Denpasar (Antara Bali) - Kementerian Dalam Negeri turun tangan memfasilitasi penyelesaian kisruh anggaran pelaksanaan dan pengawasan Pilkada Bali 2018 dengan merencanakan memanggil pihak-pihak terkait pada 28 November mendatang.
"Tanggal 28 November ini, Bawaslu, KPU Bali, Pemprov, dan DPRD Bali dipanggil ke Jakarta untuk membicarakan ini (soal pemotongan anggaran)," kata Ketua Bawaslu Provinsi Bali Ketut Rudia di sela-sela Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif, di Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Senin.
Rudia mengatakan pihaknya akan tetap bertahan dengan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) yang sudah ditandatangani sebesar Rp62,89 miliar, meskipun ada kesepakatan baru antara eksekutif dan DPRD Bali untuk memangkas anggaran menjadi Rp39 miliar.
"NPHD tersebut adalah komitmen antara Pemprov Bali dengan Bawaslu Bali. Perubahan terhadap isi dari klausul NPHD harus menjadi kesepakatan kedua belah pihak, kalau kami anggap itu akan berbahaya terhadap proses pengawasan yang kami lakukan, kami harus tegas. Itupun pesan dari Bawaslu RI untuk tetap bertahan di NPHD Rp62,89 miliar," ucapnya.
Menurut dia, dengan anggaran dipotong begitu saja menjadi Rp39 miliar, terus terang pihaknya menjadi "gelap" terkait kegiatan mana saja yang akan dibiayai.
"Beberapa mata anggaran juga sudah dieksekusi, apa itu mau ditarik? Honorarium badan adhock saja dalam setahun sekitar Rp23 miliar, belum lagi ditambah dengan biaya sewa sejumlah peralatatan yang vital seperti komputer dan lainnya untuk di tingkat kecamatan dan kabupaten mencapai Rp5 miliar," ujarnya.
Selain itu, lanjut Rudia, anggaran yang harus mutlak ada adalah untuk penanganan sengketa, anggaran untuk Sentra Gakkumdu yang berdasarkan UU itu melekat di Bawaslu Bali dan seluruh pembiayaannya dari Bawaslu.
"Jadi, mari kita berdoa supaya tidak ada sengketa dan kasus pidana pemilu, sehingga anggaran yang dialokasikan bisa kembali ke kas daerah. Yang jelas kami sudah berkomitmen untuk melakukan efisiensi," katanya.
Rudia mengatakan Tim Monitoring Ahli Pilkada dari Kemendagri yang berkunjung ke Bali belum lama ini juga sempat geleng-geleng kepala melihat kekisruhan anggaran pengawasan dan pelaksanaan Pilkada Bali 2018.
"Ini satu-satunya di Indonesia, sudah ada NPHD `ujug-ujug` potong anggaran," ucap mantan Ketua Panwaslu Buleleng itu.
Selain Bawaslu Bali, anggaran dari KPU Bali juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Berdasarkan hasil pembahasan APBD 2018 antara eksekutif dan legislatif Provinsi Bali, diputuskan untuk memotong anggaran yang sudah ditandatangani NPHD-nya sebesar Rp229 miliar lebih menjadi Rp155 miliar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Tanggal 28 November ini, Bawaslu, KPU Bali, Pemprov, dan DPRD Bali dipanggil ke Jakarta untuk membicarakan ini (soal pemotongan anggaran)," kata Ketua Bawaslu Provinsi Bali Ketut Rudia di sela-sela Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif, di Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Senin.
Rudia mengatakan pihaknya akan tetap bertahan dengan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) yang sudah ditandatangani sebesar Rp62,89 miliar, meskipun ada kesepakatan baru antara eksekutif dan DPRD Bali untuk memangkas anggaran menjadi Rp39 miliar.
"NPHD tersebut adalah komitmen antara Pemprov Bali dengan Bawaslu Bali. Perubahan terhadap isi dari klausul NPHD harus menjadi kesepakatan kedua belah pihak, kalau kami anggap itu akan berbahaya terhadap proses pengawasan yang kami lakukan, kami harus tegas. Itupun pesan dari Bawaslu RI untuk tetap bertahan di NPHD Rp62,89 miliar," ucapnya.
Menurut dia, dengan anggaran dipotong begitu saja menjadi Rp39 miliar, terus terang pihaknya menjadi "gelap" terkait kegiatan mana saja yang akan dibiayai.
"Beberapa mata anggaran juga sudah dieksekusi, apa itu mau ditarik? Honorarium badan adhock saja dalam setahun sekitar Rp23 miliar, belum lagi ditambah dengan biaya sewa sejumlah peralatatan yang vital seperti komputer dan lainnya untuk di tingkat kecamatan dan kabupaten mencapai Rp5 miliar," ujarnya.
Selain itu, lanjut Rudia, anggaran yang harus mutlak ada adalah untuk penanganan sengketa, anggaran untuk Sentra Gakkumdu yang berdasarkan UU itu melekat di Bawaslu Bali dan seluruh pembiayaannya dari Bawaslu.
"Jadi, mari kita berdoa supaya tidak ada sengketa dan kasus pidana pemilu, sehingga anggaran yang dialokasikan bisa kembali ke kas daerah. Yang jelas kami sudah berkomitmen untuk melakukan efisiensi," katanya.
Rudia mengatakan Tim Monitoring Ahli Pilkada dari Kemendagri yang berkunjung ke Bali belum lama ini juga sempat geleng-geleng kepala melihat kekisruhan anggaran pengawasan dan pelaksanaan Pilkada Bali 2018.
"Ini satu-satunya di Indonesia, sudah ada NPHD `ujug-ujug` potong anggaran," ucap mantan Ketua Panwaslu Buleleng itu.
Selain Bawaslu Bali, anggaran dari KPU Bali juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Berdasarkan hasil pembahasan APBD 2018 antara eksekutif dan legislatif Provinsi Bali, diputuskan untuk memotong anggaran yang sudah ditandatangani NPHD-nya sebesar Rp229 miliar lebih menjadi Rp155 miliar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017