Denpasar (Antara Bali) - Ikatan Korban Napza (Ikon) Bali terus mendorong implementasi kebijakan rehabilitasi bagi pengguna narkotika yang selama ini dinilai masih banyak mengalami hambatan.

"Implementasinya ada saja kendala yang dihadapi. Belum lagi semua institusi terkesan berlomba-lomba dalam penanganan assessment," kata Koordinator Ikon Bali Ngurah Kertajaya di sela-sela kegiatan diskusi, di Denpasar, Sabtu (22/7) malam.

Menurut Kertajaya, mekanisme assessment pecandu ada di beberapa institusi, seperti di Badan Narkotika Nasional, polisi, gabungan antara polisi, psikolog dan kejaksaan, termasuk juga di institusi penerima wajib lapor di bawah Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial.

"Kami sebenarnya sudah mendorong implementasi kebijakan rehabilitasi bagi pengguna sejak 2006 dan berupaya mengkampanyekan pecandu sebagai korban yang dilakukan melalui kampanye di sekolah dan bahkan sampai ke institusi penegak hukum," ujar Kertajaya.

Perspektif rehabilitasi sebelumnya muncul karena diketahui secara keilmuan di bidang kesehatan bahwa pengguna narkotika mengarah pada kecanduan dianggap sebagai suatu penyakit, yang disebut dengan penyakit kambuhan bersifat kronis. Oleh karena itu penanganannya harus berbentuk rehabilitasi.

Hanya saja persoalannya, masih adanya oknum-oknum petugas yang melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme. Sehingga penegakan rehabilitasi hanya bagi mereka yang punya akses tersebut dan terkesan belum merata.

Jika dihitung secara kasar, dari 10 kasus narkotika yang ditangani, mungkin hanya satu kasus yang berakhir secara formal ke rehabilitasi di panti rehabilitasi. Tiga di antaranya adalah penghukuman walaupun dalam kurun waktu singkat antara enam bulan sampai satu tahun. Sisanya penghukuman penuh, antara empat sampai tujuh tahun.

Sementara itu, I Made Adi Mantara, anggota Ikon Bali lainnya menambahkan bahwa penerapan vonis atau kebijakan rehabilitasi harus melalui beberapa langkah sebagaimana sudah diatur dalam aturan turunan beberapa institusi, seperti di kepolisian, BNN, kejaksaan dan Mahkamah Agung.

Sejumlah unsur yang harus dipenuhi seperti hasil tes urine harus positif, ada hasil assement yang menyatakan bersangkutan pengguna (baik dari BNN atau polisi), harus ada sejarah pernah dirawat (baik rumah sakit, LSM maupun institusi perawatan lain yang ditunjuk oleh negara), dan unsur-unsur lainnya yang diakui secara hukum.

"Sayangnya tidak banyak pengguna ataupun keluarga mengetahui terkait mekanisme ini dan penerapan rehabilitasi terkendala akibat tidak terpenuhinya semua unsur itu," ujar Adi yang juga Direktur Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) itu.

Selain belum berjalanannya vonis rehabilitasi bagi korban napza, pelanggaran HAM dalam proses penegakan hukum pun masih terjadi. "Kalau dulu bentuk pelanggarannya berbentuk kekerasan dalam penyidikan tetapi kalau sekarang bentuknya pemerasan tawar menawar pasal. Itu sudah menjadi rahasia umum," ucap Wayan Dita, anggota Ikon Bali lainnya.

Hal tersebut berkaitan dengan pelaksanaan penegakan hukum pidana di Indonesia yang memberi ruang pada polisi dan kejaksanaan saja yang memiliki dominasi dalam proses pembuktian.

"Padahal, kalau kita berbicara narkotika, penanganannya melibatkan unsur kesehatan seperti dokter, psikolog, psikiatri, LSM dan lainnya. Dalam penegakan diagnosisnya sebenarnya tidak melibatkan unsur hukum, seperti polisi maupun BNN. Tetapi justru hasil assessment yang diakui hanya milik mereka. Bagaimana `nggak terjadi pelanggaran HAM?," ucap Dita mempertanyakan.

Oleh karena itu, Ikon Bali berharap kebijakan narkotika yang dijalankan dapat melindungi masyarakat dari bahaya narkotika. Informasi yang disediakan pun bukan informasi yang menakut-nakuti.

Selain itu, penanganan tegas dan konsisten terhadap pengguna bisa dilakukan dengan memfasilitasi berbagai bentuk rehabilitasi yang ada, tidak hanya berpangku pada satu metode rehabilitasi yang harus menginap dan di dalam sel seperti saat ini.

"Dengan demikian, masyarakat tidak akan takut untuk mengakses rehabilitasi, baik melaporkan diri dan bersedia untuk menjalankan perawatan rehabilitasi secara sukarela tanpa tekanan," kata Dita. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017