Denpasar (Antara Bali) - Pusat Penelitian (Puslit) Subak, Universitas Udayana, memberi apresiasi terhadap langkah Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta yang memberi subsidi penuh dalam membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) kepada petani-nelayan.

"Langkah itu sangat tepat, karena petani dan nelayan adalah komunitas yang merupakan kerak kemiskinan di Bali saat ini," kata Ketua Puslit Subak Universitas Udayana (Unud), Prof. Dr. Wayan Windia,di Denpasar, Rabu.

Guru Besar Fakultas Pertanian Unud itu mengatakan upaya yang tempuh Pemkab Badung dengan menggratiskan pembayaran PBB bagi petani merupakan langkah non-konvensional dalam mengentaskan kemiskinan di daerah tersebut.

Pembebasan pembayaran PBB tersebut mampu mengurangi beban biaya petani, karena subsidi pajak PBB itu diberikan secara penuh. "Hal itu akan sangat membantu karena pajak PBB selama ini sangat mencekik leher petani" ujarnya.

Oleh sebab itu dengan adanya pembayaran pajak PBB yang "mencekik leher" sangat berat dalam meningkatkan pendapatan petani dari kegiatan usahatani.

Untuk itu, langkah Bupati Badung Giri Prasta untuk menggratiskan pembayaran PBB sesuai dengan butir-butir program rencana pembangunan semesta berencana (RPSB) yang kini sedang diintensifkan pelaksanaannya di wilayah Kabupaten Badung.

"Saya harapkan Pemerintah Provinsi Bali dapat membangun sinergi dengan delapan kabupaten dan satu kota untuk membebaskan sawah petani dari PBB (pajak)," kata wakil rakyat dari Bali itu.

Prof Windia mengkritik sistem pajak PBB yang mendasarkan nilai asetnya atau berdasarkan lokasi asetnya. Jika pemerintah memang memihak kepada petani, maka pajak petani seharusnya berdasarkan produksi asetnya, bukan berdasarkan lokasi asetnya.

Untuk itu, ia mengharapkan Bali dapat memelopori perubahan terhadap UU tentang PBB tersebut. "Sawah harus gratis dari pajak seperti yang dilakukan Pemkab Badung, karena fungsi sawah sangat multi (multi-manfaat)," katanya.

UU pajak PBB itulah yang menyebabkan banyaknya alih fungsi lahan sawah di Bali, khususnya di kawasan strategis. Percuma ada UU tentang perlindungan sawah, kalau sawah masih dikenai pajak (PBB).

Windia juga mengusulkan agar semua hibah yang diberikan kepada Subak harus berdasarkan pada luas areal Subak bersangkutan. "Jangan sama rata, seperti kebijakan sekarang ini" katanya.

Dengan demikian, Subak yang melakukan alih fungsi lahan sawah akan mendapatkan hukuman, sedangkan Subak yang mampu menahan alih fungsi lahan sawah akan mendapatkan imbalan (hadiah).

Ia mengatakan, konsep tersebut sebenarnya sudah pernah diusulkan kepada Gubernur Bali. Pada dasarnya, Gubernur sudah menyetujui, kemudian Gubernur meminta Kepala Dinas Kebudayaan tidak lagi melakukan kajian, tapi langsung melaksanakannya.

"Masalahnya, hingga saat ini, Kadis Kebudayaan Provinsi Bali tidak merealisasikannya," katanya.

Windia mengritik sikap Kadis Kebudayaan Provinsi Bali yang tidak merealisasikan kebijakan politik Gubernur tersebut.

"Memang dengan kebijakan subsidi yang baru, yakni berdasarkan luas areal sawah, maka ada pekerjaan tambahan pada Dinas Kebudayaan. Tapi kan bisa di programkan" kata Windia.

Dengan sistem sekarang ini, maka birokrat sudah terlanjur berada dalam zona nyaman, namum petani sangat mengeluh, karena Subak yang luasnya 3 hektare, justru nilai subsidinya sama dibandingkan dengan subak yang luasnya 300 hektare.

"Dengan kebijakan seperti ini jelas sangat tidak adil," ujar Windia. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017