Denpasar (Antaranews Bali) - "Itu (ledakan bom) by design dari pemerintah untuk pengalihan isu saja, karena begitu bom meledak langsung saja polisi sudah dapat menangkap pelaku," demikian "chat" dalam sebuah grup media sosial.

Pengalihan isu? "Chat" seperti itu tidak seharusnya terjadi bila komentator-nya menyimak Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Sebelumnya, UU Terorisme itu juga dituduh melanggar HAM, karena tidak ada indikator dari "ekstrem" dan "anarkhisme" dan berbagai potensi, seperti pidana mati, pencabutan paspor yang bisa disalahgunakan, penambahan vonis 1/2 dari yang diancamkan, tindak penyiksaan, penyadapan tanpa aturan, penyekapan, dan pelibatan TNI.

Kendati generasi milineal Surabaya cukup "heroik" menyikapi serangan teroris di Surabaya dengan tanda pagar (tagar): #suroboyowani #kamitidaktakut #terorisjancuk #kamitidakndredeg, namun "chat" pengalihan isu itu perlu didiskusikan dengan bahan-bahan yang jauh dari "otak" politik, apalagi dikemas agamis.

Informasi dari jajaran kepolisian menyebutkan bahwa polisi bisa langsung menemukan dan menangkap pelaku teror hanya beberapa saat dari serangan bombardir itu, karena polisi sudah menguntit pelaku dan barang bukti sejak empat bulan sebelumnya.

Nah, empat bulan itu sudah lebih dari cukup, namun polisi tidak dapat bertindak, karena UU Terorisme mensyaratkan adanya "aksi" sebagai bukti dari adanya tindak pidana terorisme itu, sehingga polisi pun menunggu momen untuk menangkap.

Kendati demikian, dalam serangan bom di Surabaya itu, aksi pada tiga gereja itu membuat polisi mampu menjinakkan 22 bom pada lokasi lain dan menangkap tujuh terduga teroris yang belum sempat beraksi, namun korban dari pihak pelaku dan masyarakat tidak perlu terjadi bila persyaratan "aksi/bukti" itu dirumuskan ulang.

Apalagi, sejumlah negara tidak mensyaratkan "aksi" sebagai bukti, namun rencana saja sudah cukup, karena tindak pidana terorisme itu bukan seperti pencurian, pembunuhan, narkoba, korupsi, dan sebagainya.

Bahkan, menunggu momen dalam kasus terorisme itu sama halnya dengan menunggu pelaku/korban meninggal dunia, sehingga justru menyulitkan penyidikan lanjutan, karena itu Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian meminta dukungan DPR RI untuk merampungkan revisi UU Antiterorisme tidak terlalu lama karena korban sudah berjatuhan.

"Kita mohon dukungan teman-teman di DPR cepat jangan revisi terlalu lama, korban sudah berjatuhan," kata Tito saat memberikan keterangan pers di RS Bhayangkara Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5).

Ia mengatakan, negara membutuhkan dukungan lebih, terutama masalah pasal-pasal khusus dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Tito mencontohkan mereka yang baru kembali dari Suriah jumlahnya diperkirakan sekitar 500 orang, termasuk di antaranya satu keluarga yang diduga menjadi pelaku pengeboman tiga gereja di Surabaya.

"Kita tidak bisa berbuat apa-apa kalau (mereka) tidak melakukan pidana, kalau mereka gunakan paspor palsu kita bisa proses hukum, tapi kalau mereka tidak melakukan apa-apa sepertinya hanya tujuh hari kewenangan untuk tanyai, `interview` mereka hanya bisa tujuh hari setelah itu dilepaskan," katanya.

Karena itu, Tito berharap UU tersebut dapat segera direvisi. Pihaknya berharap UU ini direvisi dan bila perlu kalau terlalu lama direvisi akan dimohonkan kepada Presiden untuk mengajukan Perppu.

Usulan Kapolri itu merujuk pada Pasal 12-A dari rancangan (draft) Perubahan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang memasukkan kata: "merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan tindak pidana terorisme... dengan pidana 3-12 tahun".

Dalam ayat lain pada pasal yang sama juga menyebutkan "setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang...dengan pidana 2-7 tahun" dan "pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan...dengan pidana 3-12 tahun".

Usulan Kapolri itu mendapat dukungan Presiden Joko Widodo saat menghadiri peresmian Rakornas Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pusat, dan Daerah Tahun 2018, di JI Expo Jakarta, Senin (14/5).

"Saya juga meminta kepada DPR dan kementerian-kementerian yang terkait yang berhubungan dengan revisi undang-undang tindak pidana terorisme yang sudah kita ajukan pada bulan Februari 2016," kata Presiden Jokowi.

