Gianyar (Antaranews Bali) - Seorang turis asing tampak asyik memotret anak perempuannya yang duduk di samping gerombolan monyet, ada yang besar dan sebagian masih kecil, lucu-lucu. Sementara pelancong lainnya juga tampak asyik memotret berbagai aksi jenaka monyet-monyet di Ubud Monkey Forest, Kabupaten Gianyar, Bali.

"Ubud Monkey Forest adalah salah satu destinasi wisata utama bagi turis mancanegara dan domestik yang liburan ke Bali. Banyak artis, selebritis, kepala negara yang meluangkan waktu melihat Monkey Forest di Ubud, misalkan Maret 2017, tiga pangeran kerajaan Arab Saudi datang ke sini di sela-sela kunjungan Raja Salman dari Arab Saudi ke Indonesia, kemudian berlibur ke Bali," kata Manajer Pengelola Ubud Monkey Forest, I Nyoman Buana.

Bahkan Januari 2015, artis dan selebritis terkenal seperti Paris Hilton juga berkunjung ke objek wisata itu. "Foto-foto dia dengan monyet-monyet di sini menjadi viral di media sosial yang membantu mempromosikan Monkey Forest di Ubud ini," kata Nyoman Buana.

Berwisata ke Ubud Monkey Forest bukanlah hanya melihat monyet. Dibalik wisata alam itu tersimpan upaya pelestarian hutan oleh masyarakat desa adat (pakraman) Padangtegal, di tengah perkembangan kota Ubud yang cukup pesat. Bahkan area hutannya malah tambah meluas.

Upaya itu kemudian membuahkan hasil penghargaan Kalpataru tahun 2012 untuk Desa Padangtegal dari Kementerian Lingkungan Hidup atas pelestarian hutannya.

Bendesa (kepala desa) Padangtegal I Made Gandra menjelaskan penghargaan yang diraih pada tahun 2012 itu. "Kami memperluas hutan Monkey Forest Ubud dari yang tadinya cuma 7,5 Ha kini bertambah menjadi 12,5 Ha," katanya. Hasilnya, selain meraih penghargaan Kalpataru, Monkey Forest Ubud semakin banyak dikunjungi turis asing/mancanegara dan domestik.

Kawasan hutan yang didiami ratusan monyet itu mulai dikelola oleh masyarakat desa sejak awal 1970-an, kemudian dekade 1980-an dikelola secara lebih serius dan professional sehingga berkembang hingga saat ini.

"Wisata alam Monkey Forest Ubud ini milik Desa Adat Padangtegal. Masyarakat mulai mengelola dan mengembangkan wisata alam ini sejak dekade 1970-an, namun dikelola dengan manajemen yang baik dan profesional sejak dekade 1980," ujar I Made Gendra.

Dulu, kedatangan turis masih di bawah 500 orang per hari, kemudian berkembang di atas 1.000 orang per hari, dan kini rata-rata 4.500 turis setiap harinya. "Jika lagi musim sepi minimal 4.000 turis per hari. Jika lagi musim ramai maka jumlah turis yang datang bisa mencapai 6.000 orang setiap harinya," tambah dia.

"Dari 4.500 turis per hari, 70 persen atau 3.150 orang merupakan turis asing, dan 30 persen atau 1.350 orang turis domestik," tambah I Made Gendra.

Jika tiket masuk dijual Rp50.000 per orang dewasa, dan Rp40.000 per orang untuk anak-anak maka pendapatan wisata alam Monkey Forest itu bisa mencapai Rp225 juta per hari.

Pendapatan dari Monkey Foest Ubud yang cukup besar itu masuk ke kas desa kemudian dikelola untuk kepentingan masyarakat desa, dan pengembangan fasilitas dan sarana di kawasan hutan yang memiliki sekitar 750 monyet.

Rumah Kompos

Salah satu pengembangan usaha dari pendapatan Desa Padangtegal, Ubud adalah pembangunan Rumah Kompos dan sistem swakelola sampah serta edukasi bagi masyarakat tentang pengelolaan sampah yang baik.

Sampah merupakan salah satu musuh masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Selain sumber penyakit, sampah juga menimbulkan polusi udara, aroma yang tidak sedap, dan merusak pemandangan sekitarnya.

Desa Padangtegal yang berada di tengah kota Ubud mengalami pertumbuhan yang pesat dimana hotel, bungalow, dan restoran, caf? dan pertokoan bermunculan seiring perkembangan pariwisata di Ubud. Salah satu masalah yang muncul adalah sampah.

"Produksi sampah di Desa Padangtegal mencapai 72 meter kubik per hari, jauh lebih besar dari sampah yang dikelola Pemerintah Kabupaten Gianyar yang hanya 15 meter kubik per hari. Agar industri pariwisata Ubud terus maju maka masalah sampah ini harus dikelola dengan baik. Naik turunnya industri pariwisata di Ubud akan berdampak pada kunjungan turis ke Monkey Forest," kata Bendesa (kepala desa) Padangtegal, I Made Gandra.

