Negara (Antaranews Bali) - Terlahir di Kota Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, kekuatan cinta "Komunitas Kertas Budaya" (KKB) menjadi penjaga dunia kreatif kesenian modern di daerah ini.
"Kami bukanlah organisasi yang mengikatkan diri pada aturan-aturan baku dan sistematis. Kertas Budaya lahir, tumbuh dan berjalan dengan cinta," kata koordinator sekaligus pendiri Komunitas Kertas Budaya, Nanoq da Kansas (13/3).
Berdiri sejak tahun 1999 di sebuah kamar Padukuhan Seni Tibu Bunter di Banjar atau Dusun Satria, Kelurahan Pendem, komunitas ini justru tidak merasakan jatuh bangun, terbukti dengan eksistensi yang tetap terjaga hingga sekarang.
Nanoq mengatakan, dalam peran menjaga kesenian khususnya teater, sastra, musikalisasi puisi hingga seni rupa, dirinya menganggap jatuh bangun hanyalah istilah cengeng orang yang putus asa.
"Komunitas ini lebih percaya dengan istilah patah tumbuh hilang berganti. Ranting bahkan pohon yang patah, pasti akan tumbuh tunas baru yang bisa jadi lebih segar dan kokoh dalam melahirkan karya seni," katanya.
Kekuatan cinta mengarahkan komunitas ini bergerak ke berbagai sisi dunia kesenian dengan berbagai kegiatan, baik bersifat lomba maupun diskusi-diskusi kebudayaan, pementasan teater, monolog, baca puisi hingga sempat menerbitkan jurnal dan tabloid.
Pada awal berdirinya, komunitas yang kini bermarkas di bilangan Jalan Udayana, Kota Negara ini memang menerbitkan jurnal empat halaman dengan kertas maupun pencetakan yang sangat sederhana.
"Tidak ada tujuan tertentu saat kami menerbitkan jurnal tersebut. Hanya niat untuk menampung karya dalam bentuk tulisan kawan-kawan seniman disini," katanya.
Dikelola dan didanai dengan swadaya, jurnal Komunitas Kertas Budaya yang sudah berusia 19 tahun itu bukanlah hasil cetakan mesin canggih, hanya mengandalkan mesin "fotocopy" dengan menggunakan kertas warna cokelat agak tebal.
Distribusi dilakukan bersama-sama ke berbagai institusi maupun individu, dengan menggunakan sepeda gayung setiap bulan sampai sebagian besar individu termasuk Nanoq dipercaya untuk menerbitkan, mencetak dan mengelola Tabloid "Jembrana Post" pada tahun 2000.
Sejak saat itu hingga sekarang, tanpa dirasakan, Komunitas Kertas Budaya menjelma menjadi wadah lintas generasi seniman di Kabupaten Jembrana yang setiap hari berkumpul, berinteraksi, berkarya dan saling mengapresiasi di rompyok atau warung kopi komunitas ini.
Terakhir, selama tiga malam sejak Jumat (9/3) hingga Minggu (11/3), di Jalan Udayana No 26, Kota Negara komunitas ini mengajak nonton teater, peluncuran antologi puisi dan pementasan monolog.
Pada malam pertama, Ibed Surgana Yuga pelaku seni yang sekarang tinggal di Yogyakarta dan merupakan generasi ke sekian yang lahir dari Komunitas Kertas Budaya membawa "oleh-oleh" dokumentasi pementasan teater Kalanari Theatre Movement untuk dibedah dan apresiasi.
Angga Wijaya, generasi angkatan Ibed dengan nostalgia yang sama di Komunitas Kerta Budaya pada malam kedua meluncurkan antologi puisi Catatan Pulang, bersama kawan-kawannya dari Rumah Berdaya, Denpasar.
Terakhir, tamu dari Kendari, Sulawesi Tenggara pendiri dan sutradara Teater Sendiri Achmad Zain mementaskan monolog Kesaksian yang ditutup dengan ngobrol seputar dunia teater.
"Acara ini bukan apa-apa, hanya temu kangen saja dengan kawan-kawan yang sekarang beberapa diantaranya berkarya di luar daerah. Beberapa generasi awal penggiat teater dan sastra di Jembrana hadir. Momentum yang tidak gampang diwujudkan," kata Nanoq.
Revolusi Mental
Meskipun berada di kota kecil, kekuatan cinta Komunitas Kertas Budaya menjadi salah satu simpul kebudayaan sebagai rumah singgah, yang menurut budayawan Jembrana DS Putra, komunitas itu memiliki fungsi strategis dalam membantu negara dan pemerintah menjaga harmoni sosio kultural.