Menurut Presiden, DPR RI dapat menyelesaikan RUU tersebut pada sidang mendatang, yaitu 18 Mei 2018. Namun, kalau nantinya di bulan Juni pada akhir masa sidang belum segera diselesaikan, maka pihaknya akan mengeluarkan perppu agar Polri memiliki rujukan.

Tafsir Terorisme/Jihad

Pernyataan pemerintah itu ditanggapi Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Terorisme itu tidak diperlukan karena revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme akan segera disahkan.

"Perppu tidak diperlukan karena dalam pembahasan RUU Terorisme sudah mau final, bahkan pada masa sidang lalu sebenarnya bisa disahkan, namun pemerintah yang menundanya," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (14/5).

Dia mengatakan sudah berbicara dengan Pimpinan Panitia Khusus revisi UU Terorisme. Hanya tinggal satu poin pembahasan yang akan diselesaikan terkait definisi terorisme. "Pemerintah yang meminta satu bulan menunda, terutama terkait definisi terorisme," katanya.

Terkait masa penahanan yang diatur dalam revisi UU Terorisme sudah disepakati, yaitu merujuk pada KUHAP selama 970 hari setelah sebelumnya diusulkan 1.110 hari.

Selain itu, terkait keterlibatan TNI sudah disepakati keterlibatannya setelah sebelumnya terjadi perdebatan apakah melibatkan TNI dari awal karena kasus terorisme sebagai ancaman negara atau Polri menganggapnya sebagai ancaman keamanan.

Dalam hal perbedaan tafsir/definisi terorisme itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa bom bunuh diri bukan bagian dari jihad. Dalam fatwa yang ditandatangani pada 24 Januari 2004 itu, MUI secara tegas mengharamkan aksi terorisme dan menegaskan bahwa hukum melakukan bom bunuh diri bukan jihad.

Dalam fatwa tersebut, MUI juga menegaskan perbedaan jihad dan terorisme yang kerap disalahgunakan oleh kelompok teroris dalam merekrut anggota. MUI secara eksplisit membedakan pengertian dan bentuk antara terorisme dan jihad.

Misalnya, MUI memberikan pengertian bahwa terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat.

Namun, jihad memiliki pengertian segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya.

Dari pengertian tersebut, jika terorisme bersifat merusak dan anarkhis, maka jihad bersifat melakukan perbaikan, sekalipun dengan cara peperangan. Perbedaan lainnya, jika terorisme bertujuan untuk menciptakan rasa takut atau menghancurkan pihak lain, maka jihad justru menegakkan agama atau membela hak-hak pihak yang terzalimi.

Selain itu, MUI menyebut perbedaan lain antara keduanya yakni jika terorisme dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas, maka jihad dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas.

Karena itu, dalam fatwa MUI tersebut disimpulkan bahwa hukum melakukan teror adalah haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun negara. Sebaliknya, hukum melakukan jihad adalah wajib.

Selain itu, MUI juga menggrisbawahi bahwa bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusasaan dan mencelakakan diri sendiri, baik dilakukan di daerah damai maupun di daerah perang.

Sejatinya, fatwa MUI itu merujuk "perang" yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Menurut Nabi, perang itu jangan menyerang orang tua/lansia, wanita, anak-anak, menyerang mereka yang bukan musuh, merusak aset bukan milik musuh. "Dilarang membunuh anak, perempuan, orang tua dan orang yang sedang sakit" (Imam Abu Dawud).

Bahkan, dalam sebuah babak perjuangan yang babak-belur, Nabi Muhammad SAW pun pernah ditantang Malaikat Jibril untuk meluluhlantakkan Kota Thaif (musuh) dengan meminta Malaikat Penjaga Gunung untuk menimpakan gunung ke kota musuh Nabi itu, tapi Nabi justru menolak tawaran malaikat.

"Jangan engkau lakukan wahai Jibril. Mereka memperlakukan aku seperti ini, karena mereka belum tahu. Aku harap suatu saat keturunan mereka (generasi baru) akan menjadi pengikutku" (Nabi Muhammad SAW).

Agaknya, tafsir agama yang radikal itu dapat diatasi dengan kurikulum pendidikan agama yang `rohmat`. "Pendidikan agama Islam rohmatan alamin yang penuh kasih, damai, dan misi kemanusiaan, akan dapat mengatasi radikalisme," kata Ketua Umum YTPS-NU "Khadijah" Surabaya Hj Khofifah Indar Parawansa, dalam purna-didik SMP-SMA Khadijah, Surabaya Senin (14/5).

Jadi, selain revisi UU Terorisme, langkah lain yang diharapkan dapat mencegah tindak pidana terorisme adalah pendidikan agama yang dapat menafsirkan ajaran agama secara "rohmat". Hukum dan pendidikan adalah dua langkah pencegahan radikalisme, karena radikalisme adalah soal pemikiran dan tindakan. (WDY)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : I Komang Suparta


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018