Denpasar (Antaranews Bali) - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengharapkan tahapan Pemilu 2019 jangan sampai mengorbankan kekayaan bangsa berupa kerukunan dalam keragaman agama, suku, budaya, bahasa dan adat istiadat.
"Pesan ini penting saya sampaikan karena jangan sampai demi tahun politik kita mengorbankan kekayaan bangsa tersebut," kata Lukman Hakim saat menyampaikan sambutan pada perayaan Puncak Gita Jayanti Nasional 2018, di kampus Institut Seni Indonesia Denpasar, Sabtu malam.
Dia tidak memungkiri bahwa dalam menghadapi Pemilu 2019 yang akan memilih presiden dan anggota legislatif secara serentak, suasana keberagaman dan toleransi warga bangsa itu sedang dan akan terus diuji.
"Dalam pandangan saya, meskipun Indonesia sangat majemuk, namun sebagai bangsa yang berbingkai NKRI, pilar-pilar penyangganya tetap harus dijaga keutuhannya. Rumah besar ini harus membuat kita semua yang berada di dalamnya selalu bersyukur sebagai bangsa Indonesia," ujarnya.
Melalui perayaan Gita Jayanti, lanjut dia, sesungguhnya wujud nyata umat Hindu bersama-sama dengan umat lainnya untuk terus terlibat aktif menjadikan keberagaman sebagai anugerah, berkah, yang dalam sejarah berabad-abad lamanya memberi napas dan jiwa pada perjalanan bangsa hingga saat ini.
Gita Jayanti merupakan hari diwahyukannya kitab suci Bhagavad-gita. Gita Jayanti tepatnya jatuh pada hari ke-11 saat Shukla Paksha (bulan mati menuju purnama) pada bulan Margashirsh yang juga merupakan hari Ekadasi. Pada tahun ini, Gita Jayanti jatuh tepatnya pada 19 Desember 2018.
"Jadi, bagaimana kita menegakkan pilar-pilar kerukunan yang teraktualisasikan dalam ragam bentuk dan rupa, termasuk bagaimana bisa hidup berdampingan dengan orang yang berbeda iman adalah pengejawantahan dari Bhinneka Tunggal Ika," ucap Lukman Hakim.
Oleh karena itu, dia pun mengajak melalui perayaan Gita Jayanti Nasional sebagai cara mempraktikkan konsep dharmaning agama dan dharmaning negara, yakni menjalankan kewajiban agama dan negara sekaligus.
"Kami juga senantiasa menyosialisasikan kesadaran bahwa beragama itu dalam konteks Indonesia adalah ber-Indonesia, sebagaimana ber-Indonesia itu adalah beragama," kata Lukman.
Menurut dia, dalam konteks Indonesia yang dikenal sangat religius, bangsa yang tidak bisa memisahkan diri dalam aktivitas kegiatan keseharian dengan nilai-nilai aktivitas agama, maka sesungguhnya ketika kita beragama, ketika sedang mengamalkan ajaran agama, sesungguhnya secara langsung maupun tidak langsung kita sedang ber-Indonesia, karena Indonesia dikenal sebagai banga yang agamais.
"Pun sebaliknya ketika kita sebagai warga negara Indonesia, ketika kita sedang menjalankan kewajiban-kewajiban kita sebagai warga negara yang baik, sesungguhnya itulah manifestasi, itulah pengejawantahan, itulah aktualisasi diri bahwa kita sedang menjalankan ajaran agama," ujarnya pada acara yang juga dihadiri Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati itu dan ribuan umat Hindu tersebut.
Sementara itu, Ketua Perkumpulan International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) Indonesia Nengah Wijana mengatakan tema yang diangkat dalam Gita Jayanti Nasional 2018 sesungguhnya untuk mengingatkan kita kembali bahwa kita semua bersaudara dan harus hidup berdampingan dan saling mencintai. "Kami berharap dari kegiatan ini bisa memberi sumbangsih bagi kejayaan NKRI," ujarnya.
Selain itu, menurut Wijana, musuh bersama yang dihadapi masyarakat saat ini sesungguhnya adalah kegelapan, ketidaktahuan dan kebodohan. "Masalah kita bukan karena disebabkan oleh suku, agama, ras ataupun peradaban lain. Masalah kita kebodohan," ucapnya.
