Denpasar (Antara Bali) - Sastrawan Bali dinilai getol menulis tema konflik kasta, baik dalam bentuk puisi, cerpen, drama, maupun novel.
Konflik kasta telah menjadi tema utama karya sastra penulis Bali sejak zaman kolonial (1920-an) dan muncul berulang sampai sekarang, kata dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Dr I Nyoman Darma Putra, Senin (18/4) malam.
Ia menyampaikan hal itu dalam diskusi "Sastrawan Bali, dari Masa Kolonial hingga Kini" di Bentara Budaya Bali (BBB) Jalan By Pass Ida Bagus Mantra, Gianyar.
"Para pengarang kita yang menulis dalam bahasa Indonesia, biasanya menganggap perbedaan kasta mengingkari nilai kemanusiaan," ucapnya.
Kasta adalah sistem stratifikasi sosial berdasarkan kelahiran. Dalam diskusi sastra itu dibahas buku A Literary Mirror; Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century (2011) karya Darma Putra yang baru saja diterbitkan KITLV Press, Leiden.
Buku itu merupakan revisi atas disertasi Darma Putra yang dikerjakan ketika meraih gelar doktor dari School of Languages and Comparative Cultural Studies di University of Queensland, Australia.
Menurut Darma Putra, karya sastra modern pertama yang mengangkat konflik kasta adalah sebuah drama atau tonil berjudul "Kesetiaan Perempuan" yang dimuat bersambung di koran Surya Kanta tahun 1926.
Nama penulis tonil itu tidak disebutkan alias anonim, tetapi isinya jelas-jelas gagasan penolakan terhadap perbedaan status berdasarkan kelahiran (sistem kasta).
"Drama ini berpesan sistem kasta harus dihapus dan status seseorang semestinya ditentukan oleh budi dan prestasi intelektualitasnya," ujarnya.
Dalam perkembangan sesudah kemerdekaan, kata Darma Putra, tema konflik kasta juga diangkat oleh sastrawan lain, seperti Nyoman Rasta Sindhu, Putu Wijaya, Gde Aryantha Soethama, dan Oka Rusmini.
Cerpen karya Rasta Sindhu "Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar" yang mengangkat tema konflik kasta berhasil meraih hadiah sastra Horison sebagai cerpen terbaik tahun 1968.
Putu Wijaya dalam novel Bila Malam Bertambah Malam mengungkapkan status kasta sebagai sesuatu yang berlawanan dengan harkat kemanusiaan.
Prosa-prosa Oka Rusmini seperti Sagra dan Tarian Bumi juga mempersoalkan sisi gelap status social berdasarkan sistem kasta.
Cerpen-cerpen bertema konflik kasta yang sengit dan memukau juga terdapat dalam antologi cerpern karya Gde Aryantha Soethama dalam antologi Mandi Api Mandi Api, antologi yang meraih penghargaan Hadiah Sastra Khatulistiwa 2006.
"Perdebatan soal identitas kasta versus status berdasarkan pendidikan di Bali bisa dilihat sebagai bagian dari tema tradisional versus modern yang bersifat universal," kata Darma Putra.
Ahli sastra Indonesia dan Jawa Kuna dari Amerika Serikat, Dr Thomas Hunter, dalam membahas buku A Literary Mirror; Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century menilai buku ini merupakan kontribusi penting dalam studi sastra Indonesia dan budaya Bali terutama masalah identitas dan modernitas.
"Sejarah sastra Indonesia dari Bali diulas secara komprehensif dalam buku ini, mirip dengan yang dilakukan HB Jassin untuk sastra Indonesia pada zamannya," kata Tom Hunter, penerjemah novel Burung-burung Manyar karya Mangunwijaya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
Konflik kasta telah menjadi tema utama karya sastra penulis Bali sejak zaman kolonial (1920-an) dan muncul berulang sampai sekarang, kata dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Dr I Nyoman Darma Putra, Senin (18/4) malam.
Ia menyampaikan hal itu dalam diskusi "Sastrawan Bali, dari Masa Kolonial hingga Kini" di Bentara Budaya Bali (BBB) Jalan By Pass Ida Bagus Mantra, Gianyar.
"Para pengarang kita yang menulis dalam bahasa Indonesia, biasanya menganggap perbedaan kasta mengingkari nilai kemanusiaan," ucapnya.
Kasta adalah sistem stratifikasi sosial berdasarkan kelahiran. Dalam diskusi sastra itu dibahas buku A Literary Mirror; Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century (2011) karya Darma Putra yang baru saja diterbitkan KITLV Press, Leiden.
Buku itu merupakan revisi atas disertasi Darma Putra yang dikerjakan ketika meraih gelar doktor dari School of Languages and Comparative Cultural Studies di University of Queensland, Australia.
Menurut Darma Putra, karya sastra modern pertama yang mengangkat konflik kasta adalah sebuah drama atau tonil berjudul "Kesetiaan Perempuan" yang dimuat bersambung di koran Surya Kanta tahun 1926.
Nama penulis tonil itu tidak disebutkan alias anonim, tetapi isinya jelas-jelas gagasan penolakan terhadap perbedaan status berdasarkan kelahiran (sistem kasta).
"Drama ini berpesan sistem kasta harus dihapus dan status seseorang semestinya ditentukan oleh budi dan prestasi intelektualitasnya," ujarnya.
Dalam perkembangan sesudah kemerdekaan, kata Darma Putra, tema konflik kasta juga diangkat oleh sastrawan lain, seperti Nyoman Rasta Sindhu, Putu Wijaya, Gde Aryantha Soethama, dan Oka Rusmini.
Cerpen karya Rasta Sindhu "Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar" yang mengangkat tema konflik kasta berhasil meraih hadiah sastra Horison sebagai cerpen terbaik tahun 1968.
Putu Wijaya dalam novel Bila Malam Bertambah Malam mengungkapkan status kasta sebagai sesuatu yang berlawanan dengan harkat kemanusiaan.
Prosa-prosa Oka Rusmini seperti Sagra dan Tarian Bumi juga mempersoalkan sisi gelap status social berdasarkan sistem kasta.
Cerpen-cerpen bertema konflik kasta yang sengit dan memukau juga terdapat dalam antologi cerpern karya Gde Aryantha Soethama dalam antologi Mandi Api Mandi Api, antologi yang meraih penghargaan Hadiah Sastra Khatulistiwa 2006.
"Perdebatan soal identitas kasta versus status berdasarkan pendidikan di Bali bisa dilihat sebagai bagian dari tema tradisional versus modern yang bersifat universal," kata Darma Putra.
Ahli sastra Indonesia dan Jawa Kuna dari Amerika Serikat, Dr Thomas Hunter, dalam membahas buku A Literary Mirror; Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century menilai buku ini merupakan kontribusi penting dalam studi sastra Indonesia dan budaya Bali terutama masalah identitas dan modernitas.
"Sejarah sastra Indonesia dari Bali diulas secara komprehensif dalam buku ini, mirip dengan yang dilakukan HB Jassin untuk sastra Indonesia pada zamannya," kata Tom Hunter, penerjemah novel Burung-burung Manyar karya Mangunwijaya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011