Denpasar (Antaranews Bali) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, menghukum terdakwa Nyoman Supariyani (50), mantan Direktur Utama Bank Perkreditan Rakyat "KS Bali Agung Sedana" selama 6,5 tahun penjara karena terbukti melakukan penggelapan dan pemalsuan data kredit nasabah sebesar Rp24,23 miliar.

"Perbuatan terdakwa dipandang sebagai perbuatan berlanjut selaku pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan saat menjadi anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam perundang-undangan," kata Ketua Majelis Hakim Dewa Budi Watsara di PN Denpasar, Senin.

Selain menjatuhi hukuman 6,5 tahun penjara, terdakwa juga diwajibkan membayar denda Rp5 miliar, jika tidak sanggup membayar denda maka akan diganti dengan tambahan hukuman (subsider) selama tiga bulan kurungan.

Vonis majelis hakim kepada terdakwa itu, lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Cok Intan Merlani Dewi dalam sidang sebelumnya yang menuntut terdakwa dengan hukuman delapan tahun penjara, denda Rp5 miliar, subsider tiga bulan kurungan dikurangi terdakwa selama berada di dalam tahanan.

Hakim menilai pernbuatan terdakwa telah melanggar Pasal 49 Ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 juncto Pasal 64 Ayat 1. Yang meringankan hukuman terdakwa karena bersikap sopan dalam persidangan, menyesali perbuatannya bersalah dan belum penah dihukum.

Mendengar putusan hakim itu, terdakwa yang didampingi penasihat hukumnya menyatakan pikir-pikir atas putusan hakim, demikian jaksa juga menyatakan pikir-pikir selama sepekan atas putusan hakim.

Perbuatan terdakwa yang melakukan pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan maupun dalam dokumen/laporan kegiatan usaha dengan memberikan 54 kredit kepada 53 debitur calon tenaga kerja Indonesia mencapai Rp24,23 yang merugikan para debitur yang namanya digunakan untuk mendapat kredit calon TKI ke Jepang, meskipun menurut terdakwa kreditnya sudah dilunasi.

Namun, sertifikat para debitur ini belum dikembalikan hingga saat ini dan debitur yang memiliki sertifikat belum mendapat kepastian atas status sertifikat mereka.

Sebelum terjerat kasus ini, terdakwa diundang ke Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) Denpasar terkait pembiayaan calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dihadiri beberapa Lembaga Pengiriman Tenaga Kerja (LPK) untuk bekerja sama dengan BPR.

Saat itu, terdakwa dihubungi Jalaludin selaku Dirut PT Indonesia Human Support Corporate (IHSC) sebagai penyalur tenaga kerja Indonesia agar bisa bekerja di Jepang.

Pada Maret 2014, PT Bank Perkreditan Rakyat KS Bali Agung Sedana (BPR KS BAS) menerima berkas-berkas calon TKI dari staf PT IHSC bernama Arifin yang berisi semua persyarakat untuk pengajuan kredit oleh TKI.

Atas perintah terdakwa, saksi Andreas Ola dan I Gede Renata selaku account officer bersama Titik Juniarti selaku legal dan apraisal serta Don Gaspar Hery DVG didampingi Jalaludin selaku pimpinan PT IHSC melakukan survei di beberapa daerah seperti Bali, Jawa dan Lombok untuk menanyakan kepada calon debitur berapa jumlah kredit yang dibutuhkan.

Berdasarkan hasil survei itu, rata-rata debitur mengajukan permohonan dana untuk biaya keberangkatan sebagai TKI ke Jepang sebanyak Rp60 juta hingga Rp75 juta. Kemudian hasil survei itu dilaporkan kepada terdakwa.

Kemudian, terdakwa memerintahkan saksi Titik untuk meningkatkan jumlah plafon kredit yang rata-rata Rp60 juta hingga Rp75 juta menjadi Rp450 juta.

Hal itu disampaikan terdakwa Titik, mengingat penghasilan calon debitur sebagai TKI mendata upah 151.200 yen atau sekitar Rp18 juta hingga Rp20 juta per bulan. (WDY)

Pewarta: I Made Surya Wirantara Putra

Editor : I Komang Suparta


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018