Denpasar (Antara Bali) - Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha mengingatkan warga Kabupaten Karangasem agar turut menyelamatkan lontar-lontar kuno yang dimiliki dari kemungkinan ancaman bahaya erupsi Gunung Agung.
"Kami sudah mengeluarkan imbauan terkait penyelamatan lontar ini, dan kami pun telah menyiapkan ruangan khusus jika ada warga Karangasem yang mau menitipkan di sini," kata Dewa Beratha, di Denpasar, Jumat.
Pihaknya nanti tidak saja siap menyimpan lontar yang dititipkan, sekaligus akan merawatnya karena Disbud Bali sudah memiliki tim khusus yang bertugas untuk itu.
"Sekarang itu banyak lontar di masyarakat yang hancur karena mereka tidak memahami bagaimana sesungguhnya cara merawat lontar," ujarnya.
Menurut Dewa Beratha, lontar-lontar milik warga di sekitar kawasan rawan bencana Gunung Agung seharusnya turut diselamatkan karena kebudayaan Bali itu hulunya ada pada sastra, dan lontar merupakan sumber sastra.
"Kalau tidak ada sastra, maka tidak mungkin bisa ada kesenian lainnya. Dalam seni lukis, seni tari, tabuh, dan sebagainya, pasti menggali dari seni sastra, karena itu kalau sumber sastra ini habis, maka kebudayaan Bali dalam jangka panjang akan habis juga," ucapnya.
Dia menambahkan, imbauan penyelamatan lontar itu telah disebarkan lewat media sosial sekaligus disosialisasikan oleh para penyuluh bahasa Bali yang selama ini bertugas di masing-masing desa.
"Berdasarkan komunikasi yang kami terima, sejauh ini sudah ada warga di kawasan rawan bencana Gunung Agung, yang telah menitipkan lontar-lontarnya di rumah kerabatnya yang lebih aman, di samping dititipkan di Denpasar lewat Hanacaraka Society," kata Dewa Beratha.
Sementara itu, Sugi Lanus, pendiri Hanacaraka Society mengatakan pihaknya memprediksi jumlah lontar yang terdapat di delapan kecamatan di Kabupaten Karangasem mencapai 8.000 lontar.
"Itu jika kita rata-ratakan dalam satu kecamatan ada 1.000 lontar, padahal pada desa yang kami jadikan sampel, di satu desa saja jumlah lontar masyarakat ada yang hingga 300," ucapnya.
Menurut dia, banyaknya lontar di Kabupaten Karangasem tidak terlepas dari sejarah desa-desa yang mengitari Gunung Agung yang sangat kental dengan tradisi menulisnya, seperti Desa Sidemen, Sibetan, Jungutan dan Budakeling.
Hingga saat ini, ada sekitar 200 lontar warga Karangasem yang telah dibantu penyimpanannya oleh Hanacaraka Society. "Warga ada juga yang menyimpan lontarnya di Dukuh Penaban, Karangasem, karena di daerah tersebut dinilai relatif aman dari bahaya erupsi," ucapnya.
Sugi Lanus menambahkan, dengan momentum kebencanaan ini, setidaknya dapat menjadi pembelajaran bahwa ke depan itu digitalisasi lontar sangat penting.
"Lontar itu tidak saja melulu soal agama, tetapi juga masalah keseharian, nilai politik, pengobatan alternatif, kearifan untuk menjaga hutan, hingga regulasi lokal yang pernah dipraktikkan di wilayah Nusantara sekian abad silam," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Kami sudah mengeluarkan imbauan terkait penyelamatan lontar ini, dan kami pun telah menyiapkan ruangan khusus jika ada warga Karangasem yang mau menitipkan di sini," kata Dewa Beratha, di Denpasar, Jumat.
Pihaknya nanti tidak saja siap menyimpan lontar yang dititipkan, sekaligus akan merawatnya karena Disbud Bali sudah memiliki tim khusus yang bertugas untuk itu.
"Sekarang itu banyak lontar di masyarakat yang hancur karena mereka tidak memahami bagaimana sesungguhnya cara merawat lontar," ujarnya.
Menurut Dewa Beratha, lontar-lontar milik warga di sekitar kawasan rawan bencana Gunung Agung seharusnya turut diselamatkan karena kebudayaan Bali itu hulunya ada pada sastra, dan lontar merupakan sumber sastra.
"Kalau tidak ada sastra, maka tidak mungkin bisa ada kesenian lainnya. Dalam seni lukis, seni tari, tabuh, dan sebagainya, pasti menggali dari seni sastra, karena itu kalau sumber sastra ini habis, maka kebudayaan Bali dalam jangka panjang akan habis juga," ucapnya.
Dia menambahkan, imbauan penyelamatan lontar itu telah disebarkan lewat media sosial sekaligus disosialisasikan oleh para penyuluh bahasa Bali yang selama ini bertugas di masing-masing desa.
"Berdasarkan komunikasi yang kami terima, sejauh ini sudah ada warga di kawasan rawan bencana Gunung Agung, yang telah menitipkan lontar-lontarnya di rumah kerabatnya yang lebih aman, di samping dititipkan di Denpasar lewat Hanacaraka Society," kata Dewa Beratha.
Sementara itu, Sugi Lanus, pendiri Hanacaraka Society mengatakan pihaknya memprediksi jumlah lontar yang terdapat di delapan kecamatan di Kabupaten Karangasem mencapai 8.000 lontar.
"Itu jika kita rata-ratakan dalam satu kecamatan ada 1.000 lontar, padahal pada desa yang kami jadikan sampel, di satu desa saja jumlah lontar masyarakat ada yang hingga 300," ucapnya.
Menurut dia, banyaknya lontar di Kabupaten Karangasem tidak terlepas dari sejarah desa-desa yang mengitari Gunung Agung yang sangat kental dengan tradisi menulisnya, seperti Desa Sidemen, Sibetan, Jungutan dan Budakeling.
Hingga saat ini, ada sekitar 200 lontar warga Karangasem yang telah dibantu penyimpanannya oleh Hanacaraka Society. "Warga ada juga yang menyimpan lontarnya di Dukuh Penaban, Karangasem, karena di daerah tersebut dinilai relatif aman dari bahaya erupsi," ucapnya.
Sugi Lanus menambahkan, dengan momentum kebencanaan ini, setidaknya dapat menjadi pembelajaran bahwa ke depan itu digitalisasi lontar sangat penting.
"Lontar itu tidak saja melulu soal agama, tetapi juga masalah keseharian, nilai politik, pengobatan alternatif, kearifan untuk menjaga hutan, hingga regulasi lokal yang pernah dipraktikkan di wilayah Nusantara sekian abad silam," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017