Denpasar (Antara Bali) - Ketua II Pimpinan Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti mengungkapkan, kurangnya pengalaman politik para anggota legislatif menyebabkan banyak dari mereka yang akhirnya menjadi "kutu loncat" atau suka berpindah-pindah partai.
"Mereka yang gagal di partai tertentu, kemudian masuk ke partai lain guna memperoleh kedudukan," katanya di Denpasar, Sabtu.
Menurutnya, fenomena ini semakin sering terjadi karena rekruitmen politik di Indonesia kurang baik. "Sebagian besar anggota dewan adalah mereka yang memiliki uang, dan bukan dari awal sebagai kader partai," ujarnya.
Akibat kondisi yang demikian, kata Ikrar, telah menyebabkan komitmen para anggota legislatif dalam memperjuangkan dan membela aspirasi rakyat, dirasakan masih sangat kurang.
"Akhirnya mereka lebih terfokus untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya, ketimbang memikirkan nasib rakyat yang telah memilihnya," ucapnya.
Selain uang, menurut dia, selama ini terdapat kecenderungan anggota dewan berhasil meraih kursi karena didasarkan popularitas.
"Popularitas menjadikan mereka ujug-ujug mendapatkan jabatan. Itu pula yang melemahkan komitmen anggota legislatif pada partai yang telah mengusungnya," katanya.
Ikrar mengatakan, sebelum seseorang meraih posisi sebagai anggota dewan, seharusnya terlebih dahulu mereka mendapat ujian.
"Ujian dimaksud, dalam artian mereka mempunyai pengalaman aktivitas politik dalam partai selama sekian tahun. Minimal lima tahun duduk di partai, barulah mereka maju sebagai calon legislatif mewakili partai," ucapnya.
Di sisi lain, imbuhnya, sistem kepemiluan di Indonesia yang menganut campuran antara suara terbanyak dan proporsional, memberi peluang adanya anggota partai untuk menjadi "kutu loncat".
Walaupun demikian, kata dia, para pemilih di Indonesia tidak semata-mata mendasarkan pilihan pada calon yang memberikan uang.
"Jangan lupa, pemilih itu belum tentu ingat kepada calon yang memberinya uang. Terlebih, daftar nama calon dalam kertas suara juga banyak, sehingga tak mudah bagi mereka untuk mengingat semuanya," ujar Ikrar menegaskan.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Mereka yang gagal di partai tertentu, kemudian masuk ke partai lain guna memperoleh kedudukan," katanya di Denpasar, Sabtu.
Menurutnya, fenomena ini semakin sering terjadi karena rekruitmen politik di Indonesia kurang baik. "Sebagian besar anggota dewan adalah mereka yang memiliki uang, dan bukan dari awal sebagai kader partai," ujarnya.
Akibat kondisi yang demikian, kata Ikrar, telah menyebabkan komitmen para anggota legislatif dalam memperjuangkan dan membela aspirasi rakyat, dirasakan masih sangat kurang.
"Akhirnya mereka lebih terfokus untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya, ketimbang memikirkan nasib rakyat yang telah memilihnya," ucapnya.
Selain uang, menurut dia, selama ini terdapat kecenderungan anggota dewan berhasil meraih kursi karena didasarkan popularitas.
"Popularitas menjadikan mereka ujug-ujug mendapatkan jabatan. Itu pula yang melemahkan komitmen anggota legislatif pada partai yang telah mengusungnya," katanya.
Ikrar mengatakan, sebelum seseorang meraih posisi sebagai anggota dewan, seharusnya terlebih dahulu mereka mendapat ujian.
"Ujian dimaksud, dalam artian mereka mempunyai pengalaman aktivitas politik dalam partai selama sekian tahun. Minimal lima tahun duduk di partai, barulah mereka maju sebagai calon legislatif mewakili partai," ucapnya.
Di sisi lain, imbuhnya, sistem kepemiluan di Indonesia yang menganut campuran antara suara terbanyak dan proporsional, memberi peluang adanya anggota partai untuk menjadi "kutu loncat".
Walaupun demikian, kata dia, para pemilih di Indonesia tidak semata-mata mendasarkan pilihan pada calon yang memberikan uang.
"Jangan lupa, pemilih itu belum tentu ingat kepada calon yang memberinya uang. Terlebih, daftar nama calon dalam kertas suara juga banyak, sehingga tak mudah bagi mereka untuk mengingat semuanya," ujar Ikrar menegaskan.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011