Sudah beberapa bulan terakhir ini masyarakat dibuat pusing dengan harga
cabai yang melambung tinggi dan tidak mau turun lagi, khususnya cabai
rawit merah, jenis cabai paling pedas yang biasa membumbui masakan
Indonesia.
Harga terakhir komoditas pangan ini rata-rata mencapai Rp124.200 per kg dari fluktuasi normalnya hanya Rp30.000-60.000 per kg, bahkan di sejumlah daerah di Kalimantan, harga cabai rawit merah ini sempat mencapai Rp200 ribu per kg.
Sebagian masyarakat beralih hanya mengkonsumsi cabai merah keriting yang harganya lebih murah dengan rata-rata terakhir hanya Rp56.400 per kg, cabe merah besar yang harga rata-rata terakhirnya Rp53.800 per kg dan cabe rawit hijau rata-rata terakhir Rp81.700 per kg, meskipun tidak pedas.
Sebagian lainnya beralih menggunakan sambal kemasan yang tentu saja tidak bisa digunakan di semua jenis masakan, tidak memiliki rasa khas sambal segar dan membosankan.
Ketua Umum Asosiasi Agrobisnis Cabai Indonesia (AACI) Dadi Sudiana menyatakan, penyebab harga cabai mahal terutama adalah terjadinya kegagalan panen di berbagai daerah di Jawa akibat tingginya curah hujan sejak September tahun lalu hingga kini.
Sebenarnya, ada tiga provinsi yang menjadi sentra cabai dengan sawah terluas di Indonesia, yakni Jawa Timur seluas 862.590 hektare (ha), Jawa Barat dengan luas 744.090 ha, dan Jawa Tengah dengan luas 683.735 ha.
Sayangnya, banyak dari sentra cabai di wilayah ini gagal panen akibat hama ulat, jamur, kutu, lalat dan penyakit lainnya yang menyerang karena kondisi lingkungan yang lembab, sehingga hasil panen cabai pun merosot, stok cabai di pasar berkurang dan akibatnya harga cabai melambung.
Hama Cabai
Sejumlah sentra cabai seperti di Kabupaten Lamongan, Magetan, Pamekasan, Sleman, Tasikmalaya hingga Ciamis, misalnya, diserang hama ulat saat tanaman cabai mulai siap panen.
Ulat yang disebut ulat grayak ini menyebabkan cabai menjadi kecoklatan, rusak, berlubang-lubang, dan akhirnya rontok, kata Suwondo, petani cabai rawit di Desa Kedungpanji Kecamatan Lembeyan, Kabupaten Magetan.
Ia mengaku rugi jutaan rupiah, berasal dari ongkos produksi, termasuk untuk melakukan penyemprotan pembasmi ulat yang ternyata sia-sia karena cabainya tetap tidak bisa dipanen.
Sedangkan para petani di sentra cabai di Kabupaten Semarang, Klaten, Banyumas, Banyuwangi, Jember hingga Sukabumi dan Lebak dibuat panik karena serangan penyakit tanaman cabai berupa jamur patek (antaknosa) membuat produksi cabai mereka anjlok.
"Biasanya tiap hektare bisa menghasilkan 20-25 ton cabai, akibat serangan patek merosot jadi hanya 1 ton per hektare," kata Purwo, petani asal Desa Ampel, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember.
Ia mengaku terpaksa memanen ketika cabai masih hijau untuk menyiasati kondisi tersebut, tapi konsekuensinya harga yang diterima juga jauh lebih murah, karena untuk setiap kilogram cabai hanya dihargai maksimal Rp10 ribu.
Sementara itu, Direktur Pusat Teknologi Produksi Pertanian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Arief Arianto mengatakan, ulat grayak (Spodoptera litura) memang menyukai dan bergerak aktif pada kondisi lingkungan yang teduh seperti saat mendung dan tidak disinari matahari.
