Denpasar, (Antaranews Bali) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, menghukum terdakwa Raden Kande Lucky (43) selama 30 bulan kurungan, karena terbukti melakukan penggelapan uang Rp1,02 miliar milik Yayasan Perguruan Kristen Harapan di Bali.

"Perbuatan terdakwa bersalah menguasai barang berupa uang tunai milik yayasan yang digunakan untuk membeli sebidang tanah dan melanggar Pasal 372 jounto Pasal 64 Ayat 1 KUHP," kata Ketua Majelis Hakim Gde Ginarsa di Denpasar, Senin.

Vonis hakim kepada terdakwa itu, lebih ringan dari tuntutan Jaksa penuntut umum (JPU) I Dewa Gede Anom Rai yang dalam sidang sebelumnya menuntut terdakwa selama 46 bulan kurungan penjara.

Mendengar putusan hakim itu, terdakwa yang didampingi penasehat hukumnya menyatakan pikir-pikir. Sedangkan, jaksa penuntut umum juga menyatakan pikir-pikir atas putusan hakim.

Perbuatan penggelapan uang milik Yayasan Perguruan Kristen Harapan dilakukan terdakwa sejak 23 Maret 2016 hingga 13 Juni 2016 dengan cara mengelabuhi pihak yayasan yang akan mencari dan membeli sebidang tanah melalui perantara terdakwa.

Pihak yayasan percaya dengan terdakwa karena memiliki banyak informasi lokasi tanah yang dijual, sehingga pada 7 Maret 2016 terdakwa menyampaikan kepada pihak yayasan bahwa ada tanah di Desa Baluk Negara milik saksi I Wayan Susrama akan dijual per 100 meter persegi (satu are) sebesar Rp21 juta, dimana luas tanahnya mencapai 58 are.

Korban (pihak yayasan) yang percaya dengan bujuk rayu terdakwa, menyetujui pembelian tanah itu dan menyerahkan uang tanda jadi kepada terdakwa sebesar Rp75 juta. Namun, berselang beberapa hari kemudian, terdakwa mengatakan kepada pihak yayasan tanah milik I Wayan Susrama tidak jadi dijual.

Kemudian, korban meminta uangnya dikembalikan, namun terdakwa meyakinkan pihak yayasan bahwa terdakwa akan mencarikan lokasi tanah lain di Kabupaten Jembrana.

Terdakwa mengatakan kepada pihak yayasan ada lokasi tanah di Desa Banyubiru, Kabupaten Jembrana, seluas 66 are (6600 meter persegi) milik Kornelius Natalino Johan, dijual per 100 meter perseginya dengan harga Rp21 juta.

Namun, singkat cerita ditengah perjalanan terdakwa meminta Kornelius Natalino Johan agar menitipkan sertifikat tanahnya di notaris dengan membuat perjanjian yang diketahui pihak yayasan. Isi perjanjian itu, jika terdakwa selama empat bulan (24 Maret 2016 hingga 24 Juni 2016) tidak melunasi cicilan secara bertahap harga tanah sebesar Rp1,16 miliar, maka perjanjian batal demi hukum dan uang pembayaran tahap pertama sebesar 50 persen menjadi hangus.

Kemudian, terdakwa meminta pihak yayasan segera mentrasnfer uang 50 persen dari harga tanah (Rp684 juta) ke nomor rekening terdakwa dengan alasan untuk menebus SHM milik Kornelius Natalino Johan yang masih ada di notaris dan agar cepat bisa dibuatkan akta jual beli atas nama yayasan.

Namun, faktanya terdakwa justru mengelabuhi pihak yayasan, setelah uang itu ditransfer sebesar Rp684 juta, justru terdakwa menyepakati harga tanah kepada Kornelius Natalino Johan (pemilik tanah) dengan harga Rp17,5 juta per arenya, sehingga uang muka yang diberikan pihak yayasan kepada terdakwa Rp684 juta hanya diberikan kepada pemilik tanah sebesar Rp577,5 juta uang kemudin ditransfer melalui rekening Korbelius.

Selanjutnya, pihak yayasan yang tidak mengetahui telah ditipu secara bertahap mentrasnfer uang kepada terdakwa pada 9 Mei 2016 sebesar Rp35 juta, mentrasnfer pada 23 Mei 2016 sebesar 26 juta, mentrasnfer pada 1 Juni 2016 sebesar Rp90 juta dan mentrasnfer pada 13 Juni 2016 sebesar Rp110 juta sehingga totalnya mencapai Rp1,02 miliar.

Justru hangus sekita, karena sampai 13 Juni 2016 terdakwa belum membuat administrasi jual beli tanah berupa akta jual beli antara pihak yayasan dengan pemilik tanah Kornelius Natalino Johan. Karena merasa ditipu, pihak yayasan melaporkan kejadian itu kepada polisi.

Pewarta: I Made Surya Wirantara Putra

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018