Perjalanan kopi di Bali telah mengalami perjalanan cukup panjang, dan telah ratusan tahun silam turut berkontribusi mewarnai cita rasa kuliner dunia.

Merujuk tulisan KF van Delden Laerne dalam buku "Brazilie En Java: Verslag over de Koffecultuur in America, Azie en Africa", kopi Bali disebut-sebut telah diekspor ke mancanegara sejak tahun 1825.

"Luas lahan kopi mengalami masa-masa pasang dan surut. Sesuai dengan kondisi politik dan peristiwa alam. Pada tahun 1970-an, lahan kopi di Bali tersisa seluas 3.000 hektare," ujar Hendarto Setyobudi, pengelola Pabrik Pengolahan Kopi Arabika Mengani.

Pada periode 1978/1979, Dinas Perkebunan Bali (Disbun) Provinsi Bali melakukan penanaman kopi hingga mencapai 9.000 hektare melalui Proyek Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor. Proyek ini mendapat bantuan dari PT Perkebunan XXVI (kini PTPN XII).

Tahun 1992, PT Perkebunan XXVI mendirikan pabrik pengolahan kopi di Desa Mengani, Kecamatan Kintamani, Bangli. Pabrik dibangun dengan dana dari Bank Indonesia di atas lahan seluas 3 hektare. Tujuan pendirian pabrik ialah untuk memperbaiki kembali kualitas dan mengangkat kembali reputasi kopi Arabika Kintamani Bangli di pasar dunia.

Selanjutnya, tahun 1994, PTPN XII menyerahkan sepenuhnya pengelolaan Pabrik Mengani kepada Pemkab Bangli. Setahun berikutnya, Pemkab Bangli melakukan kerja sama dengan pihak swasta, dalam mengelola Pabrik Pengolahan Kopi Mengani.

Namun, realitasnya terjadi kemunduran terhadap laju usaha kopi akibat gagal panen yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Kegagalan panen ini, tidak hanya disebabkan oleh anomali cuaca.

Faktor lainnya, karena masyarakat kurang fokus mengurus kebun kopinya secara benar, sehingga hasil panennya tidak maksimal. Hal ini disebabkan masyarakat memiliki pilihan untuk bertanam jenis tanaman lain yang dinilai lebih produktif dan bernilai ekonomis, sehingga tanaman kopi tidak lagi dipandang sebagai komoditas unggulan di area perkebunannya.

Petani di Bali memiliki beberapa alternatif bertanam selain kopi. Misalnya, menanam jeruk, tanaman bunga gumitir, atau bahkan beralih profesi sebagai pemandu wisata. Kondisi ini tidak seperti di beberapa daerah di Afrika, yang penduduknya tidak memiliki pilihan lain selain menanam kopi. Akhirnya, sebagian penduduk Afrika fokus bertanam kopi. Beberapa tahun belakangan ini, hasil panen petani Afrika terbilang maksimal secara kualitas dan kuantitas, serta berkontribusi menjadi pemasok kopi dunia.

            
Jamaica-Hawai

Belakangan, produktivitas kopi di wilayah Kintamani merosot tajam. Kondisi ini diakibatkan penuaan pohon, konversi lahan dan terlalu banyak varietas kopi di setiap hektare-nya.

"Untuk menyejahterakan masyarakat, maka Perkebunan Kopi Mengani memiliki harapan untuk mengembalikan era keemasan perkebunan kopi di dataran tinggi Kintamani, dan dapat memperluas lahan menjadi minimal 9.000 hektare, seperti tahun 1978/1979," ujar Hendarto yang dikenal sebagai barista itu.

Terkait kompetitifnya negara pemasok kopi dunia dari sisi kuantitas, maka Pabrik Pengolahan Kopi Mengani memiliki misi ingin meningkatkan kualitas kopi Arabika Kintamani. Setidaknya agar kopi Arabika Kintamani bisa setaraf dengan kopi dari Hawai dan Jamaica yang telah lama kondang di mancanegara.

Langkah agar bisa mencapai kesetaraan itu, kata dia, dengan menjadikan kopi Arabika Kintamani supaya berkualitas super dan memperbaiki manajemen lahan perkebunan. Saat ini, lahan pembenihan Mengani menjadi pusat pembibitan kopi terbesar di Bali. Tahun lalu, telah dipelihara 500.000 benih. Bibit pohon kopi terdiri dari 19 varietas.

Dia melanjutkan, Pabrik Mengani telah menerapkan konsep 'zero waste management'. Semua unsur bahan yang diperoleh dari setiap butir kopi, diolah untuk menghasilkan produk yang menghasilkan nilai tambah. Bahkan Pabrik Mengani telah menjadi produsen tepung buah kopi pertama di Indonesia dan kedua di dunia. Limbah kulit kopi diolah menjadi briket bahan bakar.

Demi meningkatkan kembali nama kopi Arabika, maka pihak Pabrik Mengani berharap agar pemerintah bisa memberikan bantuan lahan kosong untuk bertanam kopi.

Secara ideal, kopi tumbuh pada dataran dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (dpl). Namun jika kawasan dengan ketinggian 900 meter telah ditanami jenis tanaman lain, maka harapan untuk memperluas areal bertanam kopi menjadi susah dikembangkan.

Pada masa ini, ketika mencapai puncak panen antara bulan Mei-September, maka Pabrik Mengani dapat mengolah 40 ton kopi per hari. Kopi-kopi ini berasal dari tiga kabupaten, yakni Tabanan (Bedugul), Petang (Badung), dan Kintamani (Bangli).


Kopi Istana Negara

Hasil olahan Pabrik Mengani memang telah lama diekspor ke berbagai negara. Namun sebenarnya, pabrik ini membidik agar produk kopi olahan ini dapat eksis di dalam negeri dan menghidupkan 'roastery' lokal.

"Kami ingin bermain di kualitas, agar bisa sejajar dengan kopi terbaik dunia lainnya. Bayangkan, kopi Brazil itu kalau dihargai 3,8 dolar AS per-kilogram, petaninya masih bisa menari samba. Tapi di Indonesia, kopi kita dibeli dengan harga 5,5 dolar AS atau 7,5 dolar AS pun, petani masih nangis-nangis," tuturnya.

Dengan nada ironi, ia menilai kopi Indonesia sebenarnya termahal di dunia, dan tiap tahun petani selalu minta harga beli kopinya naik dengan alasan untuk perawatan kebun, namun realitasnya, kebun kopi tidak ada dirawat maksimal.

Kebanggaan yang baru saja diterima Pabrik Mengani, pada tanggal 15,16 dan 17 Agustus lalu, telah diundang ke istana untuk menjamu sajian kopi Arabika Kintamani kepada tamu berbagai negara yang berkunjung ke Istana Negara.

Saat itu, pihak Pabrik Mengani mempersiapkan 200 kg kopi bagi tamu kehormatan. Ternyata, sajian kopi itu diterima dengan baik dan para tamu undangan sangat terkesan dengan cita rasa kopi Arabika Kintamani tersebut.

"Bahkan Ibu Iriana Jokowi yang biasanya tidak suka minum kopi, malah tertarik ingin mencicipi kopi Arabika Kintamani. Beliau langsung menyukai cita rasanya," ujar Hendarto dengan ekspresi sumringah. (*)

-----------------
*) Penulis adalah penulis artikel lepas yang tinggal di Bali.

Pewarta: Oleh Tri Vivi Suryani *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017