Cara mengendalikan ulat yang senang memakan daun cabai hingga habis itu, menurut dia, dilakukan secara manual, diambili di malam hari pada saat ulat keluar, kemudian dimusnahkan.
"Atau cara lainnya dengan menggunakan insektisida dan disemprotkan pada malam hari. Yang aman adalah insektisida organik misalnya yang dibuat dari perasan daun dan batang tanaman tembakau atau dari bji tembelekan," ujarnya.
Namun hama ulat ini dapat dicegah dengan cara praktis, yakni sebelum menanam cabai, tanah diolah dulu secara sempurna dan bedengan (bidang tanah yang digunakan untuk perkecambahan biji di persemaian) dibolak-balik agar sisa ulat dan pupa (ulat dalam kepompong) benar-benar mati.
Selain itu, dilakukan pembersihan gulma (tumbuhan pengganggu semacam rumput) yang ada di bedengan dan parit yang menjadi tempat berlindung ulat dan disiangi hingga bersih untuk menghilangkan populasi ulat.
Antisipasi
Arief Arianto juga mendengar sejumlah daerah sentra cabai yang terserang penyakit patek (antraknosa) disebabkan, umumnya oleh cendawan Colletrotichum sp yang dipicu oleh situasi lingkungan lembab dengan suhu udara 29-32 derajat Celcius.
Gejala jamur patek diketahui dengan munculnya bercak-bercak hitam pada cabai yang segera menjadi busuk kering dan menghitam, lalu merembet hingga tangkai buahnya pun rontok.
"Serangan penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan parah hingga sebesar 80-90 persen dari tanaman cabai. Kondisi lingkungan tersebut biasa terjadi pada musim hujan seperti sekarang ini," katanya.
Cara praktis pencegahannya adalah mengurangi kelembaban di sekitar tanaman cabai dengan memberikan ruang bagi air dan udara untuk mengalir seperti dengan menyiangi gulma, karena gulma dalam jumlah besar akan menyebabkan aliran air terhambat dan kelembaban meningkat.
Cara lainnya adalah menjaga jarak antartanaman, karena jarak tanaman yang rapat membuat kondisi lingkungan semakin lembab.
Selain itu perbaiki galengan (lahan pembatas) agar aliran air untuk drainasenya menjadi lancar, juga melakukan perempelan (pemotongan tunas samping) agar dapat memperbaiki iklim mikro tanaman menjadi lebih kering sekaligus memberi manfaat merangsang pembuahan cabai.
Cara berikutnya, pemupukan dengan memberikan pupuk K (Kalium) dan ditambah Ca (Kalsium) unsur utama penyusun dinding sel tanaman, untuk memperkuat buah dan daun. Kelebihan Nitrogen membuat tanaman rentan terserang penyakit.
Namun jika tanaman sudah terserang maka, menurut dia, harus segera dipetik tanaman cabai tersebut lalu segera dibakar habis di luar lokasi budidaya agar sporanya tidak menyebar kemana-mana.
Juga semprotkan tanaman yang masih sehat dengan fungisida dalam takaran yang tepat, tidak berlebihan karena residunya membahayakan lingkungan, ujarnya.
Untuk mengatasi penyakit ini, petani sangat dianjurkan hanya menggunakan benih cabai yang telah teruji kualitasnya dan tahan terhadap patek, namun jika menggunakan benih dari tanaman sendiri, gunakan yang sehat, bukan yang terinfeksi, karena penyakit ini bisa menyerang sejak masih berupa biji.
Untuk jangka panjang, pola tanam petani cabai seharusnya juga diubah. Lahan pertanian sebaiknya tidak langsung ditanami lagi setelah panen terakhir, sampai ditumbuhi rerumputan, sehingga diharapkan bisa memutus mata rantai perkembangbiakan hama dan penyakit.
