Denpasar (Antara Bali) - Budayawan Profesor Doktor I Made Bandem mengingatkan dalam pengembangan kesenian Gambuh sebagai sumber dari tari Bali agar jangan sampai menghilangkan ciri khasnya.

"Lewat semiloka ini, harapan kami di samping bisa mengembangkan Gambuh, tetapi jangan sampai menghilangkan kekhasannya seperti `agem, tandangnya, maupun jalannya," kata Bandem saat menjadi pembicara pada Semiloka Pesta Kesenian Bali Ke-39 di Denpasar, Jumat.

Menurut dia, Gambuh memiliki pakem seni yang adiluhung dan merupakan dramatari yang paling tua serta dianggap sebagai sumber tari Bali. Kesenian ini diperkirakan berasal dari zaman Dalem Waturenggong sekitar abad ke-16.

"Gambuh dari dahulu sudah terbuka untuk pengembangan modernisasi. Sebagai contoh, Gambuh yang awalnya menggunakan cerita Panji, pernah juga dengan mengambil cerita Islam maupun Calonarang, bahkan pada tahun 1975 sudah dibuat Gambuh Anyar," ujarnya.

Gambuh yang awalnya hanya diiringi dengan suling panjang dan rebab setelah dibuat Gambuh Anyar diiringi dengan gamelan semara pagulingan. Tujuannya saat itu agar gambuh cepat diketahui gending-gendingnya oleh anak muda. Pasalnya, kalau tetap dengan suling panjang dan rebabnya, tentu lebih sulit dipelajari.

"Pengembangan Gambuh Anyar itu sekaligus untuk menjembatani dalam mempelajari Gambuh. Gambuh juga pernah memiliki masa suram sebelum 1965 karena tersangkut dengan situasi politik yang tidak memperbolehkan adanya tarian yang berbau feodal," kata Bandem.

Ia tidak memungkiri membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mempelajari Gambuh karena tariannya memang susah, komposisinya berat, dan bahasanya juga susah dipelajari.

Hal senada disampaikan dosen Pascasarjana ISI Denpasar Prof. Dr. I Wayan Dibia bahwa Gambuh Anyar telah menjadi bagian dan telah ikut mewarnai kehidupan seni Pegambuhan di Bali.

"Memang kehadiran Gambuh Anyar selama ini telah mengundang pro dan kontra di kalangan para pencinta seni, terutama mereka yang fanatik dari kesenian yang sering diidentikkan dengan dramatari Panji itu," ujarnya.

Dalam pengembangan Gambuh Anyar ada beberapa hal yang menjadi catatan. Misalnya, jika menggunakan lakon baru, baik yang diambil dari cerita Panji maupun lainnya, hendaknya lakon tersebut tetap diformat dengan pola pegambuhan dengan memperhatikan struktur formal pegambuhan yang ada.

"Penampilan adegan lucu yang berlebihan bisa merusak suasana formal pertunjukan Gambuh," ucapnya.

Selain itu, ketika melakukan pemadatan terhadap bagian-bagian pertunjukan, hendaknya dilakukan dengan hati-hati. Misalnya, terhadap pengulangan yang tidak perlu.

"Pemotongan hendaknya tidak dilakukan terhadap gerak-gerak khas gaya lokal Pegambuhan yang ada," kata Dibia. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017