Jakarta (ANTARA News) - Pakar komunikasi publik Bagus Sudarmanto mengatakan kasus yang menimpa pembawa acara (presenter) Augie Fantinus baru-baru ini menjadi pelajaran bagi semua pengguna media sosial, terutama anak muda.

"Menurut saya ini harus menjadi pelajaran bagi semua, terutama anak-anak muda, karena anak-anak muda itu relatif rata-rata lebih emosional, lebih agresif," kata Bagus kepada Antara ditemui setelah seminar "Cerdas Ber-Media Sosial" di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jakarta, Rabu.

Bagus menyebut media sosial seperti hutan belantara yang penuh ancaman dan jebakan. "Kalau tidak bijak, tidak pandai membangun diri, tidak bisa mengontrol diri sendiri, maka akan tersesat," ujar Bagus.

"Ketika tersesat, kemudian bereaksi dengan posting dan mengomentari, membuat dan menyebarkan konten negatif ya risikonya seperti yang dialami dia (Augie) sekarang," sambung Bagus.

Augie Fantinus mengunggah video dugaan penjualan tiket Penutupan Asian Para Games 2018 secara ilegal oleh petugas kepolisian, sedangkan polisi mengklaim aksi petugasnya tersebut adalah untuk mengembalikan tiket yang tidak digunakan menyaksikan Penutupan Asian Para Games tersebut.

Unggahan Augie tersebut berujung pada penahanan terhadap dirinya oleh Polda Metro Jaya atas dugaan penyebaran informasi bohong atau hoaks yang mencoreng citra kepolisian.

Menurut Bagus, kasus yang dialami Augie adalah contoh dari Post-Truth Society di mana kebenaran fakta objektif kalah oleh kebenaran berdasar emosi.

Bagus melihat bahwa saat ini masyarakat cenderung mendahulukan emosi dalam mengunggah atau membagikan informasi di media sosial, sebelum berpikir kebenaran atas informasi tersebut.

Sementara itu, orang yang ikut menyebarkan informasi yang belum diketahui kebenarannya itu, menurut Bagus, juga berpotensi terjerat UU ITE. "Biasanya kemudian bisa berstatus saksi, membuktikan konten dia dapat dari siapa pada akhirnya KUHP dia telah turut serta," ujar Bagus.

"Pelajari itu semua (aturan UU ITE) sebelum menyesal," tambah dia


Kenali UU ITE
Dalam seminar "Cerdas Ber-Media Sosial" itu, Plt. Direktur Pemberdayaan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Slamet Santoso menegaskan bahwa penyebaran informasi yang belum terverifikasi kebenarannya memang bisa ditemukan di media sosial, sehingga diperlukan etika dalam bermedia sosial.

Agar tidak tersandung masalah hukum, beberapa etika dalam bermedia sosial disampaikan Plt Direktur Pemberdayaan Informatika Kemkominfo Slamet Santoso, yakni:.

1. Kenali aturannya

Sebelum bermedia sosial, Slamet mengimbau pengguna untuk mengetahui aturan yang berlaku, dalam hal ini Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.

"Ada lima pasal yang mengatur etika bermedia sosial, pasal 27 sampai 30 UU ITE," ujar Slamet.

2. Pahami batas usia pengguna media sosial

Sejumlah media sosial sebenarnya telah menetapkan batasan minimal untuk pengguna, misalnya 13 tahun untuk Facebook dan Instagram, sementara Twitter menetapkan usia minmal pengguna adalah 15 tahun.

"Barangkali punya adik yang usianya belum mencukupi, kasih pengertian untuk tidak mengakses media sosial karena konten atau substansi di dalamnya belum sesuai untuk umurnya," kata Slamet.

3. Perhatikan unggahan

Pengguna media sosial juga diharapkan dapat pandai-pandai memilah hal-hal pribadi untuk diunggah.

"Hal yang sifatnya pribadi jangan sampai share di media sosial. Hal ini bahkan, dapat dimanfaatkan pelaku kejahatan sebagai celah untuk melakukan tindak kejahatan dengan mengetahui kebiasaan dan aktivitas sehari-hari lewat media sosial," kata Slamet.

4. Saring sebelum sharing

Ketika mendapat  infromasi di platform berbagi pesan, masyarakat diharap dapat menanyakan kembali kebenaran informasi tersebut, tidak serta merta meneruskannya kepada orang lain.

"Mari berbagai informasi supaya kita cerdas, produktif dalam berinternet," ujar Slamet. (ed)

Pewarta: Arindra Meodia

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018