Denpasar (Antaranews Bali) - Jajaran eksekutif dan legislatif Provinsi Bali segera menggelar rapat koordinasi dengan menghadirkan sejumlah pihak terkait menanggapi dugaan pariwisata setempat yang dijual murah di Negeri Tirai Bambu.
"Tadi sudah sepakat kami dengan Dewan, kebetulan Komisi II yang menangani sedang di luar, segera mudah-mudahan tidak lebih tanggal 30 ini akan berkoordinasi apa langkah selanjutnya," kata Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) usai menghadiri Sidang Paripurna DPRD Bali, di Denpasar, Senin.
Cok Ace saat "blusukan" ke sejumlah toko yang diduga milik investor dari Tiongkok di kawasan Benoa, Denpasar, dan ditengarai menjadi tempat wisatawan dari Tiongkok yang "dipaksa" berbelanja saat berwisata ke Bali, belum lama ini telah melihat secara langsung ada tenaga kerja asing yang dipekerjakan di sana.
"Walaupun dibantah tidak ada tenaga asing, tetapi kami melihat sendiri ada tenaga asing di sana. Produk yang dijual dari China juga memang begitu adanya. Jadi, sekarang selanjutnya langkah kami adalah berkoordinasi yang menyangkut ketenagakerjaan, masalah izin-izin barang yang dijual dan sebagainya," ucapnya yang juga Ketua PHRI Bali itu.
Cok Ace mempertanyakan, mengapa mereka di Bali menjual produk-produk China dan juga ditawarkan kembali kepada wisatawan dari Negeri Tirai Bambu, padahal seharusnya dapat mengutamakan menjual produk lokal Bali.
Di sisi lain, tokoh Puri Ubud itu tidak memungkiri masih adanya kasus paket wisata murah karena dinilai pengawasan yang masih kurang, di tengah suplai akomodasi wisata yang berlebih.
"Demikian pula berkembang jenis akomodasi hostel yang disewakan per dipan (tempat tidur). Bayangkan satu kamar enam dipan dijual Rp50 ribu per dipan, 'kan dapat Rp300 ribu. Ini juga ada dampak sosialnya, bagaimana rumah di Bali ada tiga pasang wisatawan masuk dalam satu kamar, mereka tidur sebagai suami istri, secara etika kurang pas," ujar Cok Ace.
Terkait dengan harga minim yang ditawarkan penyedia akomodasi wisata, menurut dia, pemerintah tidak berwenang untuk mengaturnya. Untuk itu diserahkan ke asosiasi karena harga murah terkait dengan pelayanan yang diberikan kepada wisatawan.
"Sebelumnya kami dari PHRI sebenarnya ingin mendapatkan bottom line harga hotel dan sebagainya, tetapi aturan tidak memperbolehkan. Karena masalah harga murah, bahkan gratis pun itu kewenangan industri, dan kami tidak boleh ikut campur," katanya.
Sementara itu, Ketua DPRD Provinsi Bali Nyoman Adi Wiryatama mengatakan memang pihaknya mengagendakan pertemuan atau rapat khusus guna membahas isu wisata murah yang dijual ke wisatawan Tiongkok.
"Yang terkait akan kami undang, baik dari kepolisian juga, sehingga nanti persoalan ini menjadi tuntas," ujarnya.
Politisi dari PDI Perjuangan itu mengatakan permasalahan ini harus segera diselesaikan karena sektor pariwisata itu sangat sensitif.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Tadi sudah sepakat kami dengan Dewan, kebetulan Komisi II yang menangani sedang di luar, segera mudah-mudahan tidak lebih tanggal 30 ini akan berkoordinasi apa langkah selanjutnya," kata Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) usai menghadiri Sidang Paripurna DPRD Bali, di Denpasar, Senin.
Cok Ace saat "blusukan" ke sejumlah toko yang diduga milik investor dari Tiongkok di kawasan Benoa, Denpasar, dan ditengarai menjadi tempat wisatawan dari Tiongkok yang "dipaksa" berbelanja saat berwisata ke Bali, belum lama ini telah melihat secara langsung ada tenaga kerja asing yang dipekerjakan di sana.
"Walaupun dibantah tidak ada tenaga asing, tetapi kami melihat sendiri ada tenaga asing di sana. Produk yang dijual dari China juga memang begitu adanya. Jadi, sekarang selanjutnya langkah kami adalah berkoordinasi yang menyangkut ketenagakerjaan, masalah izin-izin barang yang dijual dan sebagainya," ucapnya yang juga Ketua PHRI Bali itu.
Cok Ace mempertanyakan, mengapa mereka di Bali menjual produk-produk China dan juga ditawarkan kembali kepada wisatawan dari Negeri Tirai Bambu, padahal seharusnya dapat mengutamakan menjual produk lokal Bali.
Di sisi lain, tokoh Puri Ubud itu tidak memungkiri masih adanya kasus paket wisata murah karena dinilai pengawasan yang masih kurang, di tengah suplai akomodasi wisata yang berlebih.
"Demikian pula berkembang jenis akomodasi hostel yang disewakan per dipan (tempat tidur). Bayangkan satu kamar enam dipan dijual Rp50 ribu per dipan, 'kan dapat Rp300 ribu. Ini juga ada dampak sosialnya, bagaimana rumah di Bali ada tiga pasang wisatawan masuk dalam satu kamar, mereka tidur sebagai suami istri, secara etika kurang pas," ujar Cok Ace.
Terkait dengan harga minim yang ditawarkan penyedia akomodasi wisata, menurut dia, pemerintah tidak berwenang untuk mengaturnya. Untuk itu diserahkan ke asosiasi karena harga murah terkait dengan pelayanan yang diberikan kepada wisatawan.
"Sebelumnya kami dari PHRI sebenarnya ingin mendapatkan bottom line harga hotel dan sebagainya, tetapi aturan tidak memperbolehkan. Karena masalah harga murah, bahkan gratis pun itu kewenangan industri, dan kami tidak boleh ikut campur," katanya.
Sementara itu, Ketua DPRD Provinsi Bali Nyoman Adi Wiryatama mengatakan memang pihaknya mengagendakan pertemuan atau rapat khusus guna membahas isu wisata murah yang dijual ke wisatawan Tiongkok.
"Yang terkait akan kami undang, baik dari kepolisian juga, sehingga nanti persoalan ini menjadi tuntas," ujarnya.
Politisi dari PDI Perjuangan itu mengatakan permasalahan ini harus segera diselesaikan karena sektor pariwisata itu sangat sensitif.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018