Denpasar (Antara Bali) - Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta bersama sejumlah siswa dan orang tuanya menemui Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) setempat, terkait kisruh penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2017-2018.
"Ya, saya tadi ada orang tua siswa menghubungi agar didampingi untuk bertemu dengan Kadis Disdikpora Bali. Karena sudah sejak pagi hari mendatangi kantor tersebut tidak ada yang memberi informasi terkait kisruhnya PPDB, sebab banyak siswa miskin dan berprestasi tapi tidak diterima di sekolah karena terbentur zona lingkungan," kata Parta setelah bertemu Disdikpora mendampingi orang tua siswa, di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan mengacu pada Peraturan Gubernur Bali Nomor 40 Tahun 2017 Tentang PPDB SMA dan SMK Negeri, maka siswa miskin dan berprestasi harus bisa ditampung pada sekolah negeri.
"Jadi dengan Pergub Bali tersebut saya harapkan tidak ada lagi siswa miskin maupun berprestasi bidang akademik maupun olahraga, baik tingkat kabupaten, kota, nasional hingga internasional yang tidak ditampung di sekolah SMA dan SMK negeri," kata politikus asal Desa Guwang, Kabupaten Gianyar.
Parta menegaskan dalam Pergub Bali acuan dan landasan hukumnya sudah sangat jelas. Bahwa bagi siswa dari keluarga miskin harus diterima di sekolah negeri, begitu juga siswa berprestasi yang dinyatakan lolos seleksi harus diterima di sekolah bersangkutan. Hal ini tidak lagi mengacu zona lingkungan.
"Dalam hal ini bukan semata-mata NEM yang menjadi acuan dalam penerimaan siswa miskin untuk diterima di sekolah negeri. Kalau melihat latar belakang pendidikan, siswa miskin tidak mencapai nilai tinggi, karena banyak faktor. Salah satunya bagaimana bisa dari keluarga miskin akan mendapatkan belajar yang efektif dan fasilitas memadai. Sebab sepulang sekolah mereka harus membantu orang tuanya bekerja," ujarnya.
Menurut Parta, sangat berbeda dengan siswa dari keluarga mampu. Karena dukungan orang tua termasuk fasilitas, waktu belajar, juga pemenuhan gizi hidupnya sangat terpenuhi. Maka wajarlah mereka bisa meraih NEM tertinggi.
"Kalau sekolah negeri dengan siswa yang kehidupannya mapan maka wajar saja mereka nilainya tinggi dan mengejar prestasi setinggi-tingginya, karena mereka juga mengikuti jam pelajaran luar sekolah (les private). Kalau kondisi seperti ini bukan juga semata-mata gurunya mengajarnya paling hebat," katanya.
Tapi kalau ada sekolah negeri, kata Parta, yang sebagaian besar siswa dari kelurga miskin, terus siswanya mampu berprestasi, itu baru guru pengajarnya hebat dan berprestasi.
"Oleh karena itu, jika siswa miskin itu mendapatkan keadilan sama dengan keluarga mapan. Mungkin saja yang dulunya siswa kelihatannya bodoh dan nilai ujiannya rendah. Justru bisa lebih hebat dari siswa keluarga mapan," ujarnya.
Parta lebih lanjut mengharapkan dengan Pergub Bali yang telah terbitkan, maka permasalahan PPDB di Pulau Dewata tidak jadi persoalan lagi.
"Untuk itu saya juga meminta agar Gubernur Bali menindaklanjuti Pergub ini disampaikan kepada pemerintah pusat. Sebab keberadaan Permendiknas Nomor 17 tahun 2017 justru membuat kekisruhan dalam PPDB," katanya.(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Ya, saya tadi ada orang tua siswa menghubungi agar didampingi untuk bertemu dengan Kadis Disdikpora Bali. Karena sudah sejak pagi hari mendatangi kantor tersebut tidak ada yang memberi informasi terkait kisruhnya PPDB, sebab banyak siswa miskin dan berprestasi tapi tidak diterima di sekolah karena terbentur zona lingkungan," kata Parta setelah bertemu Disdikpora mendampingi orang tua siswa, di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan mengacu pada Peraturan Gubernur Bali Nomor 40 Tahun 2017 Tentang PPDB SMA dan SMK Negeri, maka siswa miskin dan berprestasi harus bisa ditampung pada sekolah negeri.
"Jadi dengan Pergub Bali tersebut saya harapkan tidak ada lagi siswa miskin maupun berprestasi bidang akademik maupun olahraga, baik tingkat kabupaten, kota, nasional hingga internasional yang tidak ditampung di sekolah SMA dan SMK negeri," kata politikus asal Desa Guwang, Kabupaten Gianyar.
Parta menegaskan dalam Pergub Bali acuan dan landasan hukumnya sudah sangat jelas. Bahwa bagi siswa dari keluarga miskin harus diterima di sekolah negeri, begitu juga siswa berprestasi yang dinyatakan lolos seleksi harus diterima di sekolah bersangkutan. Hal ini tidak lagi mengacu zona lingkungan.
"Dalam hal ini bukan semata-mata NEM yang menjadi acuan dalam penerimaan siswa miskin untuk diterima di sekolah negeri. Kalau melihat latar belakang pendidikan, siswa miskin tidak mencapai nilai tinggi, karena banyak faktor. Salah satunya bagaimana bisa dari keluarga miskin akan mendapatkan belajar yang efektif dan fasilitas memadai. Sebab sepulang sekolah mereka harus membantu orang tuanya bekerja," ujarnya.
Menurut Parta, sangat berbeda dengan siswa dari keluarga mampu. Karena dukungan orang tua termasuk fasilitas, waktu belajar, juga pemenuhan gizi hidupnya sangat terpenuhi. Maka wajarlah mereka bisa meraih NEM tertinggi.
"Kalau sekolah negeri dengan siswa yang kehidupannya mapan maka wajar saja mereka nilainya tinggi dan mengejar prestasi setinggi-tingginya, karena mereka juga mengikuti jam pelajaran luar sekolah (les private). Kalau kondisi seperti ini bukan juga semata-mata gurunya mengajarnya paling hebat," katanya.
Tapi kalau ada sekolah negeri, kata Parta, yang sebagaian besar siswa dari kelurga miskin, terus siswanya mampu berprestasi, itu baru guru pengajarnya hebat dan berprestasi.
"Oleh karena itu, jika siswa miskin itu mendapatkan keadilan sama dengan keluarga mapan. Mungkin saja yang dulunya siswa kelihatannya bodoh dan nilai ujiannya rendah. Justru bisa lebih hebat dari siswa keluarga mapan," ujarnya.
Parta lebih lanjut mengharapkan dengan Pergub Bali yang telah terbitkan, maka permasalahan PPDB di Pulau Dewata tidak jadi persoalan lagi.
"Untuk itu saya juga meminta agar Gubernur Bali menindaklanjuti Pergub ini disampaikan kepada pemerintah pusat. Sebab keberadaan Permendiknas Nomor 17 tahun 2017 justru membuat kekisruhan dalam PPDB," katanya.(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017