Denpasar (Antaranews Bali) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta agar pengaturan tata niaga beras dipangkas untuk memotong rantai distribusi yang panjang sehingga diharapkan dapat menekan kenaikan harga.

"Jika ada marjin di setiap titik, maka tidak bisa dihindari `gap` (celah)  antara harga beras di petani, penggilingan dan di konsumen itu sangat besar," kata Ketua KPPU RI Syarkawi Rauf di Denpasar, Minggu.

Menurut Syarkawi, tata niaga beras di Indonesia setidaknya melalui lima hingga enam titik sebelum sampai di konsumen di antaranya mulai dari petani masuk ke pengepul kemudian penggilingan masuk ke pedagang besar.

Kemudian, lanjut dia, dari penggilingan besar masuk ke distributor beras besar yang memberi label atau merek selanjutnya masuk ke ritel hingga akhirnya dilempar ke pasaran atau konsumen.

Selain rantai niaga beras yang panjang tersebut, Syarkawi juga menyoroti mekanisme pengamatan harga beras selama ini yang dinilai terpaku hanya di Pasar Induk Beras di Cipinang, Jakarta.

Belum lagi, imbuh dia, apabila di pasar induk beras Cipinang hanya ada beberapa pedagang beras besar maka dikhawatirkan hanya mereka yang mengendalikan harga beras sehingga menjadi sistem yang tidak adil dalam usaha.

Padahal, kata dia, Indonesia memiliki setidaknya enam daerah sebagai produsen beras nasional.

Enam provinsi itu yakni Jawa Timur yang memproduksi beras per tahun dari total produksi nasional yakni sekitar 17 persen, Jawa Tengah 15 persen, Jawa Barat 15 persen dan Sulawesi Selatan 7,5 persen.

Selain itu Sumatera Selatan sebesar 5,6 persen, Sumatera Utara 5,6 persen serta Riau dan NTB masing-masing 5 persen dari total sekitar 41 juta produksi beras nasional.

KPPU, kata dia, memantau penurunan volume beras di Pasar Induk Cipinang sejak Desember 2017 hingga pertengahan Januari 2018 dari biasanya sekitar 5.000 ton setiap Senin dan rata-rata 2.500 ton untuk Selasa hingga Kamis.

Namun jumlah tersebut, kata dia, mengalami penurunan menjadi di bawah 5.000 ton atau di bawah 2.500 ton di luar hari Senin.

Padahal minggu ketiga Januari, lanjut dia, sejumlah daerah di Indonesia memasuki masa panen raya.

"Dugaan kami adalah jangan-jangan ada sekelompok pelaku usaha sengaja kurangi pasokan ke pasar yang buat harga bertahan di tingkat tinggi," ujarnya.

Untuk itu, pihaknya mendorong instansi berwenang dalam statistik untuk mempublikasikan data produksi beras sehingga menjadi patokan bagi lembaga lain.

Pihaknya juga mendorong agar dibangun pasar induk baru di luar Jakarta untuk memperkaya referensi beras misalnya di Jawa Timur mengingat provinsi itu sebagai salah satu produsen beras terbesar di Tanah Air.

Dalam jangka waktu menengah, daerah lain juga bisa menjadi pasar induk beras seperti di Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan atau Sumatera Utara.

Diharapkan pasar induk beras baru itu menjadi "hub" atau pusat untuk regional daerah masing-masing.

Misalnya untuk pasar induk beras di Jakarta untuk memasok di wilayah Jawa dan Sumatera sedangkan di Jawa Timur untuk wilayah Indonesia Timur.

Selama ini tata niaga beras nasional, lanjut dia, lebih banyak "bertamasya" karena beras dari Jawa Timur misalnya harus dibawa ke Jakarta terlebih dahulu sebelum dipasarkan ke daerah lain.

"Kenapa tidak langsung dari Jatim ke daerah tujuan?. Kalau seperti begitu akan menambah biaya transportasi tinggi, biaya gudang dan itu yang buat harga beras naik," ucapnya. (*)

Pewarta: Dewa Wiguna

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018