Ia mengatakan, harmoni sosio kultural itu sering luput dari strategi besar pembangunan negara, padahal tujuan revolusi mental saat ini sangat bisa dicapai dengan pendekatan kebudayaan.
"Yang paling tepat untuk mewujudkan revolusi mental adalah dengan pendekatan kebudayaan, karena pendekatan ini masuk hingga ke personal manusia. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan perhatian lebih kepada komunitas-komunitas kebudayaan dan kesenian seperti kertas budaya ini," katanya.
Menurutnya, tidak semua perbaikan prilaku masyarakat bisa didekati dengan sistem formal pemerintahan, namun kebudayaan lewat penerapan komunitas-komunitasnya bisa menjadi kanal bagi berbagai permasalahan sosial.
Posisi Komunitas Kertas Budaya di kota kecil seperti Negara, menurutnya, tidak ada korelasinya dengan kualitas dan kuantitas karya karena komunitas ini juga memiliki jaringan di seluruh Indonesia.
"Apalagi sekarang dengan teknologi informasi yang berkembang dan berjalan cepat, yang seringkali lebih cepat dari pikiran manusia. Pembentukan jaringan kesenian tentu bisa lebih mudah dilakukan," katanya.
Justru dengan berada di kota kecil dan merupakan perlintasan Jawa-Bali, katanya, Komunitas Kertas Budaya tumbuh dengan ciri khas karya maupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
"Yang disebut komunitas sebagai simpul besar kesenian itu kan sebenarnya relatif juga. Bagi saya, Komunitas Kertas Budaya adalah simpul besar kesenian di Kabupaten Jembrana," katanya.
Ya, 19 tahun, Komunitas Kertas Budaya mampu mempertahankan cintanya yang seringkali absurd namun tidak rapuh.
Cinta yang mereka coba tularkan namun tidak dipaksakan kepada siapa saja, termasuk remaja yang sering mengisi halaman dan panggung sederhana komunitas ini dengan latihan-latihan teater, baca puisi, cipta puisi, musik, hingga fotografi dan jurnalistik.
Mengutip penyair legendaris Umbu Landu Paranggi "saat seni sudah meng-kapling hidupmu, maka seumur hidup kamu akan terikat olehnya" yang beberapakali ia lontarkan saat berjumpa dengan penyair-penyair muda Kabupaten Jembrana bertahun-tahun lalu.
Barangkali itu juga yang menjadi keterikatan cinta yang kuat, namun lembut dari sang penjaga dunia kreatif di Jembrana bernama Komunitas Kertas Budaya itu. (GBI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Kami bukanlah organisasi yang mengikatkan diri pada aturan-aturan baku dan sistematis. Kertas Budaya lahir, tumbuh dan berjalan dengan cinta," kata koordinator sekaligus pendiri Komunitas Kertas Budaya, Nanoq da Kansas (13/3).
Berdiri sejak tahun 1999 di sebuah kamar Padukuhan Seni Tibu Bunter di Banjar atau Dusun Satria, Kelurahan Pendem, komunitas ini justru tidak merasakan jatuh bangun, terbukti dengan eksistensi yang tetap terjaga hingga sekarang.
Nanoq mengatakan, dalam peran menjaga kesenian khususnya teater, sastra, musikalisasi puisi hingga seni rupa, dirinya menganggap jatuh bangun hanyalah istilah cengeng orang yang putus asa.
"Komunitas ini lebih percaya dengan istilah patah tumbuh hilang berganti. Ranting bahkan pohon yang patah, pasti akan tumbuh tunas baru yang bisa jadi lebih segar dan kokoh dalam melahirkan karya seni," katanya.
Kekuatan cinta mengarahkan komunitas ini bergerak ke berbagai sisi dunia kesenian dengan berbagai kegiatan, baik bersifat lomba maupun diskusi-diskusi kebudayaan, pementasan teater, monolog, baca puisi hingga sempat menerbitkan jurnal dan tabloid.
Pada awal berdirinya, komunitas yang kini bermarkas di bilangan Jalan Udayana, Kota Negara ini memang menerbitkan jurnal empat halaman dengan kertas maupun pencetakan yang sangat sederhana.
"Tidak ada tujuan tertentu saat kami menerbitkan jurnal tersebut. Hanya niat untuk menampung karya dalam bentuk tulisan kawan-kawan seniman disini," katanya.
Dikelola dan didanai dengan swadaya, jurnal Komunitas Kertas Budaya yang sudah berusia 19 tahun itu bukanlah hasil cetakan mesin canggih, hanya mengandalkan mesin "fotocopy" dengan menggunakan kertas warna cokelat agak tebal.
Distribusi dilakukan bersama-sama ke berbagai institusi maupun individu, dengan menggunakan sepeda gayung setiap bulan sampai sebagian besar individu termasuk Nanoq dipercaya untuk menerbitkan, mencetak dan mengelola Tabloid "Jembrana Post" pada tahun 2000.
