Jakarta (Antara Bali) - Wakil Ketua Bidang Humas, Riset dan Informasi Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Pusat Indra Laksana mengatakan kalangan penerbit telah memahami konsekuensi dari digitalisasi dan sudah bersiap memasuki era digital.
"Basis kekuatan penerbit sebenarnya adalah isi atau konten. Bicara media, bisa berupa fisik atau digital. Beberapa penerbit konvensional sudah mempersiapkan diri ke ranah 'e-book'," kata Indra dihubungi di Jakarta, Rabu.
Upaya memasuki era digital itu juga digalakkan oleh IKAPI lewat kerja sama dengan berbagai pihak untuk menyediakan buku-buku digital atau "e-book" untuk masyarakat, termasuk perpustakaan-perpustakaan yang menginginkan buku digital.
Menurut Indra, usaha yang paling terpengaruh dengan digitalisasi adalah percetakan. Namun, mayoritas penerbit saat ini masih menikmati marjin dari penjualan buku cetakan, sehingga perlu menyesuaikan diri dengan era digital.
"Apakah ini senjakala bagi penerbit? Tidak juga. Toh banyak juga media digital yang awalnya adalah media fisik. Yang penting adalah siap menerima perubahan," tuturnya.
Meskipun penerbit bersiap memasuki era digital, Indra mengatakan masyarakat Indonesia masih lebih banyak memilih buku fisik daripada digital.
"Penjualan 'e-book' masih jauh. Riset yang dilakukan IKAPI pada 2016, rata-rata 'e-book' yang diunduh adalah yang gratis. Kalau harus membeli, masyarakat masih memilih buku fisik," katanya.
Menurut Indra, hal itu disebabkan kebiasaan membaca buku yang berbeda dengan membaca berita di koran. Masyarakat bisa lebih nyaman membaca berita di media digital, tetapi ternyata tidak untuk membaca buku. Karena itu, saat memerlukan bacaan yang mendalam dan lengkap, buku fisik masih menjadi pilihan.
"Menurut riset di Amerika Serikat, ternyata ada sensasi membaca buku fisik yang belum bisa digantikan oleh media digital, misalnya sentuhan tangan untuk membalikkan halaman, bau atau aroma buku dan interaksi mata yang berbeda antara buku dengan layar," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Basis kekuatan penerbit sebenarnya adalah isi atau konten. Bicara media, bisa berupa fisik atau digital. Beberapa penerbit konvensional sudah mempersiapkan diri ke ranah 'e-book'," kata Indra dihubungi di Jakarta, Rabu.
Upaya memasuki era digital itu juga digalakkan oleh IKAPI lewat kerja sama dengan berbagai pihak untuk menyediakan buku-buku digital atau "e-book" untuk masyarakat, termasuk perpustakaan-perpustakaan yang menginginkan buku digital.
Menurut Indra, usaha yang paling terpengaruh dengan digitalisasi adalah percetakan. Namun, mayoritas penerbit saat ini masih menikmati marjin dari penjualan buku cetakan, sehingga perlu menyesuaikan diri dengan era digital.
"Apakah ini senjakala bagi penerbit? Tidak juga. Toh banyak juga media digital yang awalnya adalah media fisik. Yang penting adalah siap menerima perubahan," tuturnya.
Meskipun penerbit bersiap memasuki era digital, Indra mengatakan masyarakat Indonesia masih lebih banyak memilih buku fisik daripada digital.
"Penjualan 'e-book' masih jauh. Riset yang dilakukan IKAPI pada 2016, rata-rata 'e-book' yang diunduh adalah yang gratis. Kalau harus membeli, masyarakat masih memilih buku fisik," katanya.
Menurut Indra, hal itu disebabkan kebiasaan membaca buku yang berbeda dengan membaca berita di koran. Masyarakat bisa lebih nyaman membaca berita di media digital, tetapi ternyata tidak untuk membaca buku. Karena itu, saat memerlukan bacaan yang mendalam dan lengkap, buku fisik masih menjadi pilihan.
"Menurut riset di Amerika Serikat, ternyata ada sensasi membaca buku fisik yang belum bisa digantikan oleh media digital, misalnya sentuhan tangan untuk membalikkan halaman, bau atau aroma buku dan interaksi mata yang berbeda antara buku dengan layar," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017