sebagian Generasi X. Generasi Y dan Generasi Z sudah tidak lagi membaca koran atau majalah, bahkan juga tidak menonton televisi.
"Mereka adalah kelompok milenial yang notabene adalah digital native yang mendapatkan informasi dari gadget yang ada dalam genggaman, berkomunikasi menggunakan medsos dan menonton hiburan, film dari Youtube, Netflix, dan lain-lain," kata pria yang akrab disapa Stanley ini.
Faktor penyebab lainnya adalah industri media mengalami kegamangan dan kehilangan sumber-sumber peliputan. Hal ini disebabkan para pejabat ataupun tokoh yang selama ini menjadi sumber informnasi berita juga lebih suka membuat vlog dan swafoto yang tentunya bisa langsung dikomunikasikan ke masyarakat melalui medsos.
"Para pejabat sekarang ini sudah tidak lagi berbicara dengan para pemimpin redaksi dan wartawan senior. Karena itulah, wartawan kemudian membuat berita dari pernyataan pejabat ataupun tokoh yang telah diunggah di medsos," ujarnya.
Bahkan yang agak dia sayangkan, saat ini wartawan generasi muda memang lebih memilih cara mudah untuk membuat berita, yakni cukup mengambil dari medsos tanpa merasa perlu untuk turun ke lapangan.
"Padahal turun ke lapangan itu masih sangat penting untuk dapat melihat langsung peristiwa ataupun kejadian secara riil demi keakuratan dari berita tersebut. Ini yang terjadi dan pernah menjadi bahan penelitian Universitas Paramadina bekerja sama dengan Maverick," katanya.
Untuk itu, pria yang pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM ini berharap agar dunia pers bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat sebagai sumber berita yang tepercaya seperti sebelum ada medsos.
"Caranya dengan mengembalikan fungsi pers yang fokus pada kepentingan publik. Bisa membuat berita secara profesional, taat kepada Kode Etik Jurnalistik, tidak menggunakan bahan informasi yang ada di medsos menjadi berita kecuali memang ada kepentingan publik dan itu pun harus melalui proses verifikasi, klarifikasi, dan konfirmasi," ujarnya.
Ia juga berharap pers tidak ikut terbawa arus dalam pemberitaan yang viral melalui medsos yang belum tentu benar pemberitaannya.
"Pers harus memegang teguh dan melaksanakan Kode Etik Jurnalistik, disiplin melakukan verifikasi terhadap setiap informasi dan tak tergoda untuk memburu isu yang viral di medsos," kata pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini.
Baca juga: Mafindo ajak bersihkan medsos dari hoaks dan ujaran kebencian
Baca juga: Kemenkominfo minta masyarakat laporkan akun medsos penyebar kebencian
(AL)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019