Sejak saat itu hingga sekarang, tanpa dirasakan, Komunitas Kertas Budaya menjelma menjadi wadah lintas generasi seniman di Kabupaten Jembrana yang setiap hari berkumpul, berinteraksi, berkarya dan saling mengapresiasi di rompyok atau warung kopi komunitas ini.
Terakhir, selama tiga malam sejak Jumat (9/3) hingga Minggu (11/3), di Jalan Udayana No 26, Kota Negara komunitas ini mengajak nonton teater, peluncuran antologi puisi dan pementasan monolog.
Pada malam pertama, Ibed Surgana Yuga pelaku seni yang sekarang tinggal di Yogyakarta dan merupakan generasi ke sekian yang lahir dari Komunitas Kertas Budaya membawa "oleh-oleh" dokumentasi pementasan teater Kalanari Theatre Movement untuk dibedah dan apresiasi.
Angga Wijaya, generasi angkatan Ibed dengan nostalgia yang sama di Komunitas Kerta Budaya pada malam kedua meluncurkan antologi puisi Catatan Pulang, bersama kawan-kawannya dari Rumah Berdaya, Denpasar.
Terakhir, tamu dari Kendari, Sulawesi Tenggara pendiri dan sutradara Teater Sendiri Achmad Zain mementaskan monolog Kesaksian yang ditutup dengan ngobrol seputar dunia teater.
"Acara ini bukan apa-apa, hanya temu kangen saja dengan kawan-kawan yang sekarang beberapa diantaranya berkarya di luar daerah. Beberapa generasi awal penggiat teater dan sastra di Jembrana hadir. Momentum yang tidak gampang diwujudkan," kata Nanoq.
Revolusi Mental
Meskipun berada di kota kecil, kekuatan cinta Komunitas Kertas Budaya menjadi salah satu simpul kebudayaan sebagai rumah singgah, yang menurut budayawan Jembrana DS Putra, komunitas itu memiliki fungsi strategis dalam membantu negara dan pemerintah menjaga harmoni sosio kultural.
Ia mengatakan, harmoni sosio kultural itu sering luput dari strategi besar pembangunan negara, padahal tujuan revolusi mental saat ini sangat bisa dicapai dengan pendekatan kebudayaan.
"Yang paling tepat untuk mewujudkan revolusi mental adalah dengan pendekatan kebudayaan, karena pendekatan ini masuk hingga ke personal manusia. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan perhatian lebih kepada komunitas-komunitas kebudayaan dan kesenian seperti kertas budaya ini," katanya.
Menurutnya, tidak semua perbaikan prilaku masyarakat bisa didekati dengan sistem formal pemerintahan, namun kebudayaan lewat penerapan komunitas-komunitasnya bisa menjadi kanal bagi berbagai permasalahan sosial.
Posisi Komunitas Kertas Budaya di kota kecil seperti Negara, menurutnya, tidak ada korelasinya dengan kualitas dan kuantitas karya karena komunitas ini juga memiliki jaringan di seluruh Indonesia.
"Apalagi sekarang dengan teknologi informasi yang berkembang dan berjalan cepat, yang seringkali lebih cepat dari pikiran manusia. Pembentukan jaringan kesenian tentu bisa lebih mudah dilakukan," katanya.
Justru dengan berada di kota kecil dan merupakan perlintasan Jawa-Bali, katanya, Komunitas Kertas Budaya tumbuh dengan ciri khas karya maupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
"Yang disebut komunitas sebagai simpul besar kesenian itu kan sebenarnya relatif juga. Bagi saya, Komunitas Kertas Budaya adalah simpul besar kesenian di Kabupaten Jembrana," katanya.
Ya, 19 tahun, Komunitas Kertas Budaya mampu mempertahankan cintanya yang seringkali absurd namun tidak rapuh.
Cinta yang mereka coba tularkan namun tidak dipaksakan kepada siapa saja, termasuk remaja yang sering mengisi halaman dan panggung sederhana komunitas ini dengan latihan-latihan teater, baca puisi, cipta puisi, musik, hingga fotografi dan jurnalistik.
Mengutip penyair legendaris Umbu Landu Paranggi "saat seni sudah meng-kapling hidupmu, maka seumur hidup kamu akan terikat olehnya" yang beberapakali ia lontarkan saat berjumpa dengan penyair-penyair muda Kabupaten Jembrana bertahun-tahun lalu.
Barangkali itu juga yang menjadi keterikatan cinta yang kuat, namun lembut dari sang penjaga dunia kreatif di Jembrana bernama Komunitas Kertas Budaya itu. (GBI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018