Oleh karena itu, serangkaian Gita Jayanti 2018, pihaknya juga berusaha memberi kontribusi kepada masyarakat dengan telah mendistribusikan sekitar 15 ribu kitab suci Bhagavad-gita kepada masyarakat sehingga dapat diambil esensi nilai-nilai kehidupan yang sangat penting.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Pesan ini penting saya sampaikan karena jangan sampai demi tahun politik kita mengorbankan kekayaan bangsa tersebut," kata Lukman Hakim saat menyampaikan sambutan pada perayaan Puncak Gita Jayanti Nasional 2018, di kampus Institut Seni Indonesia Denpasar, Sabtu malam.
Dia tidak memungkiri bahwa dalam menghadapi Pemilu 2019 yang akan memilih presiden dan anggota legislatif secara serentak, suasana keberagaman dan toleransi warga bangsa itu sedang dan akan terus diuji.
"Dalam pandangan saya, meskipun Indonesia sangat majemuk, namun sebagai bangsa yang berbingkai NKRI, pilar-pilar penyangganya tetap harus dijaga keutuhannya. Rumah besar ini harus membuat kita semua yang berada di dalamnya selalu bersyukur sebagai bangsa Indonesia," ujarnya.
Melalui perayaan Gita Jayanti, lanjut dia, sesungguhnya wujud nyata umat Hindu bersama-sama dengan umat lainnya untuk terus terlibat aktif menjadikan keberagaman sebagai anugerah, berkah, yang dalam sejarah berabad-abad lamanya memberi napas dan jiwa pada perjalanan bangsa hingga saat ini.
Gita Jayanti merupakan hari diwahyukannya kitab suci Bhagavad-gita. Gita Jayanti tepatnya jatuh pada hari ke-11 saat Shukla Paksha (bulan mati menuju purnama) pada bulan Margashirsh yang juga merupakan hari Ekadasi. Pada tahun ini, Gita Jayanti jatuh tepatnya pada 19 Desember 2018.
"Jadi, bagaimana kita menegakkan pilar-pilar kerukunan yang teraktualisasikan dalam ragam bentuk dan rupa, termasuk bagaimana bisa hidup berdampingan dengan orang yang berbeda iman adalah pengejawantahan dari Bhinneka Tunggal Ika," ucap Lukman Hakim.
Oleh karena itu, dia pun mengajak melalui perayaan Gita Jayanti Nasional sebagai cara mempraktikkan konsep dharmaning agama dan dharmaning negara, yakni menjalankan kewajiban agama dan negara sekaligus.
"Kami juga senantiasa menyosialisasikan kesadaran bahwa beragama itu dalam konteks Indonesia adalah ber-Indonesia, sebagaimana ber-Indonesia itu adalah beragama," kata Lukman.
Menurut dia, dalam konteks Indonesia yang dikenal sangat religius, bangsa yang tidak bisa memisahkan diri dalam aktivitas kegiatan keseharian dengan nilai-nilai aktivitas agama, maka sesungguhnya ketika kita beragama, ketika sedang mengamalkan ajaran agama, sesungguhnya secara langsung maupun tidak langsung kita sedang ber-Indonesia, karena Indonesia dikenal sebagai banga yang agamais.
"Pun sebaliknya ketika kita sebagai warga negara Indonesia, ketika kita sedang menjalankan kewajiban-kewajiban kita sebagai warga negara yang baik, sesungguhnya itulah manifestasi, itulah pengejawantahan, itulah aktualisasi diri bahwa kita sedang menjalankan ajaran agama," ujarnya pada acara yang juga dihadiri Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati itu dan ribuan umat Hindu tersebut.
Sementara itu, Ketua Perkumpulan International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) Indonesia Nengah Wijana mengatakan tema yang diangkat dalam Gita Jayanti Nasional 2018 sesungguhnya untuk mengingatkan kita kembali bahwa kita semua bersaudara dan harus hidup berdampingan dan saling mencintai. "Kami berharap dari kegiatan ini bisa memberi sumbangsih bagi kejayaan NKRI," ujarnya.
Selain itu, menurut Wijana, musuh bersama yang dihadapi masyarakat saat ini sesungguhnya adalah kegelapan, ketidaktahuan dan kebodohan. "Masalah kita bukan karena disebabkan oleh suku, agama, ras ataupun peradaban lain. Masalah kita kebodohan," ucapnya.
Oleh karena itu, serangkaian Gita Jayanti 2018, pihaknya juga berusaha memberi kontribusi kepada masyarakat dengan telah mendistribusikan sekitar 15 ribu kitab suci Bhagavad-gita kepada masyarakat sehingga dapat diambil esensi nilai-nilai kehidupan yang sangat penting.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018