Petani memang perlu memiliki pengetahuan tentang bagaimana mengantisipasi dan menanggulangi tanaman dari kerusakan, khususnya karena musim penghujan dan cuaca yang lembab dalam jangka waktu lama menyebabkan hama penyakit tumbuh subur. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Harga terakhir komoditas pangan ini rata-rata mencapai Rp124.200 per kg dari fluktuasi normalnya hanya Rp30.000-60.000 per kg, bahkan di sejumlah daerah di Kalimantan, harga cabai rawit merah ini sempat mencapai Rp200 ribu per kg.
Sebagian masyarakat beralih hanya mengkonsumsi cabai merah keriting yang harganya lebih murah dengan rata-rata terakhir hanya Rp56.400 per kg, cabe merah besar yang harga rata-rata terakhirnya Rp53.800 per kg dan cabe rawit hijau rata-rata terakhir Rp81.700 per kg, meskipun tidak pedas.
Sebagian lainnya beralih menggunakan sambal kemasan yang tentu saja tidak bisa digunakan di semua jenis masakan, tidak memiliki rasa khas sambal segar dan membosankan.
Ketua Umum Asosiasi Agrobisnis Cabai Indonesia (AACI) Dadi Sudiana menyatakan, penyebab harga cabai mahal terutama adalah terjadinya kegagalan panen di berbagai daerah di Jawa akibat tingginya curah hujan sejak September tahun lalu hingga kini.
Sebenarnya, ada tiga provinsi yang menjadi sentra cabai dengan sawah terluas di Indonesia, yakni Jawa Timur seluas 862.590 hektare (ha), Jawa Barat dengan luas 744.090 ha, dan Jawa Tengah dengan luas 683.735 ha.
Sayangnya, banyak dari sentra cabai di wilayah ini gagal panen akibat hama ulat, jamur, kutu, lalat dan penyakit lainnya yang menyerang karena kondisi lingkungan yang lembab, sehingga hasil panen cabai pun merosot, stok cabai di pasar berkurang dan akibatnya harga cabai melambung.
Hama Cabai
Sejumlah sentra cabai seperti di Kabupaten Lamongan, Magetan, Pamekasan, Sleman, Tasikmalaya hingga Ciamis, misalnya, diserang hama ulat saat tanaman cabai mulai siap panen.
Ulat yang disebut ulat grayak ini menyebabkan cabai menjadi kecoklatan, rusak, berlubang-lubang, dan akhirnya rontok, kata Suwondo, petani cabai rawit di Desa Kedungpanji Kecamatan Lembeyan, Kabupaten Magetan.
Ia mengaku rugi jutaan rupiah, berasal dari ongkos produksi, termasuk untuk melakukan penyemprotan pembasmi ulat yang ternyata sia-sia karena cabainya tetap tidak bisa dipanen.
Sedangkan para petani di sentra cabai di Kabupaten Semarang, Klaten, Banyumas, Banyuwangi, Jember hingga Sukabumi dan Lebak dibuat panik karena serangan penyakit tanaman cabai berupa jamur patek (antaknosa) membuat produksi cabai mereka anjlok.
"Biasanya tiap hektare bisa menghasilkan 20-25 ton cabai, akibat serangan patek merosot jadi hanya 1 ton per hektare," kata Purwo, petani asal Desa Ampel, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember.
Ia mengaku terpaksa memanen ketika cabai masih hijau untuk menyiasati kondisi tersebut, tapi konsekuensinya harga yang diterima juga jauh lebih murah, karena untuk setiap kilogram cabai hanya dihargai maksimal Rp10 ribu.
Sementara itu, Direktur Pusat Teknologi Produksi Pertanian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Arief Arianto mengatakan, ulat grayak (Spodoptera litura) memang menyukai dan bergerak aktif pada kondisi lingkungan yang teduh seperti saat mendung dan tidak disinari matahari.
Cara mengendalikan ulat yang senang memakan daun cabai hingga habis itu, menurut dia, dilakukan secara manual, diambili di malam hari pada saat ulat keluar, kemudian dimusnahkan.
