Denpasar (Antaranews Bali) - Sanggar Cak Rina mengangkat kisah pertempuran Sugriwa dan Subali dari epos cerita Ramayana menjadi garapan dengan para senimannya membawa obor menyala dalam penampilan pada ajang "Bali Mandara Mahalango".
"Saya memakai simbol pertempuran Subali dan Sugriwa ini dengan api, karena dikaitkan api kesaktian yang bermula dari kesalahpahaman," kata I Ketut Rina, Pemimpin Sanggar Cak Rina, di sela-sela pementasan tersebut, di Taman Budaya Denpasar, Rabu.
Rina menuturkan, Kecak garapannya ini memang dikhususkan pada pertempuran Subali dan Sugriwa. "Cakkk" teriakan Rina memecah keheningan di malam yang dingin.
Cahaya api yang datang dari obor-obor dan bola api pun ditendang bebas oleh para pemain kecak. Para penari Kecak seolah tak ingat apapun lagi, mereka tampil total.
"Ini masih ada Ramayananya, tapi kalau kita tahu biasanya Kecak tradisi itu duduknya melingkar, itu artinya menonjolkan cerita. Kecak saya total dari pelaku Kecak itu sendiri. Ekspresi dan totalitas pemain itulah Kecak yang sebenarnya," ujar Rina.
Bergelut dengan dunia Kecak sejak kecil (40 tahun lalu), membuat Rina kian getol menyelami sumber-sumber inovasi. "Selalu ada perubahan-perubahan, tergantung juga pada kondisi panggung, kami menyesuaikan," ujarnya.
Tak ada melingkar, formasi lurus, diagonal, meloncati Madya Mandala untuk menyambangi penonton semua dilakukan Rina dan kawan-kawan tiga generasinya dengan total.
Layaknya api yang membara, garapan ini membakar semangat penonton untuk tak segera beranjak. Untuk menciptakan garapan yang hidup, Rina pun mengungkapkan kuncinya adalah sebuah konsistensi.
"Saya bertahan di kesenian Kecak karena hanya inilah yang saya punya, inilah penghidupan dan profesi saya," ujar Rina.
Berkat konsistensinya dalam menggeluti dunia kecak, Ketut Rina pun berhasil mengajak "sebunan" kecak Desa Peliatan Ubud, Gianyar untuk menjajaki negeri di luar Bali. Jepang, Korea, Equador, Iran, hingga Amerika pun berhasil disambangi Sanggar Cak Rina. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Saya memakai simbol pertempuran Subali dan Sugriwa ini dengan api, karena dikaitkan api kesaktian yang bermula dari kesalahpahaman," kata I Ketut Rina, Pemimpin Sanggar Cak Rina, di sela-sela pementasan tersebut, di Taman Budaya Denpasar, Rabu.
Rina menuturkan, Kecak garapannya ini memang dikhususkan pada pertempuran Subali dan Sugriwa. "Cakkk" teriakan Rina memecah keheningan di malam yang dingin.
Cahaya api yang datang dari obor-obor dan bola api pun ditendang bebas oleh para pemain kecak. Para penari Kecak seolah tak ingat apapun lagi, mereka tampil total.
"Ini masih ada Ramayananya, tapi kalau kita tahu biasanya Kecak tradisi itu duduknya melingkar, itu artinya menonjolkan cerita. Kecak saya total dari pelaku Kecak itu sendiri. Ekspresi dan totalitas pemain itulah Kecak yang sebenarnya," ujar Rina.
Bergelut dengan dunia Kecak sejak kecil (40 tahun lalu), membuat Rina kian getol menyelami sumber-sumber inovasi. "Selalu ada perubahan-perubahan, tergantung juga pada kondisi panggung, kami menyesuaikan," ujarnya.
Tak ada melingkar, formasi lurus, diagonal, meloncati Madya Mandala untuk menyambangi penonton semua dilakukan Rina dan kawan-kawan tiga generasinya dengan total.
Layaknya api yang membara, garapan ini membakar semangat penonton untuk tak segera beranjak. Untuk menciptakan garapan yang hidup, Rina pun mengungkapkan kuncinya adalah sebuah konsistensi.
"Saya bertahan di kesenian Kecak karena hanya inilah yang saya punya, inilah penghidupan dan profesi saya," ujar Rina.
Berkat konsistensinya dalam menggeluti dunia kecak, Ketut Rina pun berhasil mengajak "sebunan" kecak Desa Peliatan Ubud, Gianyar untuk menjajaki negeri di luar Bali. Jepang, Korea, Equador, Iran, hingga Amerika pun berhasil disambangi Sanggar Cak Rina. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018