Denpasar (Antaranews Bali) - Budayawan dan pengamat seni Prof Dr I Made Bandem menilai penampilan Sanggar Ceraken dan Sanggar Kebo Iwa masih memerlukan tahap eksplorasi saat pentas di ajang Bali Mandara Mahalango.
"Dalam proses eksplorasi ini, yang lebih penting itu prosesnya. Bukan hasil akhirnya," kata Bandem usai menyaksikan garapan musik kontemporer kedua sanggar tersebut, di Taman Budaya Denpasar, Selasa (24/7) malam.
Bandem melihat persiapan kedua sanggar ini sudah cukup bagus. Hanya saja karena ini seni kontemporer atau populer masih mencari bentuk.
"Jadi, tidak dapat hasil yang lebih baik dengan kondisi seperti ini. Apalagi melibatkan anak-anak. Tetapi kita melihat mereka memanfaatkan anak-anak sejak dini, ini yang saya hargai dari kelompok Ceraken dan Kebo Iwa. Jadi partisipasinya yang penting dalam hal ini," ucapnya.
Bagi Bandem pada seni kontemporer lebih menekan pada pengalaman eksplorasi. Catatan ke depan yang perlu diperhatikan kedua sanggar ini, selaku penggarap harus lebih banyak berbicara kepada anak-anaknya, mengenai tema setiap lagu yang mereka mainkan.
"Temanya itu apa? Apakah tema itu dapat dimainkan apa tidak? Tema ini apa artinya, sehingga nanti anak-anak dapat menghayati dibandingkan hanya sekadar keterampilan teknik. Jadi, pengisian rohnya itu penting," ucapnya.
Sanggar Seni Kebo Iwa dari Banjar Kwanji, Mengwi, Kabupaten Badung tampil mementaskan garapan "Ruang Tiga" yakni sebuah garapan yang menampilkan empat materi olah tabuh yang atraktif di panggung dengan melibatkan anak-anak, remaja dan orang dewasa.
"Ruang Tiga itu merupakan garapan yang menggambarkan bidang yang kosong itu adalah ruang," ujar penata garapan Sanggar Kebo Iwa I Nyoman Mariyana.
Menurut Mariyana, apa yang nampak adalah wujud yang dapat dilihat. Ruang tiga adalah tiga bentuk ruang yang dapat dilihat, karena kekosongan sudah diisi dengan bentuk yang sudah berwujud. Masing-masing ruang memiliki makna dan menjadi kesatuan wujud yang mengandung arti.
"Terilhami dari konsepsi tiga ruang dari alam semesta yakni swah loka (alam atas),bwah loka (alam tengah) dan bhur loka (alam bawah) maka terlahirlah komposisi musik kolaborasi ruang tiga ini," ucapnya.
Sedangkan Sanggar Ceraken dari Banjar Buda Ireng, Desa Batuyang Kangin, Gianyar, yang berdiri sejak 1997 menampilkan lima karya.
"Kelima garapan kami itu tabuh Jagul dan tabuh Gambang Kuta. Keduanya garapan Bapak I Wayan Lotring. Ada juga tabuh Anomali, tabuh Megilak dan Mekale serta tabuh Lebongkak," kata pimpinan Sanggar Ceraken, I Made Subandi.
Menurut Subandi selaku penata tabuh Lebongkak, Lebongkak itu berasal dari tiga kata yaitu "lengeh, sombong dan merekak".
"Tabuh ini membawakan pesan agar kita tidak sombong, 'eda mesebeng ririh, seperti katak di bawah lebongkake. Jika sombong dan merasa dirimu hebat, seperti katak di bawah tempurung maka sebutanmu adalah Lebongkak," ucap Subandi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Dalam proses eksplorasi ini, yang lebih penting itu prosesnya. Bukan hasil akhirnya," kata Bandem usai menyaksikan garapan musik kontemporer kedua sanggar tersebut, di Taman Budaya Denpasar, Selasa (24/7) malam.
Bandem melihat persiapan kedua sanggar ini sudah cukup bagus. Hanya saja karena ini seni kontemporer atau populer masih mencari bentuk.
"Jadi, tidak dapat hasil yang lebih baik dengan kondisi seperti ini. Apalagi melibatkan anak-anak. Tetapi kita melihat mereka memanfaatkan anak-anak sejak dini, ini yang saya hargai dari kelompok Ceraken dan Kebo Iwa. Jadi partisipasinya yang penting dalam hal ini," ucapnya.
Bagi Bandem pada seni kontemporer lebih menekan pada pengalaman eksplorasi. Catatan ke depan yang perlu diperhatikan kedua sanggar ini, selaku penggarap harus lebih banyak berbicara kepada anak-anaknya, mengenai tema setiap lagu yang mereka mainkan.
"Temanya itu apa? Apakah tema itu dapat dimainkan apa tidak? Tema ini apa artinya, sehingga nanti anak-anak dapat menghayati dibandingkan hanya sekadar keterampilan teknik. Jadi, pengisian rohnya itu penting," ucapnya.
Sanggar Seni Kebo Iwa dari Banjar Kwanji, Mengwi, Kabupaten Badung tampil mementaskan garapan "Ruang Tiga" yakni sebuah garapan yang menampilkan empat materi olah tabuh yang atraktif di panggung dengan melibatkan anak-anak, remaja dan orang dewasa.
"Ruang Tiga itu merupakan garapan yang menggambarkan bidang yang kosong itu adalah ruang," ujar penata garapan Sanggar Kebo Iwa I Nyoman Mariyana.
Menurut Mariyana, apa yang nampak adalah wujud yang dapat dilihat. Ruang tiga adalah tiga bentuk ruang yang dapat dilihat, karena kekosongan sudah diisi dengan bentuk yang sudah berwujud. Masing-masing ruang memiliki makna dan menjadi kesatuan wujud yang mengandung arti.
"Terilhami dari konsepsi tiga ruang dari alam semesta yakni swah loka (alam atas),bwah loka (alam tengah) dan bhur loka (alam bawah) maka terlahirlah komposisi musik kolaborasi ruang tiga ini," ucapnya.
Sedangkan Sanggar Ceraken dari Banjar Buda Ireng, Desa Batuyang Kangin, Gianyar, yang berdiri sejak 1997 menampilkan lima karya.
"Kelima garapan kami itu tabuh Jagul dan tabuh Gambang Kuta. Keduanya garapan Bapak I Wayan Lotring. Ada juga tabuh Anomali, tabuh Megilak dan Mekale serta tabuh Lebongkak," kata pimpinan Sanggar Ceraken, I Made Subandi.
Menurut Subandi selaku penata tabuh Lebongkak, Lebongkak itu berasal dari tiga kata yaitu "lengeh, sombong dan merekak".
"Tabuh ini membawakan pesan agar kita tidak sombong, 'eda mesebeng ririh, seperti katak di bawah lebongkake. Jika sombong dan merasa dirimu hebat, seperti katak di bawah tempurung maka sebutanmu adalah Lebongkak," ucap Subandi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018