Nusa Dua (Antaranews Bali) - Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit transaksi berjalan Indonesia di akhir 2018 mencapai 2,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), namun angka tersebut dinilai masih dalam rentang yang sehat.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Forum Bank Sentral di rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018, di Nusa Dua, Bali, Rabu, mengatakan defisit transaksi berjalan di bawah tiga persen dari PDB untuk Indonesia, relatif masih baik.
"Kami melihat defisit transaksi berjalan di tahun ini 2,9 persen dari PDB. Masih di bawah tiga persen dari PDB," kata Perry Warjiyo.
Tahun depan, BI memperkirakan defisit dapat dikurangi ke kisaran 2,5 persen. Upaya mengurangi defisit tersebut juga tidak mudah karena ketidakpastian ekonomi global, terutama karena eskalasi perang dagang masih membayangi negara berkembang.
Bank Sentral, kata Perry, telah meningkatkan sinergi dengan pemerintah untuk menangangi masalah defisit transaksi berjalan. Pemerintah juga berkomitmen memperbaiki defisit transaksi berjalan itu, yang telah melemahkan nilai tukar rupiah.
Komitmen itu diterjemahkan dalam beberapa upaya seperti kewajiban penerapan solar dan 20 persen minyak sawit mentah (biodiesel) atau B20 untuk mengurangi impor minyak. Kemudian pemerintah juga menaikkan bea masuk Pajak Penghasilan impor barang mewah, penerapan aturan mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan menggenjot devisa dari sektor industri pariwisata.
Selain menjaga defisit transaksi berjalan agar tak melebar, Perry mengatakan, langkah BI dalam menghadapi ketidapastian global adalah menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate. Jika diakumulasi, BI telah menaikkan suku bunga sebanyak 150 basis poin hingga September lalu menjadi 5,75 persen.
Meski demikian, Perry mengatakan bahwa BI sebenarnya tidak perlu menaikkan suku bunga apabila tidak ada tekanan global. Sebab, inflasi di Indonesia terkendali dan prospek pertumbuhan ekonomi domestik terus membaik.
"Kami lihat, kami sebenarnya tidak perlu naikkan suku bunga acuan. Tapi karena ada tekanan global. Jadi, ini bukan dari sisi inflasi kita," ujarnya.
Langkah kenaikan suku bunga acuan Indonesia juga diterapkan agar aset-aset berdenominasi rupiah tetap menarik dan mampu menyerap modal asing. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Forum Bank Sentral di rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018, di Nusa Dua, Bali, Rabu, mengatakan defisit transaksi berjalan di bawah tiga persen dari PDB untuk Indonesia, relatif masih baik.
"Kami melihat defisit transaksi berjalan di tahun ini 2,9 persen dari PDB. Masih di bawah tiga persen dari PDB," kata Perry Warjiyo.
Tahun depan, BI memperkirakan defisit dapat dikurangi ke kisaran 2,5 persen. Upaya mengurangi defisit tersebut juga tidak mudah karena ketidakpastian ekonomi global, terutama karena eskalasi perang dagang masih membayangi negara berkembang.
Bank Sentral, kata Perry, telah meningkatkan sinergi dengan pemerintah untuk menangangi masalah defisit transaksi berjalan. Pemerintah juga berkomitmen memperbaiki defisit transaksi berjalan itu, yang telah melemahkan nilai tukar rupiah.
Komitmen itu diterjemahkan dalam beberapa upaya seperti kewajiban penerapan solar dan 20 persen minyak sawit mentah (biodiesel) atau B20 untuk mengurangi impor minyak. Kemudian pemerintah juga menaikkan bea masuk Pajak Penghasilan impor barang mewah, penerapan aturan mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan menggenjot devisa dari sektor industri pariwisata.
Selain menjaga defisit transaksi berjalan agar tak melebar, Perry mengatakan, langkah BI dalam menghadapi ketidapastian global adalah menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate. Jika diakumulasi, BI telah menaikkan suku bunga sebanyak 150 basis poin hingga September lalu menjadi 5,75 persen.
Meski demikian, Perry mengatakan bahwa BI sebenarnya tidak perlu menaikkan suku bunga apabila tidak ada tekanan global. Sebab, inflasi di Indonesia terkendali dan prospek pertumbuhan ekonomi domestik terus membaik.
"Kami lihat, kami sebenarnya tidak perlu naikkan suku bunga acuan. Tapi karena ada tekanan global. Jadi, ini bukan dari sisi inflasi kita," ujarnya.
Langkah kenaikan suku bunga acuan Indonesia juga diterapkan agar aset-aset berdenominasi rupiah tetap menarik dan mampu menyerap modal asing. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018