Manajer Rumah Kompos Supardi mengungkapkan, Rumah Kompos di Desa Padangtegal berdiri pada 2012. Kemudian meminta warga dan industri pariwisata untuk melakukan swakelola sampah yakni dengan memisahkan sampah organik dan non organik.

"Awalnya memang susah meminta masyarakat untuk memilah sampah organik dan non organik. Banyak warga yang marah-marah. Kemudian pengurus/perangkat Desa Padangtegal memutuskan untuk mengalokasikan Rp65 juta per bulan demi membebaskan masyarakat dari iuran sampah (gratis), tapi mereka wajib memisahkan sampah organik dan non organik. Karena iuran sampah sudah digratiskan, kami arahkan petugas sampah untuk tidak angkut sampah warga jika tidak dipisahkan sampah organik dan non organik," kata Bendesa Padangtega itu.

Upaya mendidik masyarakat untuk memilah sampah secara mandiri sejak dari rumah dilakukan mulai tahun 2013, tapi 100 persen warga memilah sampah baru dua tahun belakangan ini.

Selain itu, Desa Padangtegal menjadikan rumah kompos sebagai tempat edukasi tentang pengolahan sampah sekaligus sebagai kantor tim kebersihan dan memiliki jadwal pengajaran reguler tentang pengolahan sampah untuk warga dan pengusaha mulai 2014.

"Dua tahun belakangan ini, 100 persen dari 661 kepala keluarga atau sekitar 3.500 penduduk telah memilah sampah rumah tangga (swakelola). Begitu juga industri pariwisata seperti hotel, penginapan (homestay), kafe dan restoran sudah memilah sampahnya. Jika tidak, maka petugas kebersihan kami tidak akan angkut sampahnya," kata Made Gandra.

Desa itu kini memiliki kebun organik seluas satu hektare yang memanfaatkan pupuk kompos dari sampah desa tahun 2015. Desa Adat Padangtegal telah memanfaatkan kompos untuk kebun di pekarangan, tegalan atau sawah sejak tahun 2016.

Ke depan, Desa Padangtegal akan membangun tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) agar hasil pengolahannya siap dijadikan energi listrik, pupuk kompos atau makanan ikan, kata Bendesa I Made Gandra.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gianyar I Wayan Kujus Pawitra mengatakan rumah kompos Padangtegal Ubud merupakan inovasi yang patut ditiru oleh masyarakat daerah lain dalam pengelolaan sampah mandiri. Masyarakat tidak lagi menunggu petugas dari pemerintah, tapi secara sadar dan bersama-sama membantu menjaga kebersihan lingkungan.

Sentral Parkir

Upaya pengurus dan masyarakat Desa Padangtegal untuk menciptakan inovasi dan kreativitas terus berlanjut. Kini mereka sudah membangun gedung informasi dan penjualan tiket Ubud Monkey Forest sekaligus pintu masuk yang nyaman dan megah plus sentral parkir di Ubud yang mampu menampung 1.200 mobil dan bus pariwisata.

"Kami sedang membangun fasilitas sentral parkir di Ubud hingga tiga lantai, ditambah fasilitas olahraga seperti trek untuk lari dan lapangan futsal agar dapat dimanfaatkan masyarakat untuk bermain, olahraga dan rileksasi," kata I Made Gandra.

Biaya untuk membangun gedung informasi, penjualan tiket dan pintu masuk Monkey Forest itu menelan biaya sekitar Rp6 miliar. Sedangkan membangun sentral parkir membutuhkan biaya Rp20 miliar.

Perkembangan pariwisata Ubud telah berkembang pesat. Pertumbuhan dan pembangunan resort, hotel, penginapan (homestay), restoran, caf? dan pertokoan terus bertambah dari tahun ke tahun. Sementara itu, lahan untuk jalan kendaraan dari tahun ke tahun cenderung statis sehingga akan menimbulkan masalah, bahkan kekacauan soal parkir.

"Makanya kami bangun sentral parkir di Monkey Forest Ubud kemudian pengguna dapat keliling kota Ubud dengan bus gratis setiap 15 menit," kata I Made Gandra.

Masyarakat dan pengurus Desa Padangtegal telah berhasil mengelola hutan dan ratusan monyetnya sehingga menjadi destinasi wisata kelas dunia. Keberhasilan dari situ melahirkan upaya cerdas dengan membangun rumah kompos dan penerapan pengelolaan sampah secara swakelola. Dan kini membangun sentral parkir untuk mengatasi masalah parkir dan sistem transportasi di Ubud yang pariwisatanya semakin terus berkembang. (WDY)

Pewarta: Adi Lazuardi

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018