Denpasar (Antara Bali) - Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Bali I Gede Putu Jaya Suartama mengatakan generasi muda harus mengambil peran dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan masalah terorisme di Indonesia.
"Ancaman terorisme saat ini tidak saja tertuju pada keamanan masyarakat, melainkan bisa membahayakan pondasi keamanan nasional yang telah menjadi empat konsensus dasar nasional, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI," kata Jaya Suartama pada acara "Dialog Pelibatan Komunitas Seni Sastra dalam Pencegahan Terorisme" di Hotel Jimbaran Bay, Kabupaten Badung, Bali, Kamis.
Ia mengatakan apabila mencermati permasalahan mengenai terorisme yang berkembang di Indonesia, yaitu dari sejak era orde baru telah ada gerakan pemberontakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia, PRRI, Permesta maupun RMS.
Pada era orde baru, kata dia, teror banyak dilakukan oleh sisa-sisa jaringan DI dan Jamaah Oslamiah yang memiliki kaitan dengan Al Qaedah.
Jaya Suartama mengatakan strategi penanggulangan yang dipergunakan pada era orde lama adalah strategi militer. Sedangkan pada zaman orde baru adalah strategi intelijen, ditandai dengan dibentuknya Bakorstans dan Kopkamtib.
Namun era reformasi, strateginya lebih mengedepankan pendekatan penegakkan hukum yang menempatkan kepolisian bersama dengan segenap komponen masyarakat sebagai ujung tombak penanggulangan terorisme.
"Sebagai negara yang menjunjung tinggi penegakkan hukum, sintitusi yang ada tentu tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, dibutuhkan adanya koordinasi dan kerja sama yang efektif antarlembaga dan aparatur penegak hukum dalam menanggani terorisme," ujarnya.
Dikatakan, penegakan hukum tersebut yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 yang menetapkan Peraturan Perintah Nomor 1 tahun 2012 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Demikian pula halnya, kata dia, pemerintah bersama lembaga legislasi nasional juga telah menetapkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Sementara itu, Ketua Panitia Kegiatan Dialog Pelibatan Komunitas Seni Budaya dan Pencegahan Terorime, kerja sama BNPT dengan FKPT Bali, Wayan Gede Suyatartha mengatakan kegiatan ini dihadiri dari kalangan pelajar, mahasiswa, organisasi pemuda dan guru sekolah.
"Tujuannya ingin memberi sosialisasi mengenai bahaya dari ancaman terorisme. Oleh karena itu sejak dini semua elemen masyarakat harus mampu berbuat dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme," ujarnya.
Ia mengharapkan momentum tersebut dapat menyamakan persepsi dan menggali permasalahan yang didiskusikan, terutama yang berkaitan dengan perkembangan terorisme global, regional maupun secara nasional.
"Saya berharap dalam diskusi kali ini menemukan formulasi yang tepat dan efektif dalam menghadapi tersangka atau pelaku tindak pidana teroris sesuai dengan konsepnya Tri Tunggal, yaitu preventif, refresif dan rehabilitasi," katanya.
Pada kesempatan tersebut juga menghadirkan sastrawan dan budayawan sebagai narasumber, antara lain Samar Gantang dan Putri Suastini. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Ancaman terorisme saat ini tidak saja tertuju pada keamanan masyarakat, melainkan bisa membahayakan pondasi keamanan nasional yang telah menjadi empat konsensus dasar nasional, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI," kata Jaya Suartama pada acara "Dialog Pelibatan Komunitas Seni Sastra dalam Pencegahan Terorisme" di Hotel Jimbaran Bay, Kabupaten Badung, Bali, Kamis.
Ia mengatakan apabila mencermati permasalahan mengenai terorisme yang berkembang di Indonesia, yaitu dari sejak era orde baru telah ada gerakan pemberontakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia, PRRI, Permesta maupun RMS.
Pada era orde baru, kata dia, teror banyak dilakukan oleh sisa-sisa jaringan DI dan Jamaah Oslamiah yang memiliki kaitan dengan Al Qaedah.
Jaya Suartama mengatakan strategi penanggulangan yang dipergunakan pada era orde lama adalah strategi militer. Sedangkan pada zaman orde baru adalah strategi intelijen, ditandai dengan dibentuknya Bakorstans dan Kopkamtib.
Namun era reformasi, strateginya lebih mengedepankan pendekatan penegakkan hukum yang menempatkan kepolisian bersama dengan segenap komponen masyarakat sebagai ujung tombak penanggulangan terorisme.
"Sebagai negara yang menjunjung tinggi penegakkan hukum, sintitusi yang ada tentu tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, dibutuhkan adanya koordinasi dan kerja sama yang efektif antarlembaga dan aparatur penegak hukum dalam menanggani terorisme," ujarnya.
Dikatakan, penegakan hukum tersebut yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 yang menetapkan Peraturan Perintah Nomor 1 tahun 2012 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Demikian pula halnya, kata dia, pemerintah bersama lembaga legislasi nasional juga telah menetapkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Sementara itu, Ketua Panitia Kegiatan Dialog Pelibatan Komunitas Seni Budaya dan Pencegahan Terorime, kerja sama BNPT dengan FKPT Bali, Wayan Gede Suyatartha mengatakan kegiatan ini dihadiri dari kalangan pelajar, mahasiswa, organisasi pemuda dan guru sekolah.
"Tujuannya ingin memberi sosialisasi mengenai bahaya dari ancaman terorisme. Oleh karena itu sejak dini semua elemen masyarakat harus mampu berbuat dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme," ujarnya.
Ia mengharapkan momentum tersebut dapat menyamakan persepsi dan menggali permasalahan yang didiskusikan, terutama yang berkaitan dengan perkembangan terorisme global, regional maupun secara nasional.
"Saya berharap dalam diskusi kali ini menemukan formulasi yang tepat dan efektif dalam menghadapi tersangka atau pelaku tindak pidana teroris sesuai dengan konsepnya Tri Tunggal, yaitu preventif, refresif dan rehabilitasi," katanya.
Pada kesempatan tersebut juga menghadirkan sastrawan dan budayawan sebagai narasumber, antara lain Samar Gantang dan Putri Suastini. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017