"Atau cara lainnya dengan menggunakan insektisida dan disemprotkan pada malam hari. Yang aman adalah insektisida organik misalnya yang dibuat dari perasan daun dan batang tanaman tembakau atau dari bji tembelekan," ujarnya.
Namun hama ulat ini dapat dicegah dengan cara praktis, yakni sebelum menanam cabai, tanah diolah dulu secara sempurna dan bedengan (bidang tanah yang digunakan untuk perkecambahan biji di persemaian) dibolak-balik agar sisa ulat dan pupa (ulat dalam kepompong) benar-benar mati.
Selain itu, dilakukan pembersihan gulma (tumbuhan pengganggu semacam rumput) yang ada di bedengan dan parit yang menjadi tempat berlindung ulat dan disiangi hingga bersih untuk menghilangkan populasi ulat.
Antisipasi
Arief Arianto juga mendengar sejumlah daerah sentra cabai yang terserang penyakit patek (antraknosa) disebabkan, umumnya oleh cendawan Colletrotichum sp yang dipicu oleh situasi lingkungan lembab dengan suhu udara 29-32 derajat Celcius.
Gejala jamur patek diketahui dengan munculnya bercak-bercak hitam pada cabai yang segera menjadi busuk kering dan menghitam, lalu merembet hingga tangkai buahnya pun rontok.
"Serangan penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan parah hingga sebesar 80-90 persen dari tanaman cabai. Kondisi lingkungan tersebut biasa terjadi pada musim hujan seperti sekarang ini," katanya.
Cara praktis pencegahannya adalah mengurangi kelembaban di sekitar tanaman cabai dengan memberikan ruang bagi air dan udara untuk mengalir seperti dengan menyiangi gulma, karena gulma dalam jumlah besar akan menyebabkan aliran air terhambat dan kelembaban meningkat.
Cara lainnya adalah menjaga jarak antartanaman, karena jarak tanaman yang rapat membuat kondisi lingkungan semakin lembab.
Selain itu perbaiki galengan (lahan pembatas) agar aliran air untuk drainasenya menjadi lancar, juga melakukan perempelan (pemotongan tunas samping) agar dapat memperbaiki iklim mikro tanaman menjadi lebih kering sekaligus memberi manfaat merangsang pembuahan cabai.
Cara berikutnya, pemupukan dengan memberikan pupuk K (Kalium) dan ditambah Ca (Kalsium) unsur utama penyusun dinding sel tanaman, untuk memperkuat buah dan daun. Kelebihan Nitrogen membuat tanaman rentan terserang penyakit.
Namun jika tanaman sudah terserang maka, menurut dia, harus segera dipetik tanaman cabai tersebut lalu segera dibakar habis di luar lokasi budidaya agar sporanya tidak menyebar kemana-mana.
Juga semprotkan tanaman yang masih sehat dengan fungisida dalam takaran yang tepat, tidak berlebihan karena residunya membahayakan lingkungan, ujarnya.
Untuk mengatasi penyakit ini, petani sangat dianjurkan hanya menggunakan benih cabai yang telah teruji kualitasnya dan tahan terhadap patek, namun jika menggunakan benih dari tanaman sendiri, gunakan yang sehat, bukan yang terinfeksi, karena penyakit ini bisa menyerang sejak masih berupa biji.
Untuk jangka panjang, pola tanam petani cabai seharusnya juga diubah. Lahan pertanian sebaiknya tidak langsung ditanami lagi setelah panen terakhir, sampai ditumbuhi rerumputan, sehingga diharapkan bisa memutus mata rantai perkembangbiakan hama dan penyakit.
Petani memang perlu memiliki pengetahuan tentang bagaimana mengantisipasi dan menanggulangi tanaman dari kerusakan, khususnya karena musim penghujan dan cuaca yang lembab dalam jangka waktu lama menyebabkan hama penyakit tumbuh subur. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017