Denpasar (Antara Bali) - Pengamat Hukum Adat dari Universitas Udayana Prof Dr Wayan P Windia menilai, sesungguhnya masyarakat Bali masih kental menghargai adat dan budayanya di tengah era modernisasi saat ini.
"Dalam hal yang sifatnya netral mungkin sepintas terlihat tidak terlalu kuat, tetapi jika terkait dengan kepercayaan atau keyakinan dan hubungan kekerabatan, penghargaan masyarakat Bali terhadap ketentuan adat masih sangat kental," katanya di Denpasar, Selasa.
Ia mengungkapkan pandangan ini didasari munculnya fenomena berbagai konflik "berbau" adat yang mengemuka beberapa waktu terakhir. Konflik ditengarai beberapa kalangan akibat memudarnya penghargaan masyarakat Bali akan aturan adat istiadatnya.
"Tidak benar jika masyarakat Bali dikatakan tak lagi menghormati adatnya. Modernisasi memang banyak pengaruhnya pada kehidupan adat masyarakat Bali, tetapi itu lebih pada konteks yang netral," ujarnya.
Konteks netral yang dimaksud, kata Windia, contohnya dalam investasi dan profesi. Sepanjang investasi tidak menyentuh lahan yang berhubungan dengan kepercayaan (kawasan suci), aturan yang dipakai adalah aturan pemerintah secara umum.
"Namun, jika menyangkut kawasan suci, aturan yang dipakai tetap bersinergi dengan aturan dalam adat Bali," ujar Prof P Windia.
Kaitannya dengan profesi, lanjut Windia, sungguh tidak mungkin di zaman sekarang jika setiap orang hendak berkonsultasi hukum misalnya, diselesaikan dengan cara-cara "menyama braya" atau kekeluargaan yang merupakan ciri khas hubungan adat.
"Pastinya ada kompensasi yang harus dibayarkan konsumen," katanya.
Windia menandaskan, ketika kaitannya dengan kepercayaan dan hubungan kekerabatan, inilah peran aturan adat.
"Dalam kasus konflik pelarangan penguburan yang sempat terjadi di beberapa kawasan di Bali, hal tersebut biasanya dipicu karena oknum masyarakat itu, sebelumnya tidak menghargai kolektivitas dalam adat," ujarnya.
Terlebih, kata Prof Windia, ketika mereka jelas-jelas telah melakukan kesalahan terhadap mekanisme yang disepakati dalam aturan adat, pun tidak mau meminta maaf. Itu sebabnya tak jarang hanya karena penguburan berakhir ricuh.
"Di Bali, penguburan ada aturannya dan sama sekali tidak diizinkan menguburkan jenazah di luar areal kuburan. Mengapa di luar Bali tidak sampai terjadi keributan, karena di sana masih dimungkinkan untuk menguburkan di luar areal kuburan," ucapnya.
Di sisi lain mengenai konflik adat yang disebabkan perebutan tapal batas desa, Windia menilai hal itu tak hanya terjadi di Bali. "Di mana-mana ada seperti itu," ucapnya.
Dikatakannya, zaman dahulu konsepnya berbeda dibandingkan sekarang. Pada masa itu, makin kecil wilayah desa dinilai makin bagus karena tanggung jawab menjadi tak begitu besar.
"Akibatnya, di Pulau Dewata tidak sedikit tanah yang tak bertuan. Namun pola pikir masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya telah berbeda. Desa-desa sekarang justru menginginkan wilayah yang luas sehingga daerah tak bertuan menjadi rebutan," jelasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Dalam hal yang sifatnya netral mungkin sepintas terlihat tidak terlalu kuat, tetapi jika terkait dengan kepercayaan atau keyakinan dan hubungan kekerabatan, penghargaan masyarakat Bali terhadap ketentuan adat masih sangat kental," katanya di Denpasar, Selasa.
Ia mengungkapkan pandangan ini didasari munculnya fenomena berbagai konflik "berbau" adat yang mengemuka beberapa waktu terakhir. Konflik ditengarai beberapa kalangan akibat memudarnya penghargaan masyarakat Bali akan aturan adat istiadatnya.
"Tidak benar jika masyarakat Bali dikatakan tak lagi menghormati adatnya. Modernisasi memang banyak pengaruhnya pada kehidupan adat masyarakat Bali, tetapi itu lebih pada konteks yang netral," ujarnya.
Konteks netral yang dimaksud, kata Windia, contohnya dalam investasi dan profesi. Sepanjang investasi tidak menyentuh lahan yang berhubungan dengan kepercayaan (kawasan suci), aturan yang dipakai adalah aturan pemerintah secara umum.
"Namun, jika menyangkut kawasan suci, aturan yang dipakai tetap bersinergi dengan aturan dalam adat Bali," ujar Prof P Windia.
Kaitannya dengan profesi, lanjut Windia, sungguh tidak mungkin di zaman sekarang jika setiap orang hendak berkonsultasi hukum misalnya, diselesaikan dengan cara-cara "menyama braya" atau kekeluargaan yang merupakan ciri khas hubungan adat.
"Pastinya ada kompensasi yang harus dibayarkan konsumen," katanya.
Windia menandaskan, ketika kaitannya dengan kepercayaan dan hubungan kekerabatan, inilah peran aturan adat.
"Dalam kasus konflik pelarangan penguburan yang sempat terjadi di beberapa kawasan di Bali, hal tersebut biasanya dipicu karena oknum masyarakat itu, sebelumnya tidak menghargai kolektivitas dalam adat," ujarnya.
Terlebih, kata Prof Windia, ketika mereka jelas-jelas telah melakukan kesalahan terhadap mekanisme yang disepakati dalam aturan adat, pun tidak mau meminta maaf. Itu sebabnya tak jarang hanya karena penguburan berakhir ricuh.
"Di Bali, penguburan ada aturannya dan sama sekali tidak diizinkan menguburkan jenazah di luar areal kuburan. Mengapa di luar Bali tidak sampai terjadi keributan, karena di sana masih dimungkinkan untuk menguburkan di luar areal kuburan," ucapnya.
Di sisi lain mengenai konflik adat yang disebabkan perebutan tapal batas desa, Windia menilai hal itu tak hanya terjadi di Bali. "Di mana-mana ada seperti itu," ucapnya.
Dikatakannya, zaman dahulu konsepnya berbeda dibandingkan sekarang. Pada masa itu, makin kecil wilayah desa dinilai makin bagus karena tanggung jawab menjadi tak begitu besar.
"Akibatnya, di Pulau Dewata tidak sedikit tanah yang tak bertuan. Namun pola pikir masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya telah berbeda. Desa-desa sekarang justru menginginkan wilayah yang luas sehingga daerah tak bertuan menjadi rebutan," jelasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011